Sunday 3 January 2016

Museum Sumpah Pemuda: Kisah Pemondokan Sie Kong Liong

Oleh C WINDORO ADI
Saat ujian tiba, suasana di pemondokan Sie Kong Liong, yang biasanya riuh dengan diskusi politik, senyap. Para mahasiswa yang menghuni rumah di Jalan Kramat 106, Senen, Jakarta Pusat, itu mengurung diri hampir sepanjang hari di kamar masing-masing. Inilah sepenggal kisah di Gedung Sumpah Pemuda.

Diorama Kongres Pemuda di Museum Sumpah Pemuda, Jalan Kramat Raya, Jakarta Pusat, Kamis (22/10). (Kompas/Priyombodo)
Kala itu, di ruang tengah masih ada beberapa mahasiswa yang bermain biliar atau kartu remi. Menjelang pukul 24.00 mulai terdengar bunyi-bunyian. Amir Sjarifoeddin, yang kelak menjadi Perdana Menteri RI, melepas penat belajarnya dengan memainkan biola. "Ia biasanya memainkan karya-karya Schubert atau serenata lain bernada sentimentil. Saya lalu membalas gesekan biolanya, melantunkan karya musik yang sama," tulis Abu Hanifah, gelar Datuk Maharaja Emas dalam buku Manusia dalam Kemelut Sejarah (LP3ES, Jakarta, 1978).
Abu kemudian menjadi Menteri Pendidikan dan Kebudayaan pada 1949-1950 dalam Kabinet Republik Indonesia Serikat dan pernah menjadi Duta Besar RI untuk Brasil.
Tak begitu lama, Yamin (Mohammad Yamin, Menteri Kehakiman 1951-1952; Menteri Pengajaran, Pendidikan, dan Kebudayaan pada 1953-1955; Menteri Urusan Sosial dan Budaya pada 1959-1960) berteriak dari kamarnya menyuruh Abu dan Amir berhenti main biola. Sebab, Yamin sedang menerjemahkan karya Rabindranath Tagore yang harus masuk ke Penerbit Balai Pustaka bulan itu juga.
Pemondokan ini, seperti ditulis dalam buku Panduan Museum Sumpah Pemuda (Museum Sumpah Pemuda, Jakarta, 2015), terdiri dari bangunan utama dan 14 paviliun yang berdiri di atas lahan seluas 1.041 meter persegi. Luas bangunan utama 460 meter persegi, sementara luas setiap paviliun 45 meter persegi.
Gedung utama itu, selain digunakan sebagai pemondokan mahasiswa, pada zamannya juga dimanfaatkan para pemondoknya sebagai arena diskusi politik, ruang baca, bermain biliar, dan tenis meja.
"Yang menghuni pemondokan ini awalnya adalah anggota Jong Java. Sebagian besar mereka kuliah di Sekolah Dokter Hindia di Gedung Stovia (di Jalan Abdurahman Saleh Nomor 26, Jakarta Pusat, masa kini). Mereka pindahan dari pemondokan di Jalan Kwitang Nomor 3 yang dianggap sudah sempit untuk berlatih kesenian dan diskusi. Mereka mulai mondok di Kramat 106 tahun 1925," tulis Dr Goelarso, salah satu tokoh Jong Java, dalam buku Peranan Gedung Kramat Raya 106 dalam Melahirkan Sumpah Pemuda (Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Dirjen Kebudayaan, Museum Sumpah Pemuda, Jakarta 2014).
Jong Java awalnya bernama Tri Koro Dharmo yang artinya 'Tiga Tujuan Mulia'. Organisasi pemuda pertama di kalangan masyarakat kota ini dibentuk di Gedung Stovia atas prakarsa Satiman Wirjosandjojo. Pada Kongres I di Solo, 12 Juni 1918, Tri Koro Dharmo diubah namanya menjadi Jong Java.
Pada 1926, para penghuni pondokan milik Liong, yang dikenal dekat dengan Mohammad Hatta, ini makin beragam. Mereka kebanyakan adalah aktivis pemuda dari daerahnya masing-masing. Kegiatan penghuni gedung pun makin beragam.
Pada September tahun itu, para mahasiswa penghuni pemondokan mendirikan Perhimpunan Pelajar Pelajar Indonesia (PPPI) dan menjadikan pemondokan sebagai pusat kegiatan PPPI. Setahun kemudian, pemondokan mulai dijadikan ajang kegiatan berbagai organisasi gerakan pemuda, termasuk Bung Karno, yang kala itu menjadi salah satu tokoh Algemeene Studie Club di Bandung, Jawa Barat.
Pada 1928, para penghuni pemondokan memproklamirkan berdirinya Indonesische Clubgebouw (IC). Debat dan diskusi politik di antara mereka akhirnya berujung pada Kongres Pemuda I yang berlangsung di satu gedung di Jalan Budi Utomo, Jakarta Pusat, 30 April 1928. Kongres dilanjutkan pada 27 dan 28 Oktober tahun yang sama.
Kongres terakhir digelar di Pemondokan Liong. Di tempat inilah para tokoh pemuda Indonesia bersatu mengikrarkan Sumpah Pemuda dan menyatakan bendera Merah Putih serta lagu "Indonesia Raya" sebagai bendera dan lagu kebangsaan Indonesia.
Menurut Abu, inti pemuda Angkatan '28 itu berasal dari tiga tempat, yakni para mahasiswa anggota Perhimpunan Indonesia di Negeri Belanda, para mahasiswa anggota Algemeene Studie Club di Bandung, dan para mahasiswa anggota PPPI di Jakarta. Dalam Perhimpunan Indonesia muncul nama Datuk Nazir Pamoentjak, Nazier, Mohammad Hatta, Soekiman, Budiarto, Sartono, Soenario, Iskaq, dan Samsi. Dari Bandung muncul nama Soekarno dan Anwari, sedang dari Jakarta muncul antara lain nama Yamin, Amir, Assaat, Wongsonegoro, Abbas, Suwirjo, Reksodiputra, dan Tamzil.
528d4a9b0c834052be3c3026a0d84041.jpg
Museum Sumpah Pemuda
Pada 1934, hiruk pikuk pemuda kebangsaan di Pemondokan Liong reda. Kegiatan mahasiswa anggota IC dialihkan ke Jalan Kramat Nomor 156, Jakpus.

Gedung Sumpah Pemuda seperti termuat di harian Kompas edisi 4 November 1976. (Kompas/JB Suratno)
Edukator (pemandu pengunjung) Museum Sumpah Pemuda, Dwi Nurdadi (26), yang ditemui Kamis (22/10), mengatakan, pada 20 Mei 1973 Gubernur Ali Sadikin meresmikan pemondokan Liong ini sebagai Gedung Sumpah Pemuda. Pada tanggal yang sama setahun kemudian, Presiden Soeharto meresmikan gedung cagar budaya ini sebagai Museum Sumpah Pemuda.
Belakangan, lanjut Dwi, pengunjung Museum Sumpah Pemuda terbanyak berasal dari kalangan siswa kelas III dan kelas V SD. "Jumlahnya mencapai sekitar 60 persen. Selebihnya, pengunjung keluarga dan perorangan, peneliti, orang asing, dan wartawan," kata Dwi.
Itu sebabnya pengelola menyesuaikan tampilan dan pelayanan museum untuk mereka. Tampilan dibuat lebih sederhana, ringan, dan terbatas pada seputar Sumpah Pemuda. "Agar menarik, sejak Juni 2013, kami menayangkan film animasi berdurasi 13 menit," tutur Dwi.
Ana, Wali Kelas VA SD Al Ikhlas, Cipondoh, Kota Tangerang, yang Kamis pagi itu mendampingi para siswanya berkunjung ke museum, mengatakan, kunjungan ke museum membuat para siswa lebih mudah memahami mata pelajaran Sejarah, Bahasa Indonesia, dan Pendidikan Kewarganegaraan. Torik (10), siswa Al Ikhlas, mengaku, selain mudah dipahami, isi koleksi Museum Sumpah Pemuda juga menghibur.
Menurut Dwi, setiap Oktober, jumlah pengunjung bisa mencapai 3.000 orang. Namun, di luar bulan tersebut, rata-rata sebulan hanya 500 orang. Tahun ini ditargetkan pengunjung mencapai 15.000 orang. Dari target tersebut, sampai September lalu, jumlah pengunjung sudah mencapai 7.000 orang.
Maknanya? "Warga Jakarta masih peduli sejarah perjuangan pemuda Indonesia," ucap Dwi.
Gedung itu masih dipertahankan keasliannya. Perubahan hanya pada teras bagian depan. Awalnya, teras dibatasi tembok setinggi 1 meter. Kini, tembok itu dibongkar sehingga teras tampak lebih luas.
Di teras itu, tepat di depan pintu masuk utama, terdapat replika gedung. Terasnya dilapisi ubin berbentuk segi lima dengan motif bunga biru. Masih asli, belum dipernah diganti.
Berukuran luas 460 meter persegi, gedung ini terbagi atas beberapa bagian. Salah satunya ruang kongres. Sebanyak tujuh patung laki-laki berjas putih dan berkopiah beludru hitam duduk di bangku kayu dengan meja dilapisi kain merah. Di dindingnya terdapat teks kongres Sumpah Pemuda. (B04)
Kompas, Senin, 26 Oktober 2015

No comments:

Post a Comment