Friday 28 April 2017

Nepenthes ampullaria

Nepenthes, seperti tumbuhan karnivora lainnya, tumbuh di tempat terbuka dan kaya sinar matahari. Namun, N. ampullaria adalah pengecualian. Tumbuhan ini justru sering ditemukan di bawah kanopi hutan kerangas dan hutan gambut (Moran et al, 2003; Clarke dan Lee, 2004).
Kondisi teduh ini direkomendasikan Yulianto Tedjo, yang menempatkan kantung semar, yang namanya seringkali disingkat “ampul” ini, di bawah pohon. Stefe Sugianto mengatakan, kalau diletakkan terlalu gelap di bawah paranet malah sulit berkantung. Berdasarkan pengalamannya, kantung semar ini baru berkantung setelah dipindahkan ke area yang terang, meskipun masih tertutupi tanaman lain setinggi satu meter. Kondisi tersebut dikonfirmasi Yuping. Area tumbuh N. ampullaria digambarkannya terang hingga terjemur. “Kalau terlalu gelap malah gak ngantong, jelek letoy. Di alam juga begitu,” katanya.
WhatsApp Image 2017-04-16 at 16.24.05.jpeg
Hamparan kantung Nepenthes ampullaria di Gunung Kelam. (Yuping)
N. ampullaria hidup di area rawa gambut, yang seringkali terendam (Clarke dan Lee, 2004). Karena itu, tidak ada masalah jika media selalu terendam sebagian. “Ampul maunya media becek,” kata Cristian Cien.
Meskipun demikian, pengalaman rekan yang lain, Christian Effendy Putra dan Ahmad Rizal Widianto (Aris), berbeda. Christian mengatakan, ampul tidak suka pakai tatakan. Aris menambahkan, tanpa tatakan tidak ada masalah asalkan media disiram sampai benar-benar basah. “Kalau memang kondisi panas banget, tinggal sesuaikan (frekuensi dan intensitas penyiraman) aja,” katanya.   
Bentuk kantung N. ampullaria unik, mudah dibedakan di antara semua jenis nepenthes yang ada, yakni membulat dengan mulut melingkar. Ketinggian kantung dapat mencapai 12 sentimeter, tetapi umumnya ditemukan setengah dari itu. Kantung sanggup berfungsi hingga lebih dari enam bulan (Clarke dan Lee, 2004). Kantung semar ini terdistribusi pada ketinggian antara 0 - 1.100 meter dpl (Mansyur, 2006).  
Keunikan lainnya, penutup kantung kecil dan tidak berkembang (vestigial), membuka lebar jauh ke belakang sehingga tidak ada yang menghalangi benda masuk secara vertikal dari atas.Kelenjar nektar pada penutup maupun bibir kantung sangat sedikit atau bahkan tidak ada. Kantung juga tidak memiliki zona lapisan lilin yang pada kantung semar lain berfungsi untuk mencegah serangga merayap keluar. Ciri khas paling utama adalah pembentukan “karpet” kantung yang rapat di permukaan tanah. Formasi ini menghindari tumpang tindih yang bisa terjadi jika ada kantung di atasnya dan memperluas area tangkapan benda-benda dari atas, seperti dedaunan mati. N. ampullaria yang hidup di bawah kanopi bisa mendapat unsur N hingga 35% dari serasah daun, sedangkan yang hidup di area terbuka, unsur tersebut sepenuhnya berasal dari mangsa invertebrata (Moran et al, 2003). Karena ciri khas yang menangkap “sampah” daun ini, N. ampullaria lebih banyak diakui sebagai dentrivora daripada insektivora (Pavlovič et al, 2012).
Media yang sering direkomendasikan adalah campuran cocopeat dan arang sekam, dengan proporsi sama banyak. Namun, menurut Yulianto Tedjo dan Andy Nugroho, penggunaan cocopeat rentan mengundang cacing. Keduanya menggunakan sekam bakar saja sebagai media. Di Jakarta, Mona Volare menggunakan cocochip sepenuhnya dan tatakan air. Sedangkan Aditia Ekalaya menggunakan campuran cocochip dan cocopeat, juga diberi tatakan air.
Air rawa gambut juga memiliki keasaman tinggi, dengan pH kurang dari 4 (Posa et al, 2011). Untuk menurunkan pH media, Stefe Sugianto menambahkan gambut di atas media cocopeat dan arang sekam. Proporsi ketiga bahan tersebut dibuat seimbang. “Kurasa ga masalah di-mix,” katanya.
Media lain juga bisa digunakan. Cristian Cien menggunakan moss sepenuhnya. Dia mengingatkan, nepenthes yang di Kalimantan Tengah disebut kantong babi ini memerlukan perlakuan khusus. “Gak mau dipindah-pindah posisi.Kalau stres sedikit, ngambek enam bulan gak ngantong,” ujar Cien.
Di alam, kantung N. ampullaria seringkali dihuni larva serangga seperti lalat dan nyamuk (Cresswell, 1998). Namun, untungnya serangga pembawa penyakit berbahaya, seperti nyamuk Aedes aegypti dan A. albopictus, tidak tertarik untuk bertelur di dalamnya (Chou et al, 2016).
Nepenthes_ampullaria_climbing_stem.jpg
Tangkai memanjat dan roset akar N. ampullaria. (Robert Jong)
Referensi
Chou LY, Dykes GA, Wilson RF, Clarke CM (2016) Nepenthes ampullaria (Nepenthaceae) pitchers are unattractive to gravid Aedes aegypti and Aedes albopictus (Diptera: Culicidae). Environ. Entomol. 45(1): 201-206
Clarke C, Lee C (2004) Pitcher Plants of Sarawak. Kinabalu: Natural History Publications
Cresswell JE (1998) Morphological correlates of necromass accumulation in the traps of an Eastern tropical pitcher plant, Nepenthes ampullaria Jack, and observations on the pitcher infauna and its reconstitution following experimental removal. Oecologia 113(3): 383-390
Mansyur M (2006) Nepenthes: Kantong Semar yang Unik. Jakarta: Penebar Swadaya
Moran JA, Clarke CM, Hawkins BJ (2003) From carnivore to detritivore? Isotopic evidence for leaf litter utilization by the tropical pitcher plant Nepenthes ampullaria. Int. J. Plant. Sci. 164(4): 635-639
Moran JA, Clarke CM (2010) The carnivorous syndrome in Nepenthes pitcher plants: Current state of knowledge and potential future directions. Plant Signal. Behav. 5(6): 644-648
Pavlovič A, Slováková L, Šantrůček J (2011) Nutritional benefit from leat litter utilization in the pitcher plant Nepenthes ampullaria. Plant Cell Environ. 34: 1865-1873
Posa MRC, Wijedasa LS, Corlett RT (2011) Biodiversity and conservation of tropical peat swamp forests. Bioscience 61(1): 49-57

No comments:

Post a Comment