Saturday 25 March 2017

Bandara Cengkareng, Burung, dan Cakar Ayam

Oleh JOHNNY TG
Cengkareng di Tangerang utara sempat menjadi perbincangan ketika dilakukan survey tahun 1970 sebagai salah satu dari delapan lokasi calon pengganti Pelabuhan Udara Kemayoran. Adalah Pulau Rambut (45 hektar) di kawasan Kepulauan Seribu, yang letaknya hanya terpisah laut dan pesisir sekitar 5 kilometer dari calon bandara internasional Cengkareng, yang memiliki luas 1.800 hektar. Pulau berstatus suaka margasatwa itu dihuni unggas liar yang dilindungi. Dikhawatirkan, lalu lintas pesawat terbang di Cengkareng dapat mengganggu habitat burung di pulau itu.
cengkareng 4.jpg
Anak-anak bermain di lapangan di Cengkareng, kawasan Jakarta Internasional Airport yang direncanakan sebagai pengganti airport Kemayoran. Foto ini terkait berita Kompas (18/3/1975). (Kompas/DJ Pamoedji)
cengkareng 1.jpg
Pesawat Merpati MZ-451 dari Pontianak menjadi pesawat komersial pertama yang melandas mulus di JIA Cengkareng, Senin (1/10/1984). (Kompas/DJ Pamoedji)
cengkareng 2.jpg
Suasana hari pertama pengoperasian Bandar Udara Cengkareng, Senin (1/4/1985). (Kompas/JB Suratno)
cengkareng 5.jpg
Suasana Bandara Soekarno Hatta, Cengkareng, Banten pada tahun 1984. (Kompas/Dudi Sudibyo)
Dengan pertimbangan, antara lain, aspek lingkungan, pembebasan tanah, kebisingan, dan keselamatan penerbangan, Cengkareng ditetapkan sebagai pengganti Kemayoran yang akan ditutup pada 1985. Penutupan itu didasarkan atas prediksi frekuensi penerbangan di Jakarta yang akan mencapai “kejenuhan” pada 1985 sekitar 138.000 gerakan pesawat dalam setahun (Kompas, 13 Maret 1983, halaman 7).
Kontrak pembangunan fisik dilakukan dengan sistem tender yang dimenangi konsorsium kontraktor Perancis. Dalam pengerjaannya yang dimulai awal tahun 1980, mereka wajib bekerja sama dengan kontraktor nasional PT Waskita Karya. Diperkirakan biaya pembangunan tahap pertama yang selesai akhir 1984 menelan Rp 335 miliar yang berasal dari APBN dan pinjaman Pemerintah Perancis.
Cakar ayam
Untuk pertama kalinya di dunia, sistem fondasi cakar ayam ciptaan Prof Sedyatmo digunakan untuk fondasi landasan pesawat udara di Cengkareng. Sebelumnya teknologi ini sudah diterapkan di  bendungan dan apron (tempat parkir pesawat). Akan tetapi, untuk fondasi yang menampung beban bergerak sebesar gedung bertingkat sepuluh seperti pesawat B-747, baru pertama kalinya.
cengkareng 3.jpg
Ilustrasi pondasi cakar ayam di Pelabuhan Udara Internasional Cengkareng, Selasa (1/2/1983)
Teknologi ini juga cocok untuk tempat yang kondisi tanahnya lembek. Prinsipnya, sejumlah pipa beton yang cukup panjang ditanam di dalam tanah. Di atas pipa-pipa itu dicorkan sebuah pelat beton dengan ketebalan mulai dari 10 sentimeter sehingga pipa-pipa itu terhubung satu sama lain. Pelat inilah yang menjadi alas bagi konstruksi landasan tanpa sambungan.
Dengan luas 1,2 juta meter persegi untuk seluruh landasan termasuk taxi way (landasan pacu) dan apron, dibutuhkan sekitar 240.000 buah pipa cetakan berdiameter 1,20 meter, panjang 2 meter, tebal 5 cm, dan ketebalah pelat 17 cm (apron), serta 20 cm (taxi way) yang akan diisi adonan beton. Karena itu dibuat pabrik pipa di lokasi dengan kapasitas produksi 600 buah pipa sehari. Bandara ini memiliki dua landasan. Bagian selatan panjangnya 3.600 meter dan 3.050 meter di utara dengan lebar masing-masing 60 meter.
Presiden Soeharto memutuskan pemakaian fondasi cakar ayam saat menerima Menteri Perhubungan Rusmin Nuryadin di Bina Graha, Rabu (26/12/1979). Pada 5 Juli 1985, Soeharto meresmikan Bandar Udara Internasional Cengkareng menjadi Bandar Udara Internasional Soekarno-Hatta.
Riset foto dan naskah: Johnny TG, Chris Pudjiastuti dan Eristo S/Pusat Informasi Kompas
Sumber: 1. Kompas, Sabtu, Maret 1974, halaman 1, 2. Kompas, Selasa, 1 Februari 1983, halaman 1, 3. Kompas, Minggu, 13 Maret 1983, halaman 7, 4. Kompas, Sabtu, 21 Juli 1984, halaman 5, 5. Kompas, Rabu, 8 Mei 1985, halaman 1.
Kompas, Minggu, 26 Maret 2017

No comments:

Post a Comment