Sunday 20 March 2016

Jejak Silang Peradaban Madura

Oleh MAWAR KUSUMA dan ARYO WISANGGENI
Terik mengembuskan semilir angin panas saat mobil kami melintasi perbukitan menuju Kebonagung, sebuah desa di Kecamatan Kota Sumenep, Kabupaten Sumenep. Perjalanan pendek yang gerah itu-hanya sekitar 15 menit dari pusat kota Sumenep-mengawali Senin (7/3) pagi kami.
Masjid Agung Sumenep yang dulunya disebut masjid Jami, berada di tengah kota Sumenep. Madura, Jawa Timur, Sabtu (5/3).
Masjid Agung Sumenep yang dulunya disebut masjid Jami, berada di tengah kota Sumenep. Madura, Jawa Timur, Sabtu (5/3). (Kompas/Eddy Hasby)
Seperti dataran tinggi lain di Madura, punggung perbukitan Kebonagung landai. Di pulau seluas 5.304 kilometer persegi itu, dataran tinggi nyaris melulu bukit kapur yang landai dan rendah dengan wilayah tertinggi Gunung Tembuku (471 meter dari permukaan laut).
Pulau itu berbentuk memanjang 190 kilometer dari barat ke timur. Bagian terlebar pulau itu, dari sisi utara hingga sisi selatan, hanya berjarak 40 kilometer. Madura memang nyaris selalu diembusi angin pesisir panas-angin Laut Jawa di utara dan angin laut Selat Madura bersua di daratannya.
Beruntung, pertengahan musim hujan menumbuhkan hijauan di kiri-kanan jalanan mulus yang kami lalui. Hijauan yang menambah semangat mendatangi Asta Tinggi, kompleks pemakaman keluarga bangsawan Kerajaan Sumenep.
Kerajaan Sumenep bagian dari sejarah besar Nusantara. Prasasti Kudadu (1294) mengisahkan bagaimana Narariya Madura Adipati Wiraraja, Raja Songenep atau Sumenep, membantu Raden Wijaya menghancurkan Jayakatwang dari Kerajaan Gelanggelang (Kediri) dan tentara Tartar.
Ukiran indah
Asta Tinggi adalah peninggalan dari babak sejarah yang lain. Kompleks pemakaman keluarga bangsawan Kerajaan Sumenep itu dibangun Pangeran Pulang Jiwo pada tahun 1672, satu setengah abad setelah imperium Majapahit runtuh.
Selepas gerbang Asta Tinggi, jalan setapak beton membelah pelataran depan makam, menggiring kaki menuju rumah jaga kompleks makam Asta Tinggi. Arkeolog Universitas Negeri Malang, Dwi Cahyono, yang menyertai perjalanan kami, segera saja terlibat percakapan panjang dengan salah satu juru kunci Asta Tinggi, KR Abdul Razak Qasyani. Keduanya saling bertukar sejarah dan silsilah raja- raja yang dikebumikan di Asta Tinggi.
Abdul Razak menyarankan kami mengunjungi ketiga kubah yang ada di blok tertua dari tiga blok makam para raja dan bangsawan Sumenep itu. "Setiap kubah itu dibangun pada masa berbeda. Masing-masing menjadi kubah bagi makam tiga raja penting Kerajaan Sumenep. Pertama, kubah makam Pangeran Pulang Jiwo yang memerintah pada 1672-1678. Kedua, kubah makam Pangeran Jimat yang memerintah pada 1721-1744. Ketiga, kubah makam Bindara Saod yang memerintah pada 1750-1762," tutur Abdul Razak.
Ketiga kubah itu ada di balik gerbang kedua blok paling barat dari kompleks makam Asta Tinggi. Begitu melintas gerbang kedua itu, mata segera berserobok dengan hamparan nisan-nisan yang melapuk dimakan usia ratusan tahun. Rumput-rumput coklat meranggas hadir di sela-sela nisan. Putihnya tembok kapur setinggi 4 meter menggenapkan nuansa renta makam Asta Tinggi.
Dua kubah di tengah hamparan nisan tua hadir mencolok karena ukurannya yang besar, tetapi warna kuning tembok kubah itu sama muramnya. Di belakang kedua kubah, mengintip puncak kubah ketiga-kubah tertua Asta Tinggi, kubah makam Pangeran Pulang Jiwo. Kaki melangkah ingin segera menuju kubah tertua itu, tetapi langkah-langkah kami terhenti di tengah jalan.
Kami "gagal" melewati godaan untuk melewati dulu kubah makam Pangeran Jimat karena terpesona ukiran dinding kayu kubah makam kedua itu. "Ini luar biasa, ukiran yang sangat rinci dan bentuknya berbeda dengan ukiran kayu yang umumnya terlihat di Jawa. Ukiran burung hong itu pasti pengaruh ukiran Tiongkok," kata Dwi sambil mengelus ukiran kayu kerowong (diukir hingga tembus) penuh warna dan bolak-balik itu.
madura 01.jpg
Kompleks Makam Asta Tinggi merupakan kompleks pemakaman raja-raja Sumenep, terletak di Kebonagung, Sumenep, Madura, Jawa Timur, Sabtu (5/3). (Kompas/Eddy Hasby)
madura.jpg
Makam Raja Sumenep Asta Tinggi di Kabupaten Sumenep, Sabtu (5/3). Selain untuk mengagumi arsitekturnya, Komplek pemakaman yang dibuat sekitar tahun 1750 menjadi tujuan wisatwan untuk berziarah. (Kompas/Bahana Patria Gupta)
Segera Dwi memasuki bangunan kubah, melangkah di sela-sela nisan makam, melewati beberapa peziarah yang tengah berdoa. Matanya tak lepas menatap salah satu panel kayu dinding belakang kubah, berdecak kagum. "Ini binatang serupa naga, dengan kaki serupa kaki kuda. Simbol mitologis Tiongkok sangat hadir dalam ukiran ini," bisik Dwi di sela-sela lantunan doa para peziarah. Kekaguman yang sama muncul saat ia menyimak ukiran dinding belakang kubah ketiga, kubah makam Bindara Saod.
Dwi semakin penasaran untuk melihat rupa kubah makam tertua, kubah makam Pangeran Pulang Jiwo. Begitu tiba di sana, Dwi berdecak lirih melihat keindahan ukiran monokrom yang menjadi dinding belakang kubah makam sang raja.
"Ukiran-ukiran ini memberi gambaran tak terbantahkan tentang bagaimana Madura mengalami persilangan budaya dari masa ke masa. Pengaruh bentuk-bentuk ornamen dari masa Hindu dan Buddha masih terasakan, itulah akar lama Madura. Pengaruh Islam yang saat itu sudah berkembang di Madura muncul dalam bentuk stilasi berbagai bentuk tumbuhan yang mendominasi ukiran. Karena pengaruh Islam, bentuk binatang yang hadir semakin distilasi, samar, menghindari penggambaran yang menyerupai wujud aslinya," kata Dwi.
Persilangan budaya
Ukiran dari tiga masa yang berbeda-tahun 1670-an, 1720-an, dan 1750-an-seperti sebuah catatan harian dari persuaan-persuaan Madura dengan beragam budaya. Peradaban Hindu-Buddha di Madura digantikan oleh peradaban Islam Nusantara sejak Panembahan Joharsari (bertakhta 1319-1331) menjadi Raja Sumenep pertama beragama Islam (Legenda Bindoro Saod & Joko Tole, Penerbit Asta Tinggi, 2012).
Posisi Madura yang strategis, berada di simpang jalur pelayaran tradisional, membuat pelabuhan-pelabuhan tua di pesisir utara Madura-Dungkek, Pasongsongan, Ambunten, dan Slopeng-bersentuhan dengan para pedagang Arab dan Tiongkok. Pemerhati budaya Madura, Edhi Setiawan, menyebut toponimi pelabuhan Dungkek berakar dari bahasa khek (dung berarti pertama,kek berarti tamu). "Toponimi itu adalah jejak migrasi orang-orang keturunan Tionghoa pada abad ke-17," ujar Edhi menjelaskan kemunculan ornamen ukiran berbau Tiongkok di ketiga kubah tertua Asta Tinggi.
Meski tak merinci asal usul kemunculan ornamen Tiongkok dalam ukiran di ketiga kubah tertua Asta Tinggi, juru kunci KR Abdul Razak Qasyani menegaskan akulturasi budaya Tiongkok dalam peradaban Islam di Madura. "Arsitek Masjid Jamik Sumenep adalah seorang Tionghoa, Lauw Pia Ngo, yang membangun masjid itu pada 1763-1769. Lauw Pia Ngo juga membangun sebagian kubah dan bangunan di kompleks Asta Tinggi. Di Asta Tinggi, kita juga bisa menemukan jejak-jejak persilangan peradaban Madura dengan peradaban Eropa," kata Abdul Razak.
Dari tepian blok paling timur kompleks makam Asta Tinggi, kami memandangi hamparan kota Sumenep, mencari-cari kubah Masjid Jamik. Kota pesisir itu kini kian ramai, semakin padat, dan terus berdenyut, berkilauan oleh terik matahari. Kami menoleh ke belakang, menatapi gerbang-gerbang kompleks Asta Tinggi, melihat puluhan peziarah yang datang riuh, berbincang sambil menapaki jejak-jejak Madura tempo doeloe.
Wisatwan mengunjungi Makam Raja Sumenep Asta Tinggi di Kabupaten Sumenep, Sabtu (5/3). Selain untuk mengagumi arsitekturnya, Komplek pemakaman yang dibuat  sekitar tahun 1750  menjadi tujuan wisatwan untuk berziarah.Wisatawan mengunjungi Makam Raja Sumenep Asta Tinggi di Kabupaten Sumenep, Sabtu (5/3). (Kompas/Bahana Patria Gupta)
Prasasti berbahasa arab di  Makam Raja Sumenep Asta Tinggi di Kabupaten Sumenep, Sabtu (5/3). Selain untuk mengagumi arsitekturnya, Komplek pemakaman yang dibuat  sekitar tahun 1750  menjadi tujuan wisatwan untuk berziarah.
Prasasti berbahasa arab di Makam Raja Sumenep Asta Tinggi di Kabupaten Sumenep, Sabtu (5/3). (Kompas/Bahana Patria Gupta)Ci
Kompas, Sabtu, 19 Maret 2016

No comments:

Post a Comment