Sunday 15 May 2016

Masjid Luar Batang: Mercusuar Islam di Pantai Jakarta

Oleh SAIFUL RIJAL YUNUS dan WINDORO ADI
Sebanyak 12 buah tiang berdiri di tengah-tengah Masjid Jami Keramat Luar Batang. Tiang-tiang bercat putih itu terdiri dari empat baris, dengan jejeran tiga tiang untuk setiap baris. Tiang-tiang itu tidak menyangga apa pun, hanya bilah-bilah kayu yang menghubungkan setiap tiang pada bagian atasnya. Begitulah menurut riwayat.
Masjid Luar Batang, Penjaringan, Jakarta Utara, Jumat (1/4).
Masjid Luar Batang, Penjaringan, Jakarta Utara, Jumat (1/4). (Kompas/Saiful Rijal Yunus)
Ya, begitulah menurut riwayat ukuran surau yang pertama kali dibangun Al Mukarram Habib Husein bin Abubakar bin Abdillah Alaydrus. Jumlah tiang juga penanda 12 imam," kata Husein Fikri Alaydrus (50). Husein Fikri adalah kerabat dekat Habib Husein, yang jika dirunut telah masuk dalam generasi kelima.
Kamis (12/5) siang, cuaca terik di bagian utara Jakarta. Tiupan angin dari laut yang hanya berjarak sekitar 100 meter dari masjid ini sesekali terasa.
Puluhan orang beribadah di dalam masjid. Lantunan ayat-ayat suci Al Quran mengalun. Bukan hanya dari dalam masjid, melainkan juga dari area makam yang berada di area masjid. Beberapa orang duduk di dekat makam, sementara beberapa lainnya berdiri. Mereka adalah para peziarah makam keramat Habib Husein. Ziarah seperti ini telah dilakukan semenjak ratusan tahun lalu.
Adolf Heuken, dalam buku Historical Sites of Jakarta (Cipta Loka Caraka, Jakarta, 2003) menulis, Masjid Luar Batang merupakan tempat yang istimewa dan banyak didatangi peziarah. Sebab, di tempat itu ada makam ulama terkenal.
Ada dua makam di area masjid. Satu berukuran besar dan ditutup kain hijau. Itulah makam Habib Husein. Dan, satu makam lagi dengan ukuran penutup yang lebih kecil. Menurut riwayat, makam kedua ini adalah makam Haji Abdul Kadir.
Menurut kepercayaan pewaris makam, Haji Abdul Kadir adalah orang Tionghoa yang menjadi murid Habib.
Menurut Heuken, Habib Husein wafat pada tahun 1756. Hal yang sama diyakini warga dan pewaris. Husein Fikri menyebutkan, sang ulama meninggal tepat 17 Ramadhan 1169 Hijriah, atau 24 Juni 1756. Meski begitu, beberapa literatur lain menuturkan Habib Husein wafat dan dimakamkan pada 1798.
Para peziarah
Fikri menuturkan, peziarah yang datang ke tempat ini bukan hanya dari sejumlah wilayah di Indonesia. Setiap tahun sudah rutin peziarah dari Brunei, Malaysia, Singapura, hingga Yaman datang berziarah.
"Ada empat perayaan yang dilakukan setiap tahun, yaitu Maulid (Nabi Muhammad SAW), perayaan Haul Habib Husein, Khatam Ziarah, dan Khatam Taraweh. Maulid dan peringatan Haul Habib adalah dua kegiatan yang sangat ramai didatangi peziarah," tutur Fikri.
content
Dalam perayaan-perayaan tersebut, nasi kebuli selalu disajikan. Nasinya gurih, dimasak dengan kaldu daging kambing, dan dimasak bersama warga kampung sekitar.
"Salah satu peninggalan yang ada sejak puluhan tahun lalu dan masih ada sampai saat ini adalah kuali besar. Artinya dari dulu memang tradisi ini sudah ada," kata Husein Fikri.
Meski begitu, lanjutnya, hingga saat ini memang belum ada peninggalan atau bukti fisik yang bisa menjelaskan bahwa tradisi memasak nasi kebuli sudah berlangsung sejak sang habib masih hidup.
"Peninggalan utama sang habib adalah ajaran, tradisi, dan keberkahan tempat yang masih begitu terasa," kata Husein.
Penyakit malaria
Ia lalu bercerita, saat wafat, habib dibawa dengan kurung batang (keranda) ke daerah Tanah Abang, Jakarta Pusat. Konon kabarnya, sejak itu jenazah habib selalu kembali ke suraunya di dekat pantai. Lokasi surau habib lalu disebut-sebut sebagai kawasan Luar Batang. Luar batang dimaknai "keluar dari keranda".
Sebanyak 12 tiang berdiri di tengah Masjid Jami Keramat Luar Batang, Penjaringan, Jakarta Utara, Rabu (11/5).
Sebanyak 12 tiang berdiri di tengah Masjid Jami Keramat Luar Batang, Penjaringan, Jakarta Utara, Rabu (11/5). (Kompas/Saiful Rijal Yunus)
Pendapat berbeda disampaikan Heuken. Sejarawan ini menulis, penamaan Luar Batang berasal dari basis kongsi dagang Inggris yang disebut log, atau batang kayu. Daerah di utara Pasar Ikan ini semakin lama semakin luas sehingga disebut "Outside The Log", dan diterjemahkan menjadi Luar Batang seperti yang kita kenal saat ini.
Heuken menyebut, sejak tahun 1730-an, daerah ini menjadi daerah yang sudah tidak sehat lagi. Nyamuk yang berkembang biak di tambak-tambak ikan di sekitar kawasan itu menjadi sumber penyakit malaria.
Susan Blackburn dalam bukunya, Jakarta. Sejarah 400 Tahun, menyebutkan, dengan semakin padatnya kota Batavia, permukiman mulai menyebar ke luar tembok kota. Sejumlah wilayah lalu menjadi tidak sehat karena tidak diperhatikan lagi.
"Misalnya, para nelayan dan pelaut Jawa yang tinggal di tepi barat laut kali, tepat di luar tembok kota, di Luar Batang, sebuah daerah dengan drainase yang tidak memadai dan jalan berliku..." tulis Susan. Ia menyebut daerah ini Luar Batang karena adanya palang pabean yang melintang di atas kali.
Chandrian Attahiyat, arkeolog dan tim ahli cagar budaya DKI Jakarta, menuturkan, daerah ini memang dari dulu terkenal dengan serangan malaria hingga kolera. Daerah yang dulunya rawa-rawa lambat laun dipenuhi bangunan tanpa drainase memadai, membuat penyakit cepat bermunculan.
"Bahkan, sekitar 1940-an, daerah ini pernah 'disiram' dari udara untuk mengurangi penyebaran penyakit," ucapnya.
Meski demikian, lanjutnya, kawasan Luar Batang kian dikenal sebagai kawasan ziarah. Setahap demi setahap, surau yang dibangun Sang Habib berkembang menjadi masjid seperti yang tampak sekarang.
Terkait kawasan yang identik dengan penyakit dan daerah kumuh itu, Husein Fikri menuturkan, seorang ulama saat ingin berdakwah selalu memilih daerah terbelakang. Hal itu untuk mengubah keadaan dan memperbaiki kehidupan yang ada di wilayah tersebut.
Masjid Luar Batang yang kini beralamat di RT 004/RW 003 Kampung Luar Batang, Penjaringan, Jakarta Utara, seperti halnya sejumlah masjid lain yang dibangun pada abad ke-18, mengikuti perkembangan pemeluk Islam di Jakarta yang berawal dari Jakarta Utara (Jakut) dan Barat.
Sejumlah masjid yang dibangun pada abad ke-18 tersebut, tulis Heuken, antara lain, Masjid Al-Mansur di Jalan Sawah Lio II/33, Kampung Jembatan Lima, Jakarta Barat (Jakbar); Masjid Al-Alam Cilincing di Jalan Cilincing Lama II, dekat Cengkareng Drain; Masjid Kampung Baru di Jalan Bandengan Selatan, Pekojan, Jakbar; Masjid Pekojan atau Masjid An-Nawier di Jalan Pekojan nomor 79, Jakbar; Masjid Angke di Jalan Tubagus Angke RT 001/RW 005, Kampung Rawa Bebek, Angke, Tambora, Jakbar; Masjid Al-Mukarromah di Kampung Bandan, Jakut; Masjid Jami Kebon Jeruk di Jalan Hayam Wuruk No 83, Maphar, Taman Sari, Jakbar; Masjid Tambora di Jalan Tambora IV, Jakbar; dan Masjid As-Shalafiah di Jatinegara Kaum, Jakarta Timur.
Mercusuar
Sebagian masjid tersebut menunjukkan gaya arsitektur yang kaya oleh bermacam pengaruh budaya, seperti Arab, India, Tiongkok, dan bahkan Bali.
Menurut Candrian, kelebihan Masjid Luar Batang adalah lokasinya di tepi pantai dan berada di kawasan wisata bahari yang kini tengah dalam proses penataan oleh pemerintah. Oleh karena itu, lanjutnya, penataan kawasan permukiman padat dan kumuh yang mengepung masjid tersebut saat ini diharapkan menjadikan Masjid Luar Batang sebagai mercusuar kehadiran Islam di pantai Jakarta.
Tentu saja penataan ini diharapkan tidak selesai hanya di tingkat fisik, tetapi juga diikuti pemberdayaan warga sekitarnya sehingga menjadi sebuah kawasan wisata yang utuh.
Kompas, Senin, 16 Mei 2016

No comments:

Post a Comment