Saturday 17 December 2016

Rakyat di Antara Tarikan Kepentingan Elite

Oleh AGNES THEODORA dan ANTONY LEE
Relasi antara elite sejumlah kerajaan di Nusantara dengan pemerintah kolonial dalam tataran tertentu menguntungkan kedua belah pihak. Namun, hal itu mengabaikan kesejahteraan rakyat. Setelah lebih dari tujuh dekade Indonesia merdeka, pola hubungan seperti itu masih bisa ditemui dalam bentuk lain.
1721264tidoree-2780x390.jpg
Tidore di Maluku Utara (Barry Kusuma)
Di lereng Gunung Gamalama, Kota Ternate, Maluku Utara, akhir November lalu, pohon cengkeh afo kering meranggas. Batangnya menjulang tinggi dengan dahan yang menjulur tegak, seolah hendak memeluk langit yang siang itu mendung dan muram. Di perkebunan rakyat di Kampung Air Tege Tege itu, cengkeh afo “dikepung” pagar semen dan besi. Pagar itu mengelilingi batang afo yang diameternya cukup lebar sehingga perlu dua orang dewasa merentangkan tangan untuk bisa memeluknya.
Su tara ada dia pung cengkeh (sudah tidak ada lagi cengkehnya). Dari tahun 2000 tidak berbuah,” kata Anwar (51), petani cengkeh yang keluarganya turun temurun merawat pohon afo itu.
Afo dalam bahasa lokal berarti “tua”. Sesuai namanya, pohon afo disebut-sebut sebagai cengkeh tertua di dunia. Pohon cengkeh afo yang kami datangi akhir November lalu adalah generasi kedua yang berusia sekitar 100 tahun. Afo generasi pertama terletak sekitar dua kilometer menuju puncak gunung, sudah mati tahun 1989 pada usia sekitar 300 tahun.
Pada abad ke-17, dalam kurun waktu tahun 1652-1656, nenek moyang cengkeh afo itu lolos dari hongi tochten. Hongi tochten adalah ekspedisi pemberantasan pohon cengkeh di sekitar Maluku, kecuali di Ambon dan Seram. Kebijakan hasil persekongkolan elite Kesultanan Ternate dengan Serikat Dagang Hindia Timur (VOC) itu muncul untuk mengendalikan harga cengkeh. Pasalnya, pada pertengahan abad ke-17, kelebihan pasokan membuat harga cengkeh di pasar Eropa anjlok.
Kebijakan hongi tochten menciptakan ketegangan dalam struktur sosial dan politik masyarakat Maluku. Rakyat setempat kehilangan sumber pendapatan pokok sebagai petani cengkeh. Pasalnya, dalam perjanjian yang dibuat VOC dengan Sultan Ternate Mandar Sjah itu, kompensasi tahunan hanya diberikan kepada para sultan dan bobato (petinggi kerajaan).
Adnan Amal dalam Kepulauan Rempah-Rempah, mencatat ganti rugi tahunan dari VOC untuk kebijakan hongi tochten saat itu ialah 2.000 ringgit untuk Sultan, 500 ringgit untuk Kaicil (kiai kecil) Kalamata, 1.500 ringgit dibagi rata untuk para pembesar kesultanan, serta 500 ringgit dibagi rata untuk Sangaji (kepala wilayah lokal) Makian. Di luar itu, setiap tahun, Kesultanan Ternate mendapat 12.000 ringgit.
Sementara elite menikmati uang ringgit, kain India, dan keramik Tiongkok pemberian VOC, dalam Dunia Maluku, Leonard D Andaya dalam buku Indonesia Timur pada Zaman Modern Awal menulis, semua laki-laki dari desa lokal wajib menjadi buruh untuk menggali pohon cengkeh dari tanah, memisahkan akarnya, dan membakar semua pohon. Didampingi pemimpin ekspedisi dari VOC yang memperlakukan mereka semena-mena, para buruh mencari pohon cengkeh ke pegunungan, tebing terjal, serta pedalaman yang kala itu penuh wabah malaria.
Ekspedisi berat itu berujung pada banyaknya laporan palsu yang disampaikan pegawai VOC kepada Gubernur di Maluku. Laporan pemberantasan rempah-rempah pada 7 Juni 1731 oleh Gubernur Belanda Christiaen Pielat, dalam Memorie van Overgaye yang disimpan di Arsip Nasional Republik Indonesia, sebagaimana dikutip Leonard Andaya, menunjukkan ada laporan yang angkanya dilebih-lebihkan untuk menyenangkan pihak berwenang. Padahal, kenyataannya banyak pohon cengkeh yang tidak diberantas karena tumbuh di medan yang sulit.
cachedimage.jpg
Pemberontakan pecah pada 1651 ketika Majira pemimpin di Hoamoal, Seram, menolak perintah VOC untuk memusnahkan sebagian hasil panen cengkeh. VOC lalu menggelar Hongi Tochten, armada kora-kora bersenjata pemberantas cengkeh (Geheugen van Nederland)
1042595ternate-3780x390.jpg
Kota Ternate di Maluku Utara (Barry Kusuma)
1040037ternate-2780x390.jpg
Benteng di Ternate, Maluku Utara (Barry Kusuma)
4822135p.jpg
Pohon cengkeh afo generasi kedua tampak kering meranggas di lereng Gunung Gamalama, Kota Ternate, Maluku Utara. Dengan seizin Sultan Ternate, nenek moyang pohon cengkeh afo ini lolos dari ekspedisi pembantaian pohon cengkeh yang dilakukan VOC waktu itu.
Persekongkolan
Relasi elite lokal dengan penjajah pada abad ke-16 dan ke-18 menjadi contoh persekongkolan elite lokal dan kolonial yang menyengsarakan rakyat. Dalam buku Perang, Dagang dan Persahabatan, Surat-Surat Sultan Banten, Titik Pudjiastuti memuat sejumlah surat antara Kesultanan Banten dan penjajah. Surat-surat itu menggambarkan relasi politik dan niaga antara elite lokal dan bangsa Eropa yang bertujuan saling menguntungkan, tetapi merugikan rakyat.
Sebagai contoh, surat dari Sultan Abunashar Muhammad Ishaq Zainalmutaqin untuk Gubernur Jenderal Daendles dan Raad van Indie pada 1808. Surat yang saat ini disimpan di bagian Naskah Timur, Universiteits-Bibliotheek Leiden, Belanda tersebut, berisi laporan tentang penanaman lada di Lampung serta pembagian keuntungan dari perkebunan lada dan harga jualnya. Dalam surat itu, Sultan menjamin kualitas lada yang menjadi jatah VOC. Sultan menjanjikan akan menghukum rakyat jika ada hasil panen yang rusak dan keliru dari kesepakatan.
“Jikalau ada (lada) yang rusak atau yang kurang dari bilangan yang ada dalam tulis buku besar adanya, paduka ananda Sri Sultan suruh periksa… Dan jikalau jatuh yang itu salah kepada mandor-mandor atawa tukang-tukang kebun, mesti itu jua yang kena hukuman,” tulis Sultan dalam surat sepanjang tiga lembar kertas itu.
Menurut Guru Besar Ilmu Sejarah Universitas Pattimura John Pattikayhatu, raja dan elite kerajaan pada masa itu lebih memikirkan kepentingan diri sendiri atau keluarga terlebih dulu. Mereka membuat perjanjian yang menguntungkan penjajah, lalu membuat aturan untuk mengisi pundi uangnya sendiri, tetapi mengorbankan rakyat.
Realitas sosial yang ditemukan di Nusantara saat itu turut menginspirasi Asisten Residen Lebak, Banten, Eduard Douwes Dekker, menulis Max Havelaar (1860), yang menggambarkan situasi Banten pada pertengahan abad ke-19. Dikisahkan, saat itu masyarakat hidup miskin, sementara pemerintah kolonial dan Bupati Lebak Adipati Karta memungut pajak dan pungutan sampingan yang berat dari rakyat.
Bupati Lebak juga memaksa rakyat Lebak bekerja untuknya tanpa upah. Hasil padi rakyat diambil oleh bupati dan sebagian untuk Pemerintah Hindia Belanda. Novel Max Havelaar dengan nama pena Multatuli itu turut memainkan peran dalam menggeser kebijakan kolonialisme Belanda yang semena-mena menuju ke arah politik etis.
Kepentingan bisnis
Pengajar Ilmu Sosial dan Politik Universitas Pattimura Josep Ufi mengatakan, meski kini Indonesia sudah merdeka, jejak dari yang dahulu terjadi pada era kolonial masih bisa ditemui. Namun, relasi patron-klien yang terjadi telah bergeser, tidak lagi elit penguasa dengan kolonialis, tetapi elite dengan pemodal asing ataupun lokal. Dalam konteks Indonesia modern, seringkali pola patron-klien itu berujung pada korupsi.
“Ini bentuk eksploitasi dengan aktor yang berbeda, tetapi rohnya sama. Masyarakat masih jadi obyek pembangunan, bukan subyek pembangunan yang perlu disejahterakan,” kata Josep.
Direktur Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Enny Sri Hartati mengatakan, pembangunan di bidang strategis saat ini lebih banyak berorientasi pada proyek dan investasi yang bersifat kroni. Realitas tersebut merupakan titik temu antara politik berbiaya tinggi dan ekonomi berbiaya tinggi.
“Elite politik pengambil kebijakan butuh modal besar. Di sisi lain, pemodal juga butuh lisensi dan kepastian bahwa usahanya dilanggengkan oleh pemerintah. Praktik-praktik seperti itu sampai sekarang masih menjadi akar masalah ketidakoptimalan kita mengelola potensi sumber daya yang ada,” kata Enny.
Hasilnya, ketimpangan ekonomi di Indonesia tinggi. Dalam Inequality in Asia and the Pacific, data World Bank menunjukkan, Indonesia termasuk negara dengan kesenjangan sosial yang tinggi di Asia Tenggara. Rasio gini Indonesia pada 2015 ada di angka 0,40. Semakin mendekati angka 1, semakin lebar kesenjangan kesejahteraan masyarakat.
Angka kemiskinan memang telah menurun, tetapi belum signifikan. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik, Maret 2016, kemiskinan sedikit menurun jadi 28,01 juta jiwa, dibandingkan 28,51 juta jiwa pada September 2015. “Konstitusi sudah mengatur, domain pemerintah dalam mengelola sumber daya strategis, tetapi pemerintah sendiri yang melepas. Pemerintah harus bangun dari kesalahan, berhenti bermain mata dan mulai memegang kendali,” kata Enny.
Merdeka seratus persen, kata Tan Malaka, artinya elite pimpinan tetap tegap, percaya atas diri sendiri, dan jujur terhadap rakyat jelata⎼yang hidup dan tenggelam dengan alam yang didudukinya. Jadi, kita ini sudah merdeka berapa persen?
Kompas, Sabtu, 17 Desember 2016

No comments:

Post a Comment