Sunday 20 August 2017

Mahatma Gandhi

Oleh TRIAS KUNCAHYONO
Jumat sore, 30 Januari 1948. Saat itu, pukul 17.10. Dengan agak tertatih-tatih, didampingi kemenakan perempuan, Abha, dan cucu perempuan, Manu, karena baru saja mengakhiri mogok makan, Gandhi berjalan menuju lapangan rumput Birla House, tempat tinggalnya di New Delhi.

Mohandas Karamchand Gandhi, begitu nama yang diberikan kedua orangtuanya—Karamchand dan Putlibai—ketika dilahirkan pada 2 Oktober 1869 di Porbandar—kini masuk wilayah negara bagian Gujarat—akan bergabung dengan sekitar lima ratus orang lainnya untuk berdoa bersama-sama. Seperti biasanya, bila berada di tengah rakyat, orang lantas berdesakan, berebutan untuk sekadar menyentuh pakaiannya, dhoti (yang juga disebut panche, vesti, dhuti, mardani, chaadra, dhotra, dan pancha, yakni pakaian tradisional yang berupa kain putih panjang bisa sekitar dua meter, digunakan dengan cara dililitkan pada badan bagian bawah dan juga disampirkan ke bahu) atau menyentuh kakinya yang bersandal jepit untuk mendapatkan berkah.
FL14GODSE_3024959g.jpg
Para terdakwa dalam kasus pembunuhan Gandhi. Di baris depan dari kiri: Nathuram Godse, Narayan Dattatraya Apte, dan Vishnu Ramakrishna; duduk di baris kedua, di belakang Godse dan Apte: Digambar Ramchandra Badge; baris belakang dari kanan: Gopal Godse dan Vinayak Damodar Savarkar. (The Hindu Archives)


Ketika Gandhi berhenti dan memberikan salam menurut tradisi Hindu dengan menangkupkan kedua tangannya di depan dada, namaste, Nathuram Vinayak Godse mendekat, menyeruak dari kerumunan massa. Godse dikenal sebagai seorang ekstremis Hindu. Begitu berdiri di depan Gandhi, Godse memberikan salam, namaste, dan tiba-tiba mengeluarkan pistol... dor... dor... dor .... Tiga tembakan yang dilepaskan dari jarak dekat itu mengenai dada dan bagian perut Gandhi, yang lolos dari lima usaha pembunuhan.
Gandhi langsung rebah di rerumputan. Inilah akhir hidup yang tragis sekaligus pedih dari seorang Mahatma Gandhi—Mahatma artinya jiwa agung, nama yang dipopulerkan oleh penyair kondang kelas dunia asal India, Rabindranath Tagore. Akan tetapi, akhir hidup seperti itulah yang sudah lama dibayangkan oleh Gandhi sebagai sebuah kemungkinan yang bisa diterimanya. Inilah jalan dan keyakinan dari seorang ”pemimpin yang melayani” yang mendedikasikan seluruh hidupnya bagi orang lain, bagi orang yang dipimpinnya (Alan Axelrod, 2010).
***
Apa kesalahan Gandhi sehingga dibunuh? Bukankah Gandhi tidak pernah melakukan tindak kekerasan, bahkan mengampanyekan gerakan ahimsa—tanpa kekerasan dan bela rasa—yang dipelajarinya dari Jainisme. Tidak hanya dipelajari, tetapi juga dihayati dan dilaksanakan. Bukankah Gandhi tidak pernah mengucapkan kata-kata yang melukai, menyakiti hati orang lain, yang ia pelajari dari Kitab Suci Perjanjian Baru, yang juga mengajarkan untuk mencintai dan berbuat baik kepada orang lain? Bukankah Gandhi tidak mementingkan dirinya, tetapi melayani orang lain seperti yang diajarkan oleh Bhagawad Ghita? Bukankah Gandhi tidak mengobarkan pemberontakan bersenjata, melainkan pembangkangan sipil, gagasan yang dipinjam dari Henry David Thoreau (1817-1862), seorang penyair, filsuf, dan wartawan. Bukankah Gandhi tidak pernah menyelesaikan persoalan dengan kekerasan, tangan besi, dan pemaksaan, melainkan dengan cinta seperti yang diinspirasikan oleh Leo Tolstoy (1828-1910), novelis besar dari Rusia? (Pankaj Borah, 2012).
Gandhi dibunuh karena oleh Godse dianggap mengkhianati agama Hindu. ”Saya menembak orang yang kebijakan dan tindakannya meruntuhkan serta menghancurkan jutaan orang Hindu,” kata Godse di pengadilan. Godse, yang adalah editor koran Hindu Rashtra, dan temannya, Narayan Apte, dihukum gantung pada 15 November 1949 (Hindustan Times, 28 Mei 2017).
Gandhi menentang teori dua negara—terpecahnya India menjadi India dan Pakistan. Ia menentang konsep partisi, pembagian India. Ia menginginkan persatuan. ”Tuntutan (didirikannya negara Muslim) yang diajukan oleh Liga Muslim adalah tak-Islami dan saya tidak ragu-ragu menyebutnya itu penuh dosa. Islam berpihak pada persatuan dan persaudaraan umat manusia, tidak mengacaukan keutuhan keluarga manusia. Karena itu, orang yang ingin memecah belah India, barangkali menjadi kelompok-kelompok yang sedang berperang, adalah musuh India dan Islam .... ” tulis Gandhi pada 6 Oktober 1946.
Pendapat dan sikap Gandhi tidak bisa diterima oleh Godse dan teman-temannya. Apalagi, Gandhi, ketika ditanya apakah ia Hindu, menjawab: ”Ya. Saya juga seorang Kristen, seorang Muslim, seorang Buddha, dan seorang Yahudi.”
***
Orang India, seperti orang di mana pun, tidak ingin membenci orang lain. Mereka tidak ingin hari dan pikirannya dikuasai kecurigaan terhadap orang lain; dikuasai kebencian terhadap orang lain; dikuasai ketidaktoleranan terhadap orang lain; dikuasai fanatisme buta. Akan tetapi, di mana pun selalu ada orang-orang yang mementingkan diri sendiri, kelompoknya sendiri, karena ambisi, karena alasan dan kepentingan politik, karena kedengkian, dan karena sakit hati. Mereka, karena kepicikan pikiran dan kebebalan hatinya, menggunakan kecurigaan, kekhawatiran, dan ketakutannya menyingkirkan orang lain.
Orang-orang fanatik, ekstremis seperti ini menggunakan agama, seperti yang dilakukan oleh Godse, untuk kepentingan politiknya. Padahal, agama dan politik tidak bisa digabungkan. Agama tidak berurusan dengan soal kalah dan menang. Agama berurusan dengan persaudaraan, perdamaian, kasih sayang, kepedulian, dan bela rasa. Kalah dan menang adalah urusan politik meskipun, sebenarnya, tujuan politik yang sesungguhnya adalah menciptakan bonum commune, kesejahteraan bersama.
Akan tetapi, dalam praktiknya tidaklah demikian meskipun berpolitik adalah suatu ciri peradaban manusia. Oleh karena itu, politik, pada dirinya, tertanam hakikat kemanusiaan universal. Ini berarti bahwa berpolitik ditujukan untuk mempertinggi kemuliaan manusia, bukan sebaliknya. Dalam perspektif Aristotelian, tindakan politik bermakna sejauh ia menjadi sarana manusia untuk mewujudkan kemanusiaannya. Politik akan kehilangan nilai profetiknya jika ia tidak berada dalam koridor nilai tersebut. Dalam kerangka inilah, pengertian zoon politikon—manusia pada dasarnya adalah binatang politik—diletakkan.
Mahatma Gandhi telah meninggalkan jejak sangat tebal tentang bagaimana berpolitik yang bermoral, tentang bagaimana perjuangan dilakukan tanpa kekerasan, dan bagaimana meletakkan kemanusiaan di tempat paling tinggi di atas segalanya.
Kompas, Minggu, 20 Agustus 2017

No comments:

Post a Comment