Saturday 25 June 2016

Saudara Kembar dari Sijuk

Oleh KRIS R MADA dan AMANDA PUTRI N

Bangunan berdinding papan terlihat di ujung tikungan. Hujan dan panas serta cat dan pelitur berulang selama hampir dua abad, membuat papan itu kini berwarna coklat. Sebagian papan sudah diganti karena lapuk. Papan pengganti juga sudah berusia puluhan tahun.
Masjid Al Ikhlas di Jalan Penghulu, Desa Sijuk, Tanjung Pandan, Belitung, Kepulauan Belitung, Senin (13/6).
Masjid Al Ikhlas di Jalan Penghulu, Desa Sijuk, Tanjung Pandan, Belitung, Kepulauan Belitung, Senin (13/6). (Kompas/Wawan H Prabowo)
“Ada juga bagian-bagian lain yang diganti. Tetapi, secara keseluruhan, bentuknya masih mirip seperti saat dibangun pada awal abad ke-19 Masehi,” ujar Agus Pahlevi, pebisnis pariwisata Belitung.
Sejak didirikan, bangunan yang dikenal sebagai Masjid Al Ikhlas itu memang dibuat dari kayu. Bangunan di Desa Sijuk, Belitung, itu dibuat pad a1817. Tidak ada yang tahu pasti, siapa pembuat masjid itu.
Orang Belitung hanya tahu masjid itu yang tersisa dari empat masjid yang dibangun di Belitung pada awal abad ke-19 Masehi. Tiga masjid lain di Membalong, Kelapa Kampit, dan Badau sudah lama tidak ada lagi. tidak ada yang ingat, kapan tiga masjid itu roboh atau hilang dari ingatan.
Di dinding Masjid Sijuk memang ada poster yag menerangkan sejarah masjid itu. Disebutkan, masjid itu dibangun dua bersaudara yang berasal dari Tiongkok. Mereka memeluk keyakinan berbeda, tetapi tetap rukun dan saling membantu.
Dalam poster ditulis, Masjid Sijuk dibangun dua saudara itu setelah mereka membangun Kelenteng Sijuk pada tahun 1815. Kelenteng masih berdiri sampai sekarang di lokasi yang sama, tetapi bentuknya sudah baru setelah direnovasi beberapa tahun lalu.
Masjid Sijuk juga pernah direnovasi pada 1948 dan 1999. Pada 1948, ada penambahan dinding penyekat sehingga masjid terbagi atas ruang tertutup dan terbuka tanpa dinding.
Sementara renovasi tahun 1999 dilakukan untuk merapikan masjid yang sempat ditinggalkan hampir 20 tahun. Orang-orang Sijuk beraktivitas di masjid baru yang lebih besar karena Jemaah semakin banyak. Setelah belasan tahun di masjid baru, orang-orang Sijuk memilih menggunakan lagi Masjid Al Ikhlas sampai sekarang.
Kerukunan
Bagi Isyak Meirobie, Masjid dan Kelenteng Sijuk adalah bukti nyata kerukunan dan toleransi di Belitung. Jauh sebelum orang-orang menekankan soal pentingnya toleransi, orang Belitung sudah mempraktikkan dari dulu sampai sekarang.
Pemuda Tionghoa yang menjadi Wakil Ketua DPRD Belitung itu menyebutkan, kerukunan antarsuku dan toleransi adalah hal biasa di Belitung. Mudah sekali menemukan orang Melayu bercakap dalam Hokkian, bahasa yang berasal dari Tiongkok. Pertemuan budaya lebih dari tiga abad membuat asimilasi dua kebudayaan itu berlangsung dengan baik.
“Di Belitung, Tionghoa bisa menjadi pejabat publik di daerah yang mayoritas penduduknya Melayu. Orang Belitung tidak memandang sebagai Melayu, Tionghoa, atau suku lain. Semua sama, orang Belitung,” kata Isyak.
Hampir tidak ada ketegangan karena faktor rasial di Bangka Belitung (Babel). Bahkan orang-orang justru mengingat Bangka Belitung sebagai tempat perlindungan saat kerusuhan  melanda Jakarta, Mei 1998. “Banyak orang Jakarta datang ke Bangka Belitung dan hidup tenang di sini,” ujarnya.
Isyak mengatakan, salah satu kunci sukses akulturasi di Bangka Belitung adalah perasaan senasib. Tidak ada eksklusivitas dan segregasi berdasarkan etnis di hampir semua sector kehidupan di Bangka Belitung. “Amat mudah menemukan orang Tionghoa menjadi buruh angkut, pekerja kasar, dan tentu saja pedagang di sini. Persebaran itu memungkinkan tumbuh perasaan senasib di antara orang Babel,” ujarnya.
Alasan lainnya dapat dilacak lebih lama lagi. pada abad ke-17 Masehi, ribuan pria didatangkan ke Babel sebagai pekerja tambang timah atau bekerja di sektor pendukungnya. Karena datang sebagai lajang, banyak di antara mereka akhirnya menikah dengan penduduk setempat. “Hampir seluruh Tionghoa di Babel saat ini sebenarnya keturunan pekerja tambang yang menikah dengan orang Melayu,” ujar Ahiong.
Kampung-kampung berdasarkan suku memang tetap ada. Kampung Melayu biasanya di dekat kebun dan hutan. Sebab, penghasilan utama mereka memang dari berkebun. Sementara Tionghoa tinggal dekat pasar karena mereka berdagang.
“Tetapi, amat banyak Tionghoa tinggal di kampung Melayu dan sebaliknya. Tidak ada pemisahan karena Bangka Belitung rumah untuk semua,” tutur Akhmad Elvian, sejarawan di Pangkal Pinang, ibu kota Babel.
Orang Babel sudah lama mengenal pepatah Fangin Tjongin Jitjong. Pepatah ini berarti Melayu dan Tionghoa sama saja. “Pepatah itu sudah lama sekali dikenal di Bangka Belitung. Provinsi ini salah satu contoh sukses akulturasi,” ujarnya.
Orang-orang Bangka mengenal setidaknya 15 hari raya dalam setahun. Perayaan hari besar berdasarkan penanggalan lunar, Hijriah, dan Tiongkok, masing-masing ada tujuh. Hanya satu perayaan berdasarkan kalender Gregorian, Natal. “Saya ikut merayakan Lebaran, Imlek, dan Tahun Baru. Saya banyak teman dan saudara di lingkungan Tionghoa dan Melayu,” kata Ahiong Lohan, pengusaha asal Belinyu, Bangka.
Tahun ini, rangkaian hari raya berdasarkan kalender Tiongkok dimulai pada 8 Februari. Pada hari itu, seperti lazimnya orang Tionghoa di seluruh dunia, warga Tionghoa di Bangka merayakan Imlek atau Tahun Baru 2563. “Di Bangka, Imlek atau Sin Cia disebut juga Ko Ngian (Mandarin: Guo Nian) selama tiga hari,” tuturnya.
Pada tahun baru, semua kerabat datang berkumpul. Karena itu, harga tiket pesawat ke Bangka melejit setiap menjelang Imlek. “Kalau Imlek di Bangka, yang datang ke rumah bukan sesame Tionghoa saja. Tetangga yang Melayu juga datang. Ada yang masak banyak dan mengundang orang sekampung,” ujar Wali Kota Pangkal Pinang Irwansyah.
Pagi-pagi, orang-orang Melayu mendatangi kerabat Tionghoa mereka dan ikut merayakan Imlek. Kunjungan itu balasan karena orang-orang Tionghoa bertandang saat Idul Fitri. Pada hari-hari perayaan itu, semua anggota keluarga berkumpul. Tak peduli apa pun agamanya. Mereka hadir sebagai kerabat, bukan karena ikatan keagamaan.
Perayaan besar setelah Imlek adalah Ceng Beng atau sembahyang leluhur, yang beberapa tahun terakhir jatuh setiap April. Orang Tionghoa Bangka selanjutnya merayakan hari Pek Cun dengan membuat kue bak cang, sejenis kue ketan yang dibungkus daun.
Khususnya di Bangka, orang akan mendatangi Pantai Tanjung Kerasak. Di sana, ada upaya menegakkan sebutir telur. Biasanya, telur terguling jika diletakkan. Pada hari Pek Cun, jika kondisi gravitasi bumi sempurna, telur bisa berdiri.
Perayaan terakhir adalah sembahyang rebut atau Zhong Yuan Jie pada malam ke-15 bulan ketujuh penanggalan Tiongkok. Upacara itu di Jawa dikenal sebagai Cioko atau sembahyang rebutan. Di Asia Tenggara, selain Indonesia, lebih dikenal sebagai Hungry Ghost Festival.
Kompas, Sabtu, 25 Juni 2016

No comments:

Post a Comment