Sunday 29 May 2016

Peta Direvisi, Sumber Baru Gempa Ditemukan

JAKARTA, KOMPAS — Riset terbaru menemukan data dan sumber gempa baru di sejumlah wilayah Indonesia dengan potensi kekuatan lebih besar daripada perhitungan sebelumnya. Sebagian sumber gempa itu berpotensi menimbulkan dampak pada kota-kota besar di Indonesia, termasuk Jakarta dan Surabaya.
Temuan ini mengubah peta gempa Indonesia, sekaligus menuntut perubahan standar bangunan dan tata ruang, serta manajemen mitigasi bencana.
”Banyak gempa besar di Indonesia di luar ekspektasi para ahli. Misalnya gempa Aceh 2004, Yogyakarta 2006, Padang 2009, dan gempa Samudra Hindia 2012. Dari riset terbaru, kami menemukan sejumlah sumber gempa baru belum masuk peta gempa,” kata Irwan Meilano, ahli gempa dari Institut Teknologi Bandung, di Jakarta, Minggu (29/5).
Sumber gempa baru terutama di zona Banda-Flores, sesar Sumatera, sesar di Jawa, gempa dari zona subduksi selatan Jawa, dan sesar aktif memanjang dari utara laut Pulau Bali sampai daratan Jawa bagian utara. ”Temuan baru kegempaan ini akan diuji publik, Senin (30/5) dan Selasa (31/5), di Jakarta, untuk revisi peta gempa nasional,” kata Irwan, yang juga Koordinator Geodesi, Tim Pemutakhiran Gempa Indonesia.
Untuk daerah Banda dan Flores, ancaman gempa terutama dari zona subduksi di selatan. ”Hasil riset terbaru kami menunjukkan, pergerakan di sebelah utara (back arc Bali-Wetar) lebih aktif. Potensi gempa dari utara Bali hingga Pulau Wetar di atas magnitudo (M) 8,” ujarnya.
Patahan di utara Bali itu dideteksi menerus ke barat hingga di daratan Jawa bagian utara, atau dikenal Sesar Kendeng. Kecepatan gerakan Sesar Kendeng 5 mm per tahun, dan bisa berdampak pada Kota Surabaya.
Di Jawa Barat, riset terbaru sesar Lembang, yang diprediksi memicu gempa kekuatan maksimal magnitudo 6,4, kini direvisi jadi maksimal magnitudo 7. ”Ada bukti, gempa yang merusak di Jawa Barat pada 1450 bersumber dari sesar ini,” ujarnya.
Untuk sesar Sumatera, revisi terutama akan dilakukan bagi zona sesar darat di Aceh dan Lampung. ”Dulu sesar Aceh dinilai rendah aktivitas dengan pergerakan 2 mm per tahun, kini ditemukan kekuatan gerak 20 mm per tahun atau 10 kali. Pergerakan sesar Sumatera di Lampung 8 kali lebih aktif dari hitungan sebelumnya,” katanya.
Ancaman Jakarta
Untuk Jakarta, data menunjukkan kota itu pernah hancur besar akibat gempa pada 1699. Selain dari sesar Baribis yang memicu gempa merusak pada 1780, gempa kemungkinan dari zona subduksi selatan Jawa, kekuatan lebih besar daripada perhitungan sebelumnya. ”Data terbaru, gempa subduksi di selatan Jawa kekuatan minimal M 8,5, dari sebelumnya diperkirakan maksimal M 8,1,” kata Irwan.
Riset oleh ahli paleotsunami Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Eko Yulianto, di selatan Jawa menemukan jejak tsunami besar di masa lalu. ”Kami menemukan deposit tsunami raksasa di Binuangun, Kabupaten Lebak (Banten) dan Widoropayung, Cilacap (Jawa Tengah) pada masa hampir bersamaan, 300 tahun lalu,” ucapnya.
Berdasarkan jarak lokasi deposit tsunami lebih dari 500 km, gempa pemicunya diduga amat kuat. ”Panjang rupture (bidang yang retak) pemicu tsunami setara gempa di Sendai, Jepang, pada 2011. Perkiraan gempa di atas magnitudo 9,” ujarnya.
Gempa kuat dari selatan Jawa memicu kehancuran di Jakarta. Menurut katalog gempa Arthur Wichman (1918), gempa amat kuat di Jakarta, 5 Januari 1699, pukul 01.30, merobohkan banyak bangunan dan memicu longsor besar di Gunung Gede-Pangrango dan Salak. (AIK)

Kompas, Senin, 30 Mei 2016

Tinjauan Penerapan dan Evaluasi Breakscore pada Tablet

Breakscore adalah lekukan garis lurus yang melintang di tengah tablet yang bertujuan untuk memudahkan pematahan tablet sehingga bisa diperoleh dosis obat yang lebih rendah dibandingkan dosis obat secara keseluruhan. Dengan adanya garis ini, pasien dapat membelah tablet dengan alasan seperti pengaturan dosis, memudahkan menelan tablet, dan mengirit biaya (van Santen et al, 2002). Umumnya, alasan terakhir ini yang sering ditemukan. Harga obat dengan potensi yang berbeda dari satu pabrik pembuatnya seringkali tidak berbeda banyak, sehingga jika menggunakan obat dengan dosis yang lebih tinggi kemudian membelahnya tentu yang diperoleh adalah harga yang lebih rendah dibandingkan membeli obat tunggal dengan dosis yang diharapkan.

Thursday 26 May 2016

Pengamatan Tanda Awal Gempa Dikembangkan

Aspek Sosial dan Budaya Jadi Tantangan
JAKARTA, KOMPAS — Gempa bumi menjadi bencana alam paling sulit diprediksi kapan akan terjadi, berapa kekuatan, dan di mana lokasinya. Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika telah mengembangkan sistem pemantau tanda awal gempa serta menjadi peluang baru mitigasi bencana ke depan.
"Banyak seismolog menyatakan, gempa bumi tak bisa diprediksi. Namun, sebagian lain, terutama dari kalangan non-seismolog, menyatakan bisa," kata Kepala Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Andi Eka Sakya saat membuka seminar geofisika di Kantor BMKG, Jakarta, Kamis (26/5).
"Sejumlah paper menyebut gempa dan tsunami di Aceh tahun 2004 ada prekursornya (tanda-tanda awal). Kita sekarang punya sistem itu. Ini perlu ditingkatkan untuk kepentingan mitigasi ke depan," ujarnya.
Sistem pemantauan prekursor gempa ini, menurut Kepala Pusat Seismologi Teknik Geofisika Potensial dan Tanda Waktu BMKG Jaya Murjaya, dirintis sejak tiga tahun terakhir. Salah satunya dengan metode perekaman anomali magnet bumi.
"Prekursor gempa dipantau dengan meneliti adanya anomali spektrum magnet bumi komponen Z/H pada frekuensi 0.02 Hz untuk Sumatera dan Jawa Barat bagian selatan," ujarnya.
Sensor magnet bumi dipasang di Gunungsitoli (Sumatera Utara), Liwa (Lampung), dan Tangerang (Banten). Dari 28 kejadian gempa bumi di Gunungsitoli, sudah diketahui rata-rata waktu paparan anomali spektrum magnet bumi komponen Z/H dengan waktu kejadian gempa bumi 4 sampai 30 hari.
"Di samping itu, sudah dapat dihitung arah azimut pusat gempa bumi dari lokasi tempat pengamatan (sensor) dan hasilnya cukup baik. Metode ini sudah cukup baik, tetapi masih harus terus dikembangkan," ujarnya.
Peneliti BMKG, Suaidi Ahadi, memaparkan risetnya, pada 4 April 2016, terekam anomali geomagnetik di Gunungsitoli. Ternyata kemudian terekam gempa M 5,1 pada 17 April 2016.
Sementara anomali pada 8 April 2016 yang terekam lalu diikuti gempa M 5,1 pada 12 April dan anomali pada 10 April 2016 diikuti gempa M 5,5 pada 23 April 2016. "Kesimpulan kami, pemantauan prekursor gempa dengan data magnet bumi bisa memberikan informasi kurang dari satu bulan untuk aktivitas potensi sumber," kata Suaidi.
Gas radon
Bambang Sunardi, peneliti geofisika dari Litbang BMKG, mengatakan, selain mengamati anomali magnet bumi, pemantauan gas radon (Rn) telah dilakukan. Pemantauan itu dilaksanakan di sejumlah lokasi, seperti di Palabuhanratu, Jawa Barat, dan di Yogyakarta, tepatnya di kawasan Pundong dan Piyungan, Kabupaten Bantul.
"Dari pantauan kami, awal 2015, frekuensi gempa di Yogyakarta sedikit. Pada akhir 2015 cukup banyak gempa. Ternyata ini sejalan dengan peningkatan konsentrasi gas radon yang menunjukkan peningkatan pada akhir 2015," ujarnya.
Menurut Deputi BMKG Bidang Geofisika Masturyono, meski hasil riset berkembang baik, sejauh ini gempa belum bisa diprediksi secara presisi kapan terjadi hingga hitungan jam dan berapa magnitudonya. "Sistem ini harus diteliti lagi hingga bisa diimplementasikan," katanya.
Perlu juga dikembangkan sistem prekursor yang terintegrasi di antara dua sensor, misalnya radon dan geomagnetik, agar bisa saling mengonfirmasi. "Dari aspek sosial dan budaya, tantangannya amat besar jika sistem ini nanti diimplementasikan," ucapnya.
Andi mengingatkan, mitigasi gempa yang utama adalah pada mutu bangunan. Gempa tak membunuh, tetapi bangunan roboh perlu diwaspadai. Dalam kasus gempa di Yogyakarta pada 2006, kerugian mencapai Rp 3,1 triliun dan ribuan jiwa meninggal. (AIK)

Kompas, Jumat, 27 Mei 2016

Sunday 15 May 2016

Masjid Luar Batang: Mercusuar Islam di Pantai Jakarta

Oleh SAIFUL RIJAL YUNUS dan WINDORO ADI
Sebanyak 12 buah tiang berdiri di tengah-tengah Masjid Jami Keramat Luar Batang. Tiang-tiang bercat putih itu terdiri dari empat baris, dengan jejeran tiga tiang untuk setiap baris. Tiang-tiang itu tidak menyangga apa pun, hanya bilah-bilah kayu yang menghubungkan setiap tiang pada bagian atasnya. Begitulah menurut riwayat.
Masjid Luar Batang, Penjaringan, Jakarta Utara, Jumat (1/4).
Masjid Luar Batang, Penjaringan, Jakarta Utara, Jumat (1/4). (Kompas/Saiful Rijal Yunus)
Ya, begitulah menurut riwayat ukuran surau yang pertama kali dibangun Al Mukarram Habib Husein bin Abubakar bin Abdillah Alaydrus. Jumlah tiang juga penanda 12 imam," kata Husein Fikri Alaydrus (50). Husein Fikri adalah kerabat dekat Habib Husein, yang jika dirunut telah masuk dalam generasi kelima.
Kamis (12/5) siang, cuaca terik di bagian utara Jakarta. Tiupan angin dari laut yang hanya berjarak sekitar 100 meter dari masjid ini sesekali terasa.
Puluhan orang beribadah di dalam masjid. Lantunan ayat-ayat suci Al Quran mengalun. Bukan hanya dari dalam masjid, melainkan juga dari area makam yang berada di area masjid. Beberapa orang duduk di dekat makam, sementara beberapa lainnya berdiri. Mereka adalah para peziarah makam keramat Habib Husein. Ziarah seperti ini telah dilakukan semenjak ratusan tahun lalu.
Adolf Heuken, dalam buku Historical Sites of Jakarta (Cipta Loka Caraka, Jakarta, 2003) menulis, Masjid Luar Batang merupakan tempat yang istimewa dan banyak didatangi peziarah. Sebab, di tempat itu ada makam ulama terkenal.
Ada dua makam di area masjid. Satu berukuran besar dan ditutup kain hijau. Itulah makam Habib Husein. Dan, satu makam lagi dengan ukuran penutup yang lebih kecil. Menurut riwayat, makam kedua ini adalah makam Haji Abdul Kadir.
Menurut kepercayaan pewaris makam, Haji Abdul Kadir adalah orang Tionghoa yang menjadi murid Habib.
Menurut Heuken, Habib Husein wafat pada tahun 1756. Hal yang sama diyakini warga dan pewaris. Husein Fikri menyebutkan, sang ulama meninggal tepat 17 Ramadhan 1169 Hijriah, atau 24 Juni 1756. Meski begitu, beberapa literatur lain menuturkan Habib Husein wafat dan dimakamkan pada 1798.
Para peziarah
Fikri menuturkan, peziarah yang datang ke tempat ini bukan hanya dari sejumlah wilayah di Indonesia. Setiap tahun sudah rutin peziarah dari Brunei, Malaysia, Singapura, hingga Yaman datang berziarah.
"Ada empat perayaan yang dilakukan setiap tahun, yaitu Maulid (Nabi Muhammad SAW), perayaan Haul Habib Husein, Khatam Ziarah, dan Khatam Taraweh. Maulid dan peringatan Haul Habib adalah dua kegiatan yang sangat ramai didatangi peziarah," tutur Fikri.
content
Dalam perayaan-perayaan tersebut, nasi kebuli selalu disajikan. Nasinya gurih, dimasak dengan kaldu daging kambing, dan dimasak bersama warga kampung sekitar.
"Salah satu peninggalan yang ada sejak puluhan tahun lalu dan masih ada sampai saat ini adalah kuali besar. Artinya dari dulu memang tradisi ini sudah ada," kata Husein Fikri.
Meski begitu, lanjutnya, hingga saat ini memang belum ada peninggalan atau bukti fisik yang bisa menjelaskan bahwa tradisi memasak nasi kebuli sudah berlangsung sejak sang habib masih hidup.
"Peninggalan utama sang habib adalah ajaran, tradisi, dan keberkahan tempat yang masih begitu terasa," kata Husein.
Penyakit malaria
Ia lalu bercerita, saat wafat, habib dibawa dengan kurung batang (keranda) ke daerah Tanah Abang, Jakarta Pusat. Konon kabarnya, sejak itu jenazah habib selalu kembali ke suraunya di dekat pantai. Lokasi surau habib lalu disebut-sebut sebagai kawasan Luar Batang. Luar batang dimaknai "keluar dari keranda".
Sebanyak 12 tiang berdiri di tengah Masjid Jami Keramat Luar Batang, Penjaringan, Jakarta Utara, Rabu (11/5).
Sebanyak 12 tiang berdiri di tengah Masjid Jami Keramat Luar Batang, Penjaringan, Jakarta Utara, Rabu (11/5). (Kompas/Saiful Rijal Yunus)
Pendapat berbeda disampaikan Heuken. Sejarawan ini menulis, penamaan Luar Batang berasal dari basis kongsi dagang Inggris yang disebut log, atau batang kayu. Daerah di utara Pasar Ikan ini semakin lama semakin luas sehingga disebut "Outside The Log", dan diterjemahkan menjadi Luar Batang seperti yang kita kenal saat ini.
Heuken menyebut, sejak tahun 1730-an, daerah ini menjadi daerah yang sudah tidak sehat lagi. Nyamuk yang berkembang biak di tambak-tambak ikan di sekitar kawasan itu menjadi sumber penyakit malaria.
Susan Blackburn dalam bukunya, Jakarta. Sejarah 400 Tahun, menyebutkan, dengan semakin padatnya kota Batavia, permukiman mulai menyebar ke luar tembok kota. Sejumlah wilayah lalu menjadi tidak sehat karena tidak diperhatikan lagi.
"Misalnya, para nelayan dan pelaut Jawa yang tinggal di tepi barat laut kali, tepat di luar tembok kota, di Luar Batang, sebuah daerah dengan drainase yang tidak memadai dan jalan berliku..." tulis Susan. Ia menyebut daerah ini Luar Batang karena adanya palang pabean yang melintang di atas kali.
Chandrian Attahiyat, arkeolog dan tim ahli cagar budaya DKI Jakarta, menuturkan, daerah ini memang dari dulu terkenal dengan serangan malaria hingga kolera. Daerah yang dulunya rawa-rawa lambat laun dipenuhi bangunan tanpa drainase memadai, membuat penyakit cepat bermunculan.
"Bahkan, sekitar 1940-an, daerah ini pernah 'disiram' dari udara untuk mengurangi penyebaran penyakit," ucapnya.
Meski demikian, lanjutnya, kawasan Luar Batang kian dikenal sebagai kawasan ziarah. Setahap demi setahap, surau yang dibangun Sang Habib berkembang menjadi masjid seperti yang tampak sekarang.
Terkait kawasan yang identik dengan penyakit dan daerah kumuh itu, Husein Fikri menuturkan, seorang ulama saat ingin berdakwah selalu memilih daerah terbelakang. Hal itu untuk mengubah keadaan dan memperbaiki kehidupan yang ada di wilayah tersebut.
Masjid Luar Batang yang kini beralamat di RT 004/RW 003 Kampung Luar Batang, Penjaringan, Jakarta Utara, seperti halnya sejumlah masjid lain yang dibangun pada abad ke-18, mengikuti perkembangan pemeluk Islam di Jakarta yang berawal dari Jakarta Utara (Jakut) dan Barat.
Sejumlah masjid yang dibangun pada abad ke-18 tersebut, tulis Heuken, antara lain, Masjid Al-Mansur di Jalan Sawah Lio II/33, Kampung Jembatan Lima, Jakarta Barat (Jakbar); Masjid Al-Alam Cilincing di Jalan Cilincing Lama II, dekat Cengkareng Drain; Masjid Kampung Baru di Jalan Bandengan Selatan, Pekojan, Jakbar; Masjid Pekojan atau Masjid An-Nawier di Jalan Pekojan nomor 79, Jakbar; Masjid Angke di Jalan Tubagus Angke RT 001/RW 005, Kampung Rawa Bebek, Angke, Tambora, Jakbar; Masjid Al-Mukarromah di Kampung Bandan, Jakut; Masjid Jami Kebon Jeruk di Jalan Hayam Wuruk No 83, Maphar, Taman Sari, Jakbar; Masjid Tambora di Jalan Tambora IV, Jakbar; dan Masjid As-Shalafiah di Jatinegara Kaum, Jakarta Timur.
Mercusuar
Sebagian masjid tersebut menunjukkan gaya arsitektur yang kaya oleh bermacam pengaruh budaya, seperti Arab, India, Tiongkok, dan bahkan Bali.
Menurut Candrian, kelebihan Masjid Luar Batang adalah lokasinya di tepi pantai dan berada di kawasan wisata bahari yang kini tengah dalam proses penataan oleh pemerintah. Oleh karena itu, lanjutnya, penataan kawasan permukiman padat dan kumuh yang mengepung masjid tersebut saat ini diharapkan menjadikan Masjid Luar Batang sebagai mercusuar kehadiran Islam di pantai Jakarta.
Tentu saja penataan ini diharapkan tidak selesai hanya di tingkat fisik, tetapi juga diikuti pemberdayaan warga sekitarnya sehingga menjadi sebuah kawasan wisata yang utuh.
Kompas, Senin, 16 Mei 2016

Thursday 12 May 2016

Agama Versi Negara

Oleh KOMARUDDIN HIDAYAT
Di zaman modern ini semua agama tumbuh dalam ruang negara. Namun, hubungan antara keduanya tidak selalu harmonis, bahkan masih menyisakan banyak problem serius. Sering kali terjadi kontestasi antara pemimpin agama dan pemimpin negara dalam meraih dukungan publik.
Bahwa institusi agama merasa disaingi oleh negara, hal ini mudah dimaklumi mengingat agama merasa lebih dahulu lahir sebelum negara. Bahkan, agama diyakini sebagai cetak biru Tuhan pemilik semesta, sedangkan negara yang jumlahnya ratusan merupakan evolusi historis dan produk konsensus masyarakat.
Bagaimanakah konsep agama versi negara? Ternyata cukup beragam dan dinamis. Pengalaman Amerika, Eropa, Timur Tengah, dan Indonesia masing-masing berbeda dan saling memengaruhi. Di AS, misalnya, negara mengambil sikap separatif dan netral atas dasar prinsip sekularisme. Agama itu urusan personal. Agama tidak boleh masuk ruang negara. Namun, negara melindungi sepenuhnya hak dan kebebasan warganya untuk menganut keyakinan agama, apa pun agamanya, termasuk keyakinan untuk tidak beragama.
Bagi Abdullahi Ahmed An-Na’im, pemikir kenegaraan dan keislaman asal Sudan yang kini menetap di AS, ketulusan beragama lebih dimungkinkan jika seseorang tinggal di negara sekuler. Sebab, katanya, sikap keimanan dan keberagamaannya lebih ditentukan oleh kesadaran dan kebebasan, bukan karena keterpaksaan atau motif-motif sosial-politik lainnya. Dengan alasan itu pula, An-Na’im berpendapat bahwa Muslim membutuhkan negara sekuler; bukan agar mereka menjadi lebih modern atau liberal, melainkan agar menjadi Muslim yang lebih baik. Selain dapat beriman, beribadah dan beramal semata karena Allah, hak dan kebebasan mereka dalam kehidupan beragama pun dilindungi dan dibela negara secara lebih baik (An-Na’im, 2007).
Menurut dia, sekularisme model AS tidak anti agama, justru menghargai dan melindungi kebebasan individu untuk memilih agamanya dengan tetap menaati kaidah-kaidah hukum negara. Thomas Jefferson (1743-1826), presiden ketiga AS, turut berjasa dalam meletakkan fondasi sikap deistik yang inklusif, yang memberikan kebebasan beragama bagi warga AS. Sebuah teori mengatakan, dasar negara yang semula berbunyi In Jesus I Trust dia ubah menjadi In God We Trust yang diambil dari lagu rakyat AS, ”The Star-Spangled Banner”—karangan Francis Scott Key (1814)—yang sekarang menjadi lagu kebangsaan AS.
Meski AS membela paham sekularisme, sulit membayangkan muncul Presiden AS yang beragama Islam ataupun di luar komunitas Protestan. Pernah sekali penganut Katolik terpilih menjadi Presiden AS (presiden ke-35), yaitu JF Kennedy, yang meninggal terbunuh pada 22 November 1963, di usia 46 tahun, dan masih menyisakan misteri.
Dalam melindungi dan melayani warga negaranya, Pemerintah AS tidak diskriminatif. Oleh karena itu, di AS tumbuh ribuan sekte keagamaan yang kesemuanya relatif berkembang secara damai.
Di Eropa juga terjadi pemisahan negara dan agama, tetapi negara masih memberikan perhatian khusus pada warisan budaya dan simbol-simbol agama. Di Inggris, misalnya, Ratu Elizabeth adalah juga ketua gereja Anglikan. Bahkan, ada blasphemy law, siapa yang menghina ratu sama halnya menghina gereja dan bisa terkena pidana. Di Eropa, ada parpol bernuansa keagamaan yang dibantu oleh negara dalam kategori LSM (lembaga swadaya masyarakat). Berbeda dari AS dan Inggris, kultur sekularisme Perancis mengesankan anti agama. Hal ini mungkin akibat trauma perang antar-agama di masa lalu dan kenangan kolektif yang pahit mengenai hubungan antara gereja dan negara.
Pengalaman Indonesia
Di Indonesia, negara mengakui eksistensi dan peran agama-agama besar dunia, misalnya Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Buddha, dan Konghucu. Keenam agama ini kemudian dianggap sebagai agama resmi negara yang didukung secara sosial-kultural, sejauh mereka tidak mengganggu eksistensi negara. Keistimewaan seperti itu terkadang dirasa kurang adil terhadap kepercayaan-kepercayaan lokal yang telah lama ada dan memperkaya budaya nasional. Karena itu, pemerintah berusaha untuk memberinya perlindungan dengan berbagai macam cara guna menjaga keseimbangan dan keadilan.
Kembali ke hubungan negara dan agama, Indonesia bukannya mengambil sikap separatif-sekularistik, tidak juga teokratik, tetapi suportif-akomodatif terhadap agama dalam porsi yang cukup besar. Sikap akomodatif terhadap agama terkadang menghasilkan respons publik yang ambivalen. Misalnya, publik bisa saja mencoba mendesak penerapan syariat di ruang publik dengan klaim sila pertama Pancasila: Ketuhanan yang Maha Esa. Namun, pihak lain bisa juga menolaknya dengan sila ketiga: Persatuan Indonesia.
Ini tampak ambivalen, tetapi sebenarnya keduanya bisa saling menguatkan. Artinya, sah-sah saja ketika nilai-nilai agama dipromosikan di ruang publik, asalkan mengikuti prosedur demokrasi dengan menggunakan argumen kepentingan dan kebaikan publik. Dalam hal ini syariat boleh saja dikedepankan asalkan bisa diyakinkan kepentingan publiknya, misalnya sistem perbankan syariat yang dapat dimanfaatkan oleh pihak mana saja karena manfaat publiknya jelas.
Walaupun tidak menganut paham sekularisme, Indonesia menerapkan prinsip-prinsip kenegaraan dan pemerintahan yang biasa berlaku di negara sekuler. Contohnya, fungsi legislasi dilakukan DPR. Fungsi yudikatif oleh seperangkat sistem peradilan. Fungsi eksekutif dijalankan oleh pemerintah yang berkuasa. Presiden dan wakil presiden sebagai kepala pemerintahan dipilih dalam pemilu yang bebas dan rahasia. Hak asasi manusia (HAM) diterapkan dengan cukup baik.
Tiap warga negara, termasuk umat Islam, berkedudukan sama di depan hukum. Hanya saja, umat Islam yang mayoritas terkadang menuntut lebih dari pemerintah. Ini masuk akal saja karena alasan sejarah dan demokrasi. Sejarah mencatat bahwa umat Islam memiliki saham dan memberi dukungan politik sangat besar bagi lahirnya Republik Indonesia. Mereka tidak pernah ragu mendukung kemerdekaan. Bahkan, mereka memprakarsai ide tentang kemerdekaan, malah banyak yang gugur dalam perjuangan kemerdekaan melawan penjajah. Namun, setelah merdeka hingga sekarang umat Islam merasa hanya menikmati sedikit dari sumber daya ekonomi nasional yang maha besar itu. Salah satu sebabnya mungkin juga dikarenakan pendidikan di lembaga-lembaga pendidikan Islam lemah dalam pengembangan sains dan ekonomi. Agenda yang menonjol dari Kementerian Agama pun masih berkutat pada pendidikan keagamaan dan dakwah.
Dalam konteks ketidakseimbangan ini, sering kali kita saksikan kekecewaan muncul dari sekelompok umat Islam dengan ekspresinya yang bermacam-macam. Ada yang lembut-lembut, konseptual-intelektual, tetapi ada juga yang agak keras, meskipun pada dasarnya Islam membenci kekerasan. Terlebih lagi kekerasan yang memperalat agama yang jelas tidak sejalan dengan ajaran Islam, kecuali ketika mereka ditindas dan diperlakukan tidak adil. Periksa saja peristiwa-peristiwa sejarah sejak masa kolonial, dari Perang Diponegoro sampai Peristiwa Tanjung Priok di masa Orde Baru. Bahkan, pemberontakan Darul Islam sekalipun, semua itu merupakan protes terhadap ketidakadilan.
Lantas kenapa agama digunakan? Ya, karena itu salah satu sumber daya yang mereka punya dan hanya itu yang bisa menginspirasi mereka untuk menyatakan protes kepada negara secara bersama-sama. Jadi, bukan memperalat agama seperti yang sering kali dituduhkan, melainkan agama digunakan sebagai sumber daya untuk mengekspresikan kekecewaan sosial mereka.
Maka, ke depan, aspek keadilan harus diperhatikan untuk menjaga agar hubungan antara agama dan negara tetap harmonis, apa pun agamanya. Negara dan pemerintah tentu akan terus mendukung perkembangan umat beragama, apalagi jika hal itu bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan bangsa serta memperkuat karakter dan identitas nasional guna mengantisipasi persaingan regional ataupun global.
Prinsip keadilan dan kebaikan
Fenomena yang selalu mengemuka, terjadi gesekan hubungan antara negara ketika agama dijadikan instrumen bagi mobilitas dan perjuangan politik untuk memperebutkan kursi legislatif dan eksekutif. Sentimen dan aspirasi keagamaan selalu muncul dan dimunculkan setiap menjelang pemilu dan pilkada. Semua ini menunjukkan betapa kuatnya peran agama dalam proses dan mekanisme politik di Indonesia, sementara negara juga memanfaatkan sentimen agama untuk mendukung legitimasi pemerintah.
Namun, proses negosiasi antara negara dan agama tidak selalu mulus. Terlebih ketika muncul paham dan gerakan agama yang tidak mau mengakui eksistensi negara di atas institusi agama. Muncul ideologi tandingan terhadap negara yang digerakkan oleh sekelompok tokoh agama yang memiliki jaringan kerja sama dengan gerakan transnasional.
Dalam sistem teokrasi, otoritas keagamaan diberi peran politik dan memiliki kekuasaan eksekutif dalam pemerintahan, seperti halnya Republik Islam Iran atau negara Vatikan, sekalipun kepala pemerintahannya dipilih melalui proses pemilihan yang demokratis. Adapun Arab Saudi pada dasarnya sebuah monarki yang kebetulan rajanya seorang Muslim yang sangat peduli kepada kepentingan Islam, bahkan menyebut dirinya sebagai pelayan dua kota suci: Mekkah dan Madinah (khadimul kharamain). Cerita yang tidak sedap didengar adalah Pakistan yang memisahkan diri dari India karena alasan agama. Namun, Republik Islam Pakistan selalu menampilkan peristiwa kekerasan yang berdarah-darah, yang sangat tidak sejalan dengan ajaran Islam.
Dalam ajaran Islam, pemimpin diminta lebih mengutamakan prinsip keadilan, baru diikuti prinsip kebaikan. Adil itu memberikan sesuatu kepada yang berhak, sedangkan kebaikan itu memberikan sesuatu dari yang seseorang miliki untuk membantu orang lain. Jadi, kalau pemimpin bertindak adil, artinya dia memberikan dan melindungi apa yang menjadi hak warga negaranya: tidak pandang mayoritas atau minoritas, tidak mengenal lawan atau kawan.
KOMARUDDIN HIDAYAT
Guru Besar Fakultas Psikologi UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta
Kompas, Jumat, 13 Mei 2016

Wednesday 11 May 2016

Sadiq Khan: Mengalahkan Isu Sektarian

Oleh PASCAL S BIN SAJU
Terpilihnya Sadiq Khan sebagai Wali Kota London, Inggris, Jumat (6/5) pekan lalu, adalah kejutan. Berasal dari etnis minoritas, imigran, dan Muslim, dia meraih kepercayaan sebagai pemimpin ibu kota Inggris. Sosoknya memberi inspirasi luas, bahwa isu-isu sektarian bisa dikalahkan.
Sadiq Khan
Sadiq Khan (Reuters/Jeff Overs)
Kemenangan historis Khan itu serta-merta menjadi trending topic media sosial dan berita daring (dalam jaringan) di berbagai belahan dunia. Obrolan tentang sosok itu terus bertengger di papan atas hingga Senin (9/5), hari pertama dia mulai bertugas sebagai wali kota.
Optimisme, pujian, harapan, sikap toleran, dan cerita inspiratif demokrasi menyambut Khan tidak saja di London, tetapi juga di berbagai penjuru dunia, termasuk Indonesia. Berita kemenangannya sebagai wali kota Muslim pertama di ibu kota Inggris itu diangkat sebagai berita utama dan ulasan editorial di media-media besar dunia.
Ucapan selamat dari para politisi dunia untuk Khan juga mengalir melalui media sosial, seperti Twitter dan Facebook, atas kegigihannya berjuang. Di antara mereka ada Wali Kota New York Bill de Blasio yang berasal dari kelompok sayap kiri. Ia memuji Khan sebagai sosok inspiratif. Dia berharap bisa ”bekerja sama” dengan wali kota baru itu untuk masa depan yang lebih baik.
Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama juga ikut menyambut Khan. Proses pencalonan hingga Khan terpilih merupakan ”cerita inspiratif demokrasi, prestasi, dan toleransi”, kicau Basuki di akun Twitter- nya.
Majalah berita Jerman, Der Spiegel, menyebut kemenangan Khan sebagai kemenangan atas islamofobia. ”Pemilihan Khan menunjukkan London lebih liberal, pintar, dan toleran dibandingkan dengan kaum konservatif,” tulis media itu.
London merupakan salah satu pusat peradaban dunia, pusat keuangan, dan tujuan pariwisata yang ramai. Menjadi salah satu kota dengan penduduk terpadat di Eropa, sebagian besar warga London merupakan keturunan Britania, kemudian Irlandia, dan etnis lain. Ada juga beragam etnis lain di sini, seperti keturunan negara-negara Afrika, Timur Tengah, Tiongkok, India, Banglades, dan Pakistan.
Mayoritas warga kota ini beragama Kristiani. Sebagian kecil beragama lain, seperti Islam, Hindu, Buddha, Yahudi, atau Sikh. Dengan tradisi Kristen yang kuat, acara-acara penting di London banyak digelar di gereja atau katedral.
Kemenangan Khan kini memberi tanda bahwa isu sektarian dan rasial—yang sangat dominan menyerangnya selama masa kampanye pemilihan—sudah usang di era global yang tak lagi bersekat. Salah satunya, dia dituduh oleh pesaingnya terkait dengan ekstremisme. Padahal, Khan menolak radikalisme yang disebutnya sebagai ”kanker” dan berjanji menangkalnya sekuat tenaga.
Warga London kini rupanya telah belajar untuk membedakan mana pemimpin yang provokator, picik, rasial, dan sektarian, dan mana yang bukan. Dan, warga menilai Khan tidak termasuk golongan pemimpin yang seperti itu. Ia justru dinilai sebagai pemimpin yang solider, menjunjung tinggi keberagaman dan perbedaan, serta menghargai kelompok lain yang berbeda.
Khan jarang melemparkan pernyataan bernada provokatif dan rasial terhadap rival politiknya yang cenderung buas menebarkan politik divide et impera dan kebencian. Selama kampanye, serangan semacam itu sering dialamatkan kepada Khan oleh rival utamanya.
Serangan kubu Konservatif tentang Khan yang ekstrem akhirnya menguap. Hasil pemilihan menunjukkan, senator dari Tooting, London Selatan, itu memetik kemenangan 56,8 persen atau melesat 13,6 persen di atas rival utamanya, Tory Zac Goldsmith. Dia terpilih menjadi Wali Kota London sekaligus mengakhiri kekuasaan Partai Konservatif dari tangan Boris Johnson yang delapan tahun berkantor di Balai Kota London.
Warga ingin keluar dari aliran politik yang memecah belah, rasial, menghakimi, dan tak mau lagi terjebak pada sekat-sekat primordial yang sempit. Khan menarik keluar dan membebaskan mereka. ”Hari ini adalah kemenangan yang luar biasa karena harapan melampaui rasa takut, dan persatuan mengatasi perpecahan,” tulis Khan di Facebook, memberikan semangat kepada warga.
”Kemenangan ini bukan tentang saya. Ini tentang jutaan warga London yang kehidupannya bisa kita tingkatkan dengan membangun rumah yang terjangkau, pembekuan tarif, memulihkan pengaturan masyarakat, dan mengatasi polusi udara,” tegasnya.
Visi pro-rakyat
Dalam pidato pengambilan sumpah jabatannya, Sabtu (7/5), Khan menekankan 10 program prioritas untuk membangun kota megapolitan London, seperti perumahan murah bagi warga, penghapusan tarif angkutan publik, serta penanganan atas rawannya keamanan dan ketertiban masyarakat. Dia berjanji membangun transportasi umum yang layak dan menyediakan lapangan kerja baru bagi semua. Warga London dijanjikan tidak akan membayar sepeser pun tarif angkutan mulai tahun 2020.
Visi dan misinya yang pro-rakyat menjadi salah satu kunci kemenangan Khan. Kini ia ingin menepati janji-janji kampanyenya. ”Sekarang kerja keras dimulai. Mari kita membuat London menjadi lebih baik untuk semua Londoners,” kata Khan pada saat pengambilan sumpah jabatan di Katedral Southwark, London, Sabtu.
”Saya ingin setiap warga London mendapatkan kesempatan yang diberikan kota ini kepada saya dan keluarga saya. Kesempatan tidak hanya untuk bertahan hidup, tetapi untuk berkembang,” lanjutnya.
Khan menegaskan, dirinya ada untuk mewakili semua warga London dan untuk mengatasi ketimpangan di London. Sekarang kesempatan baginya untuk mulai memberi bukti.
Cita-citanya ialah membuat London kota yang lebih adil dan lebih toleran, terbuka, dapat diakses oleh semua, dan semua dapat hidup serta sejahtera bebas dari prasangka.
Dari keluarga migran
Khan tidak memiliki awal yang istimewa dalam hidupnya. Dia adalah anak kelima dari delapan saudara dari orangtua yang merupakan migran dari Pakistan. Ayahnya, Amanullah Khan, adalah sopir bus. Ibu, Sehrun, seorang penjahit.
Sejak usia dini, Khan menunjukkan tekad kuat untuk mengesampingkan kepentingan dirinya sendiri. Semasa mahasiswa, ia menyukai sepak bola, tinju, dan kriket. Ia penggemar berat klub Liverpool. Dia juga pernah belajar matematika dan sains.
Kemudian, Khan beralih ke studi hukum atas dorongan seorang guru yang mengatakan kepadanya, ”Kamu selalu berdebat.” Ia lalu menjadi pengacara di firma hukum Christian Fisher.
Dia menjadi anggota Partai Buruh sejak usia 15 tahun dengan haluan kiri lunak dan secara ideologis berpaham demokrasi sosial. Sebuah paham politik yang sering disebut sebagai kiri atau kiri moderat yang muncul pada akhir abad ke-19 berasal dari gerakan sosialisme. Sebelum menjadi Wali Kota London, Khan adalah Muslim pertama yang menjadi menteri dalam kabinet era Perdana Menteri Gordon Brown pada tahun 2008. (GUARDIAN/BBC/REUTERS/AFP)
Kompas, Kamis, 12 Mei 2016

Tuesday 10 May 2016

Korupsi Audit

Oleh DEDI HARYADI
Pada saat hampir bersamaan, minggu ketiga April 2016, Komisi Pemberantasan Korupsi dan Wakil Presiden Jusuf Kalla mengeluarkan pernyataan senada: memercayai hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan. Apa konteks dan makna simbolik pernyataan itu?
Pernyataan itu memang harus segera keluar dari kedua institusi itu. Kalau tidak, integritas Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) akan roboh, meluncur pada titik nadir. Efek dominonya akan ambruk jugalah lansekap dan ”bangunan” pemberantasan korupsi kita. Kalau Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tidak percaya dengan hasil audit BPK, bagaimana mungkin bisa menangani berbagai kasus korupsi? Hasil audit siapa yang mau dirujuk?
Tanpa disadari BPK itu sebenarnya tulang punggung pemberantasan korupsi. Hasil audit (opini) BPK itu menjadi rujukan institusi penegak hukum dalam menilai ada tidaknya penyimpangan dalam pengelolaan keuangan negara, khususnya ada tidaknya kerugian keuangan negara. Itu elemen penting dalam dakwaan terjadinya korupsi.
Kita harus mengapresiasi keluarnya pernyataan itu sebagai sebuah kearifan. Namun, jangan sampai kearifan itu mengaburkan apalagi mengubur dalam-dalam persistennya bahaya korupsi audit (auditing corruption).Selama ini kita difokuskan dan disibukkan oleh korupsi peradilan dan korupsi politik, nyaris abai dengan korupsi audit. Kalau korupsi yudisial terjadi pada proses penegakan hukum dengan aktor utamanya penegak hukum (polisi, jaksa, dan hakim), sementara korupsi politik terjadi proses politik dengan aktor utamanya para politisi, korupsi audit terjadi pada proses audit dengan aktor utamanya auditor.
Menginspirasi
Terlepas suka atau tidak suka terhadap gaya bicara dan kepemimpinan Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama (Ahok), kita harus berterima kasih kepadanya yang membawa bangsa ini pada pengalaman baru. Pertama, pembelajaran bersama tentang proses dan hasil audit. Kedua, bagaimana menyelesaikan perselisihan tentang hasil audit. Ketiga, menyadarkan betapa besarnya bahaya korupsi audit.
Mungkin tidak sengaja Ahok menjadi auditee, pihak yang diaudit, yang memelopori perselisihan terbuka dengan BPK. Selama ini tidak ada kepala daerah atau kepala lembaga/kementerian yang secara terbuka tak hanya mempertanyakan, tetapi justru menilai hasil audit BPK keliru.
Ahok sangat percaya diri. Baginya BPK telah melakukan kekeliruan elementer. Pertama, keliru menentukan lokasi obyek yang diaudit, yang berakibat pada perbedaan dalam menentukan nilai jual obyek pajak, yang berujung pada klaim adanya kerugian keuangan negara. Kedua, keliru menerapkan kerangka peraturan yang dipakai dalam pengadaan tanah. Ketiga, ditengarai proses audit ini padat konflik kepentingan, di antaranya auditor pernah menawarkan lahannya untuk dibeli Pemprov DKI.
Beberapa auditor senior yang diminta komentarnya mengenai perselisihan ini menganggap posisi Ahok mengandung kebenaran. Mudahan-mudahan sikap kritis Ahok menjadi inspirasi bagi kepala daerah lain dalam menghadapi dan menyikapi proses dan hasil audit.
Belum lagi kasus sengketa hasil audit dengan Ahok usai, BPK juga terkena bencana integritas yang lain, yaitu tersangkutnya Ketua BPK dalam Dokumen Panama. Belum tentu bermasalah memang, tetapi ada problem etik serius di sana, yang mendorong publik mempertanyakan integritas Ketua BPK. Mungkin tidak apple to apple membandingkan sikap Ketua BPK dengan Sigmundur David Gunnlaugsson yang mundur dari jabatannya sebagai Perdana Menteri Eslandia, yang juga namanya tercantum dalam Dokumen Panama. Di sana pejabat publik/negara itu beradab tinggi, di sini sebaliknya.
Sebelum kedua kasus ini muncul, publik sudah dibingungkan oleh kerja BPK dalam memberikan predikat (opini). Banyak pemerintah daerah/kementerian yang mendapatkan predikat wajar tanpa pengecualian (WTP), tetapi belakangan diketahui gubernur/wali kota/menteri/pemda tersebut koruptif. Contoh, Provinsi Sumatera Utara, Riau, Palembang, Bangkalan, Kementerian Agama, Kemenpora, dan Kementerian ESDM.
Kalau predikat WTP tak memberikan jaminan daerah itu bersih dari korupsi, lalu apa makna substansial yang paling dalam dari predikat WTP? Inilah yang membuat Ahok secara terbuka tidak berminat meraih predikat WTP. Mungkin keengganan Ahok ini juga menginsipirasi kepala daerah lain untuk tak antusias meraih predikat WTP. Di Jawa Barat, WTP itu dipelesetkan jadi wajar teu puguh (wajar tak jelas).
Apakah ini terkait praktik jual-beli opini hasil audit? Mungkin! Presedennya ada. Sudah beberapa kali KPK menangkap basah beberapa auditor BPK yang kedapatan melakukan transaksi jual-beli predikat laporan keuangan. Misalnya, pada 2010, KPK mencokok EH, auditor BPK Jawa Barat, saat jual-beli kualitas laporan keuangan dengan Pemkot Bekasi. Aparat Pemkot Bekasi menyuap auditor itu untuk mendapatkan predikat WTP.
Deretan kasus itu jelas mencerminkan ada masalah dalam tubuh BPK. Sebagian bisa dijelaskan dengan ”teori” oknum yang berlaku umum itu. ”Teori” oknum menjelaskan kesalahan, penyimpangan, malapraktik profesi sebagai gejala individu,kesalahan ada pada orang itu an sich. Bukan pada sistem dan kelembagaan. Kalau demikian halnya, tak perlu khawatir sebab penyimpangan dan malapraktik itu milik semua profesi.
Namun, peer review yang dilakukan BPK Polandia (2014) terhadap BPK kita memperlihatkan temuan menarik. BPK dinilai belum patuh pada kode etik yang mengharuskannya independen dari pengaruh politik lembaga-lembaga yang diauditnya (yang dikuasai berbagai parpol). Lima dari sembilan anggota BPK saat ini punya afiliasi dan relasi politik dengan parpol. Komposisi seperti itu membuat BPK padat konflik kepentingan. Kurang independen dan padat konflik kepentingan inilah yang menyebabkan terjadi penyimpangan dan distorsi dalam proses dan hasil audit. Peer review ini mekanisme yang dikembangkan The International Organization of Supreme Audit Institutions (komunitas organisasi audit sedunia) untuk memastikan anggotanya patuh pada kode etik dan standar audit.
Mengajekkan politik audit
Bagaimana memperbaiki integritas dan indepedensi BPK ke depan? Ada beberapa inisiatif yang bisa dikembangkan. Pertama dan yang utama adalah harus diperbaiki dulu politik auditnya. Selama ini independensi BPK ada di antara dua pendulum: eksekutif dan legislatif. Dulu berat ke eksekutif; diangkat dan diberhentikan oleh Presiden (Soeharto). Sekarang berat ke legislatif: DPR berwenang penuh merekrut anggota BPK.
Sekarang dan ke depan, pemerintah dan DPR harus ikhlas membiarkan BPK berdiri dan bekerja secara independen sepenuhnya. Tempatkanlah kepentingan membangun BPK yang bebas dan mandiri di atas kepentingan pribadi atau golongan (parpol).Untuk itu pemerintah dan DPR harus merevisi UU Nomor 15 Tahun 2006 tentang BPK. Revisi difokuskan pada proses perekrutan anggota BPK yang steril dari koneksi politik.
Kedua, melembagakan partisipasi publik dalam proses audit. Keterlibatan publik masih dalam proses audit masih terbatas.Tak ada lembaga swadaya masyarakat yang mengkhususkan diri terlibat dan memantau kerja BPK, padahal sangat strategis dan penting. Kalaupun ada masih sporadis sifatnya. Keterlibatan itu, misalnya,dalam bentuk melakukan analisis kritis terhadap hasil audit BPK. Hasil analisis itu disampaikan kepada kalangan yang lebih luas. Persis seperti yang dilakukan Indonesian Corruption Watch dalam sengketa Ahok versus BPK. Mungkin ke depan kita bisa juga mengembangkan mekanisme eksaminasi publik terhadap hasil audit yang menimbulkan kontroversi di masyarakat.
Ketiga, membangun mekanisme penyelesaian alternatif sengketa hasil audit. Apakah perselisihan Ahok vs BPK akan dibiarkan menggantung? Mana yang benar? Kita tak akan tumbuh maju kalau kasus itu dibiarkan menggantung. Perselisihan itu harus selesai, konklusif, supaya kita bisa mendapat pelajaran dan hikmah sehingga kasus yang sama tidak terulang. Kalau kepala daerah seperti Ahok nanti makin banyak bermunculan, kebutuhan membangun mekanisme penyelesaian sengketa hasil audit jadi nyata dan mendesak.
DEDI HARYADI
Deputi Sekjen Transparansi Internasional Indonesia
Kompas, Rabu, 11 Mei 2016

Sunday 8 May 2016

Tetabuhan Pungkasan Kyai Nggower

Oleh RADITYA MAHENDRA YASA
Suara tetabuhan gamelan yang dimainkan belasan wiyaga menggema lembut di teras tengah bangunan lawas di Omah Lawang Ombo, Kecamatan Lasem, Kabupaten Rembang, Jawa Tengah, Rabu (6/4). Suara dari gamelan yang berusia ratusan tahun ini mengiringi seniman tari sekaligus sebagai sebuah pertunjukan pungkasan sebelum berpindah pemilik untuk dijual.
Tetabuhan yang Terakhir
Tetabuhan yang Terakhir (Kompas/Raditya Mahendra Yasa)
Keberadaan gemelan di Lasem memiliki sejarah panjang menjadi bagian tak terpisahkan dari pertautan budaya Tionghoa dan Jawa Islam. Salah satunya gamelan laras pelog milik keluarga Tjoo yang dinamai Kyai Nggower. Dalam akta gamelan, tercatat gamelan ini dijual oleh Tan Siah Mei dari Blora lalu diboyong ke Lasem setelah dibeli Lie Hwan Jiang melalui perantara Tjan Tok Sien pada 1919.
Bagi warga Tionghoa di pesisir utara Jawa seperti Lasem, gamelan selalu dimainkan saat upacara tradisional keagamaan ataupun penyelenggaraan acara keluarga. Sampai saat ini terdapat lima keluarga Tionghoa yang masih menyimpan perangkat gamelan di Lasem.
Sie Hwie Tan, yang sering disapa Gandor, mengaku terpaksa menjual gamelan Kyai Nggower karena sudah tidak mampu merawat. "Saya sudah tua dan sering sakit sepertinya tidak mungkin lagi merawat Kyai Nggower," katanya dengan berkaca-kaca. Pentas sore itu seolah menjadi perpisahan baginya dan tentu saja warga Lasem yang peduli dengan pelestarian budaya.
Persembahan untuk Leluhur
Persembahan untuk Leluhur (Kompas/Raditya Mahendra Yasa)
Para Wiyaga
Para Wiyaga (Kompas/Raditya Mahendra Yasa)
Foto Bersama
Foto Bersama (Kompas/Raditya Mahendra Yasa)
Pengumuman Pertunjukkan
Pengumuman Pertunjukan (Kompas/Raditya Mahendra Yasa)
bcc9f8ed23ea4e64bb7ef2e97bed67e8.jpg
Berakhirnya Pertunjukan (Kompas/Raditya Mahendra Yasa)
Kompas, Minggu, 8 Mei 2016