Sunday 13 May 2018

Persaudaraan yang Membangun

Oleh A PONCO ANGGORO, MAHDI MUHAMMAD
Sejarah Bagansiapi-api tidak dapat dilepaskan dari berbagai etnis yang tinggal di ibu kota Kabupaten Rokan Hilir, Riau, tersebut. Kerja sama antarwarga yang beragam menjadi modal utama pembangunan daerah itu.
Kelenteng Ing Hok Kiong, yang dibangun pada tahun 1823, di Bagansiapi-api, Kabupaten Rokan Hilir, Provinsi Riau. Kelenteng ini menjadi salah satu saksi bisu masuknya orang Tionghoa ke Riau. Foto diambil pada akhir April lalu. (Kompas/A Ponco Anggoro)
Puluhan bangunan beton dua atau tiga lantai mendominasi pusat kota Bagansiapi-api, ibu kota Kabupaten Rokan Hilir, Riau. Sebagian besar dari lantai teratas bangunan itu menjadi rumah walet. Sementara lantai di bawahnya jadi tempat tinggal sekaligus tempat usaha.
Bangunan tersebut menggantikan bangunan dari kayu yang habis terbakar pada 1998.
Rendy Gunawan, tokoh masyarakat etnis Tionghoa di Bagansiapi-api, pada akhir April lalu, mengatakan, kejadian pada 1998 di daerahnya, yang terletak di muara Sungai Rokan, menjadi rangkaian tak terpisahkan dari kerusuhan yang terjadi pada Mei 1998 di Jakarta dan kota lainnya.
Seperti halnya etnis Tionghoa lainnya, Rendy dan keluarganya juga harus mengungsi akibat kerusuhan itu. Saat itu, ia mengungsi ke rumah orang tuanya, yang berjarak sekitar 300 meter dari Pelabuhan Bagansiapi-api.
Menurut Rendy, warga dari berbagai etnis yang ada di Bagansiapi-api sejatinya hidup dalam kebersamaan. Sejak lahir hingga saat ini, Rendy dan keluarganya tinggal berdampingan dengan etnis lain, seperti Melayu, Jawa, Mandailing, dan Bugis. Sejak kecil, ia bermain dengan anak-anak dari berbagai etnis yang ada di daerahnya.
Para peneliti kebudayaan Riau, dalam buku Mengarungi Sungai Rokan-Mengarang Manik-manik Berserakan seri II (Pusat Penelitian Kebudayaan dan Kemasyarakatan Universitas Riau, 2009) menyebutkan, Sungai Rokan menjadi tempat tinggal orang-orang dari sejumlah daerah dan etnis. Selain warga asli Rokan, juga ada orang Aceh, Mandailing, Jawa, dan Arab.
Etnis Tionghoa, yang dalam buku itu disebutkan tinggal di sekitar muara sungai dan tepi laut, juga berinteraksi dengan warga asli untuk mendapatkan komoditas htan, seperti rotan, damar, madu, lilin lebah, dan karet giling.
Pasca-1998, butuh waktu sekitar dua tahun bagi warga Bagansiapi-api untuk membangun kembali kawasan yang musnah terbakar.
Sejarah
Keberadaan etnis Tionghoa di Bagansiapi-api tak lepas dari sejarah kota itu sendiri. Hendry Ati, salah satu warga beretnis Tionghoa di daerah itu, menuturkan, etnis Tionghoa diperkirakan tiba di Bagansiapi-api sekitar pertengahan abad ke-18. Kedatangan mereka tak lepas dari konflik di wilayah Songkhla, Thailand, yang mereka diami selama beberapa waktu setelah keluar dari wilayah China daratan. Konflik itu membuat mereka mencari tempat lain untuk hidup.
Hendry menceritakan, ada tiga kapal warga keturunan China yang berlayar menuju wilayah Bagansiapi-api. Namun, dalam perjalanan, hanya satu kapal yang selamat. Mereka yang selamat singgah di sebuah pulau, yang kini bernama Pulau Berkey. Namun, pulau itu tidak cukup luas untuk mereka mengembangkan diri.
"Malam hari, saat mereka memandang ke daratan, mereka selalu melihat ada cahaya-cahaya di udara. Dalam bahasa lokal disebut sebagai siapi-api," katanya.
Mereka lalu memutuskan menuju lokasi asal cahaya tersebut. Akhirnya, mereka tiba di daratan uang kemudian dikenal sebagai Bagansiapi-api.
Sejarawan Riau, Suwardi MS, menyebutkan, cahaya yang dilihat para imigran asal China itu adalah cahaya api yang dinyalakan nelayan pada malam hari. Saat malam, para nelayan itu tinggal di bagan, pondok yang ada di laut. "Cahaya api tersebut sering kali menjadi penunjuk arah atau seperti mercusuar bagi nelayan untuk menunjukkan arah pada malam hari," katanya.
Saking majunya Bagansiapi-api, setelah kedatangan para perantau, kota ini pernah dijuluki "Ville Lumiere" atau "Kota Cahaya".
Bakar Tongkang
Sebuah kelenteng, yang dikenal dengan nama Kelenteng Ing Hok Kiong, didirikan untuk memanjatkan puji syukur karena ada etnis Tionghoa yang selamat tiba di daratan Bagansiapi-api.
Dengan keahliannya menangkap ikan, warga etnis Tionghoa lalu mengembangkan wilayah itu menjadi pusat perikanan. Warga lokal, yang semula banyak tinggal di Tanah Putih dan daerah lain yang jauh dari Bagansiapi-api, mulai mendekat ke kawasan muara Sungai Rokan tersebut. Transaksi ekonomi yang menguntungkan dua belah pihak menjadi daya tarik utama di kota baru tersebut.
Marzuki, Ketua Majelis Kerapatan Adat Lembaga Adat Melayu Rokan Hilir, mengatakan, kerja sama warga membuat Bagansiapi-api menjadi kawasan dengan produksi ikan yang melimpah.
Gabungan antara kemampuan warga Tionghoa dalam memproduksi kapal dan warga Melayu yang mampu menyediakan kayu berkualitas membuat industri pembuatan kapal maju pesat di wilayah itu.
Suwardi mengatakan, melimpahnya rezeki dari industri perikanan di Bagansiapi-api membuat pendatang tak mau kembali lagi ke daerah asalnya. Upacara Bakar Tongkang atau yang biasa disebut Go Ce Cap Lak, yang kini dilestarikan, menjadi simbol dari keengganan pendatang untuk kembali ke daerah asalnya.
Kemalangan dan kegempitaan Bagansiapi-api, menurut Suwardi, pernah dirasakan bersama oleh penduduk di sana. Kondisi saat ini pun sama dirasakan oleh mereka.
Berbagai pengalaman ini menumbuhkan kesadaran bahwa konflik hanya menambah panjang kesengsaraan warga. Kini yang dibutuhkan adalah tetap menyalakan persaudaraan di antara mereka.
Persaudaraan ini juga yang akhirnya tetap mesti dijaga, termasuk dalam hajatan politik seperti pilkada. Kesadaran untuk menjaga persaudaraan ini setidaknya tecermin di pantun: Ke bukit sama mendaki Ke lurah sama menurun Kalau sakik samo diraso Kalau sengsaro samo diraso
Kompas, Sabtu, 5 Mei 2018

No comments:

Post a Comment