Sunday 29 November 2015

N-219, Merintis Pesawat Khas Nusantara

Oleh YUNI IKAWATI dan M ZAID WAHYUDI
Pesawat N-250 barangkali tinggal sejarah. Namun, itu tak menyurutkan PT Dirgantara Indonesia – pembuatnya – berupaya mandiri memproduksi pesawat komuter generasi kedua, yaitu N-219. Langkah tersebut untuk menjawab kebutuhan masyarakat, terutama di wilayah terpencil negeri kepulauan ini.
Kemampuan anak bangsa membuat pesawat terbang sendiri memang sudah dibuktikan dengan dua prototype N-250. Salah satunya dinamai “Gatotkoco”, yang telah terbang perdana pada 10 Agustus 1995. Pesawat itu dirancang memuat 50 penumpang. Seri berikutnya adalah “Kerincingwesi” untuk menampung 70 orang.
Pesawat N-250 Gatotkoco (Kompasiana.com)
Dua pesawat itu merupakan bukti bangsa Indonesia mampu menguasai teknologi rancang bangun dan manufaktur pesawat penumpang sipil. Tak terbantahkan lagi.
Namun, itu saja ternyata belum cukup. Masih ada sederet tahapan yang perlu dilalui untuk membangun kemandirian. Target akhirnya adalah memenuhi kebutuhan bangsa ini akan transportasi udara dengan memproduksi pesawat buatan sendiri. Tentu saja pesawat yang layak dan aman untuk digunakan, sekaligus dapat dikomersialisasikan.
Kemampuan dalam negeri itu sejalan dengan dampak pertumbuhan ekonomi Indonesia yang relatif baik itu mendorong kenaikan jumlah penumpang angkutan udara domestik dari 7,6 juta penumpang tahun 2000 menjadi 71 juta penumpang pada tahun 2013. Pertumbuhan rata-ratanya 22 persen per tahun.
Dari sisi ekonomi, perkembangan itu jelas tanah yang subur bagi industri penerbangan. Pasarnya sangat terbuka.
008a1237c117419f8ad4260b0a252426.jpg
Karyawan PT Dirgantara Indonesia, Bandung, Jawa Barat, merampungkan pembuatan pesawat N-219, Rabu (4/11/2015). N-219 ialah pesawat terbaru buatan PT DI yang dikembangkan bersama Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional serta didesain untuk penerbangan ke daerah terpencil dengan landasan pacu pendek dan tak beraspal. (Kompas/Rony Ariyanto Nugroho)
50117fcd23c04763997bd4b046489ceb.jpg
Direktur Utama PT Dirgantara Indonesia Budi Santoso (kiri) didampingi Chief Engineering N-219 Palmana Bhanadhi (kanan) melihat pesawat N-219 buatan PTDI, Bandung, Kamis (12/11). Desain, teknologi, dan mesin dikerjakan semuanya oleh ahli dalam negeri. Pesawat dibuat PTDI dengan Lapan. (Kompas/Rony Ariyanto Nugroho)
39528c54605d417183ceb225dbad356f.jpg
Pesawat N-219 buatan PT Dirgantara Indonesia (DI) bersama Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional diluncurkan dalam acara penampilan perdana pesawat N-219 di hanggar PT DI, Bandung, Jawa Barat, Kamis (10/12/2015). Peluncuran yang dilakukan Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Luhut Binsar Pandjaitan ini merupakan karya anak bangsa secara keseluruhan.(Kompas/Rony Ariyanto Nugroho)

Generasi kedua

Pesawat N-250, 20 tahun lalu dibuat dengan tujuan untuk memenuhi transportasi pengumpan (feeder) lokal, yaitu di kota provinsi dan kabupaten. Namun, karena kepentingan bisnis dan politis, mimpi yang siap terwujud itu kandas. Bahkan, sebelum sampai tahapan sertifikasi.
Dua dasawarsa berlalu, PTDI kini menjalani babakan baru membangun kemandiriannya. N-219 kemudian menjadi pilihan setelah dua tahun melakukan studi kelayakan ke seluruh pelosok negeri, di antaranya untuk mengetahui kekhasan kondisi geografis dan infrastruktur, serta kebutuhan penduduk akan jenis sarana transportasi udara.
Hasilnya, Indonesia memiliki sekitar 700 bandara dan lapangan terbang perintis. Dari jumlah itu, 350 lebih di antaranya berukuran landasan kurang dari 600 meter. Itu dapat dan akan dipenuhi dengan pesawat jenis N-219. Sementara pesawat N-250 membutuhkan landasan sepanjang 1.600 meter.
Panjang landasarn di daerah terpencil bukan hanya relatif pendek, melainkan juga bertanah lunak, berkerikil, dan berumput. “Dan, tidak rata,” urai Palmana Banandhi, Ketua Tim Teknik N-219 PTDI.
Prototipe pesawat terbang N-219 direncanakan terbang perdana tahun 2016 untuk mendapat sertifikat kelaikan terbang. Realisasi desain, rancang bangun, sertifikasi, dan produksinya melibatkan tiga pihak, yaitu Lapan, PTDI, dan Kementerian Perhubungan.
Setelah proses itu dilewati, PTDI akan memproduksi pesawat tipe perintis tersebut.
Secara teknis, perancangan pesawat komuter itu lebih banyak mengacu kondisi operasi penerbangan di Papua. Kondisi di sana dikenal memiliki tingkat kesulitan tinggi, terutama di kawasan Nabire dan Wamena dengan kondisi bergunung-gunung.
Lapangan terbangnya terdapat di daerah dataran tinggi dengan panjang landasan rata-rata 600 meter. Itu masih ditambah permukaan landasan berumput, kerikil, atau tanah.
Alat komunikasi atau instrumen pendaratan terbatas serta lingkungan lapangan terbang dikelilingi gunung, jurang, atau sungai sehingga pendaratan dan lepas landas tergolong sangat kritis dan berbahaya.
Dari sisi meteorology, kondisi cuaca sangat cepat berubah yang direspons jam operasi lapangan yang terbatas, antara 08.00-12.00 saja. Kabut dan angin kencang sering menyelimuti daerah pegunungan.
wamena.jpg
Bandar udara Wamena (Nabire.net)

Keunggulan N-219

Keberadaan pesawat N-219 juga tawaran jawaban program pemerintah yang mencanangkan pembangunan mulai dari daerah pinggiran dan berbasis desa. Daerah-daerah terpencil itu selama ini memang minim sarana transportasi udara. Pesawat perintis yang digunakan umumnya jenis Twin Otter buatan Viking Canada. Itu pun tergolong using.
Pesawat N-219, selain diharapkan bisa menggantikan pesawat Twin Otter, juga menjadi pesawat misi multifungsi, seperti mengangkut penumpang, kargo/barang, evakuasi medis, surveilans, dan patrol. Dari sisi struktur, pesawat N-219 diklaim lebih baik dari pesawat sekelasnya, antara lain dari ukuran penampang kabin lebih luas. “Dengan demikian, daya angkutnya jadi lebih besar,” kata Direktur Teknologi PTDI Andi Alisyahbana.
Kelebihan utama N-219 dibandingkan Twin Otter buatan Kanada dan Y12 buatan Tiongkok adalah rentang kecepatannya yang lebar, dari 109 kilometer per jam hingga 389 km per jam. Ditambah bentuk keseluruhan pesawat yang aerodinamis, maka memungkinkan pesawat N-219 bermanuver menanjak di kawasan perbukitan yang tinggi.
Kehadiran sarana transportasi pesawat berkapasitas 19 kursi di wilayah terpencil, bukan saja untuk mendorong perkembangan ekonomi. Lebih jauh lagi, sebagai sarana mempertahankan keutuhan wilayah NKRI.
N-219 juga dapat memenuhi aspek perekonomian. Saat ini, subsidi untuk penerbangan perintis setiap tahun meningkat, dari Rp 238,5 miliar tahun 2010 menjadi Rp 320 miliar tahun 2014. Kenaikan itu sejalan dengan perluasan pelayanan penerbangan perintis. Tahun 2012 masih ada 132 rute penerbangan, pada tahun 2014 bertambah menjadi 170 rute. Kenaikan yang relatif signifikan.
Secara regional, kebutuhan pesawat sekelas N-219 versi sipil di Asia Pasifik, hingga tahun 2022 diperikirakan 118 unit. “Untuk pasar penumpang sipil, Indonesia negara terbesar di kawasan Asia Pasifik yang membutuhkan pesawat kelas ini,” ujar Andi. Kebutuhannya 40 unit untuk melayani penerbangan perintis tahun 2014.
Agar tak mengalami nasib sama dengan pendahulunya, saat ini disediakan dana pembuatan prototype kedua hingga proses sertifikasinya tahun 2017. Menurut Kepala Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional Thomas Djamaluddin, pihaknya menyediakan Rp 400 miliar.
Menurut Gunawan S Prabowo, Kepala Pustekbang Lapan, tahun ini disediakan dana Rp 310 miliar untuk pengadaan komponen. Sisanya tahun depan. Untuk memperoleh sertifikat, perlu dana Rp 20 miliar. Direncanakan diambil dari anggaran riset Lapan.
Pengadaan komponen pesawat dua baling-baling telah dilakukan sejak tahun 2014. Tahun 2015, dilakukan integrasi dan pembuatan prototype. Tahun 2016, dilakukan uji terbang.

Prediksi kebutuhan

Hingga tiga tahun mendatang, Indonesia diprediksi memerlukan 240 pesawat kelas perintis. Rencana pembelian N-219 dari maskapai penerbngan nasional, menurut Direktur Utama PTDI Budi Santoso, sekitar 30 unit.
Dengan dana yang ada saat ini, kata Andi, pemesanan suku cadang telah dilakukan, termasuk untuk prototype kedua. Saat ini, N-219 versi kedua ini tengah dalam proses penyelesaian. Ia optimis N-219 akan berlanjut hingga produksi.
Produksi N-219 berkapasitas setengah dari N-250 jug didasari keterbatasan fasilitas, terutama SDM PTDI pasca krisis moneter 1998. Ketika itu, PTDI memiliki 16.000 karyawan. Kini, tersisa sekitar 4.000 orang. Sebagian SDM ahli justru membangun industri penerbangan di negara lain.
Produksi massal N-219 akan menampung tenaga terampil dan ahli, mulai jenjang SMK hingga setingkat doktor, yang sebenarnya saat ini sudah tersedia. Produksi itu juga akan meningkatkan daya saing Indonesia menyambut Masyarakat Ekonomi ASEAN mulai 31 Desember 2015. Di ASEAN, Indonesia satu-satunya negara yang memiliki industri pesawat terbang.
Jangan tambah lagi ironi dunia penerbangan Tanah Air. Saatnya menguatkan keberpihakan industri penerbangan nasional.
Kompas, Sabtu, 28 November 2015

Renegosiasi Kontrak dan Akal Sehat

Oleh SITI MAIMUNAH
Setelah hampir setengah abad mengeksploitasi Papua, PT Freeport Indonesia/Rio Tinto tak hanya berhasil mengeruk kekayaan alam Indonesia. Lebih jauh, ia juga membuat pengurus negara kehilangan akal sehat.
Setidaknya hal itu terlihat dari drama tak bermutu petinggi DPR dengan para menteri Kabinet Kerja Joko Widodo-Jusuf Kalla yang memperkarakan skandal renegosiasi kontrak karya (KK) PT FI. Mereka lupa, substansi utama KK tak hanya saham dan royalty, tetapi juga keselamatan rakyat dan alam Papua.
Di luar konstribusi pada devisa negara yang angkanya harus dipertanyakan – karena tak memasukkan  biaya kerusakan lingkungan dan sosial dalam jangka panjang – operasi tambang PT FI lebih banyak merepotkan.

Sunday 22 November 2015

Malam Minggu Ayo Pergi ke Metropole

Oleh SARIE FEBRIANE
Bioskop Metropole, Jakarta, pernah berperan penting dalam perkembangan film Indonesia. Manajer di bioskop itu dengan gagah pernah memperjuangkan diputarnya film karya Usmar Ismail di Metropole pada tahun 1950-an.
908d19496d9e477dad1be8b4ab74d5de.jpg
Wajah gedung bioskop Metropole (atas), Sabtu (21/11/2015), dan Metropole (bawah) dari koleksi kartu pos Scott Merrillees, sekitar akhir tahun 1950. Metropole pernah berganti nama menjadi Megaria (kiri atas). (Arsip Scott Merrillees)
Dulu di bioskop Metropole itu banyak calo berkeliaran. Itu kenangan Djonny Sjafruddin (67) akan era 1960-an di gedung bioskop legendaris tersebut. “Banyak calonya dulu, mereka menguasai di sana. Kursi yang posisinya bagus sudah dikuasai calo,” kenang Djonny.
Bioskop Metropole terletak di pojok pertemuan Jalan Cikini Raya dan Jalan Diponegoro, Jakarta Pusat. Djonny mengingat lanskap gedung dengan cukup jelas, loket yang diberi terali, balkon di sini kanan dan kiri, tegel berwarna abu-abu semen berukuran besar, dan susunan bangku yang landai dari bawah ke atas.
“Pacaran dulu modalnya enggak banyak. Naik oplet dari Jatinegara, turun di Salemba. Nonton bioskop, kasih cokelat, traktir bakso, sudah,” kata Djonny, yang pengusaha bioskop sejak era sebelum bioskop XXI berdiri.
Salah satu film Indonesia berwarna yang paling diingat Djonny adalah Bernapas dalam Lumpur (1970), yang dibintangi Rachmat Kartolo dan Suzanna. Selain film Indonesia, Djonny mengingat, ia juga sering menonton film-film impor laga di bioskop Metropole. “Film-film ‘jenggo’ Italia, yang kalau nembak, enggak pernah habis pelurunya ha-ha-ha,” seloroh Djonny tentang film koboi spageti yang larisnya dipicu film Django dari Franco Nero.
Dari buku Jakarta: Portraits of a Capital, 1950-1980 karya Scott Merrillees (53) disebutkan, Metropole resmi dibuka pada April 1951. Ketika itu, film pertama yang diputar berjudul Annie Get Your Gun yang dibintangi Barbara Hutton. Pada tahun 1960-an, gedung bioskop tersebut berganti nama menjadi Megaria karena Presiden Soekarno ketika itu menganggap nama “Metropole” terlalu kebarat-baratan.
Dalam catatan Scott di bukunya, awal tahun 1950-an itu merupakan masa-masa perjuangan pula bagi industri film Indonesia untuk bisa diputar di gedung-gedung bioskop ternama. Sebab, gedung-gedung bioskop tersebut termasuk Metropole masih cenderung memilih untuk memutar film impor.
Metropole kemudian tercatat berperan penting dalam membangun kepercayaan industri film nasional, yaitu ketika pada tahun 1954 film karya Usmar Ismail berjudul Krisis diputar di layarnya. Film itu, dalam catatan Scott, sebelumnya ditolak dengan arogan oleh pihak manajer umum orang Eropa dari Bioskop Capitol di kawasan Pintu Air, Jakarta. Krisis nyatanya sukses dan bertahan selama empat minggu di layar Metropole.
Dari buku 100 Tahun Bioskop di Indonesia 1900-2000 (2008), yang ditulis HM Johan Tjasmadi, diungkapkan, Manajer Capitol bernama Weskin menganggap film Indonesia masih tergolong kelas C. Weskin tidak senang dengan kebiasaan orang Indonesia ketika itu yang suka berteriak-teriak tidak bisa mengendalikan diri karena terlalu hanyut menyaksikan adegan-adegan film. Oleh karena itu, ia menolak film Krisis.
Sebaliknya, di Metropole, Manajer Umum Metropole Theatre bernama Lie Khik Hwie justru meminati film Krisis. Sekalipun perwakilan MGM, perusahaan film asal Amerika Serikat, keberatan. Lie Khik Hwie bersikeras memutar Krisis. Seperti dikutip di buku tersebut, Lie Khik Hwie berucap, “MGM tidak memiliki saham sesen pun di Metropole Theatre Indonesia, maka kalau Anda berkeberatan  tidak ada salahnya saya merobek kontrak dengan MGM.”
Bioskop Metropole pada tahun 1950-an (Foto: Sinematek Indonesia/karbonjournal.org)
Bioskop Megaria pada tahun 2007 (Foto: Sinematek Indonesia/karbonjournal.org)
Bioskop Metropole XXI pada tahun 2010 (Foto: Ardi Yunanto/karbonjournal.org)
Arsitek
Gedung Metropole yang bergaya art deco ini masih menyisakan pertanyaan soal siapa sebenarnya arsitek yang merancangnya. Sering disebut-sebut, seorang arsitek Belanda bernama Johannes Martinus (Han) Groenewegen, yang merancang arsitektur Metropole. Namun, dugaan itu sejauh ini belum dapat terkonfirmasi.
Scott sendiri meyakini Metropole bukan rancangan Groenewegen. “Itu (Metropole) bukan hasil rancangan Groenewegen. Saya mempunyai daftar karya Groenewegen dan Metropole tidak termasuk di dalam daftar itu,” kata Scott.
Scott telah meneliti sejarah lanskap di Jakarta selama sekitar 20 tahun. Ia kemudian menuangkan hasil penelitiannya dalam trilogi buku yang merangkum sejarah Jakarta sejak tahun 1900 hingga tahun 1980-an.
Dari situs karbonjournal.org yang dikelola Ruang Rupa, gedung Metropole sebenarnya dirancang arsitek bernama Liauw Goan Seng, yang meninggalkan Indonesia dan pindah ke Belanda ketika terjadi naturalisasi. Situs ini merupakan jurnal virtual mengenai ruang publik, kota, seni visual, dan budaya visual di Indonesia.
Dari buku berjudul Layar Perak, 90 Tahun Bioskop di Indonesia (1992) yang berisi kumpulan tulisan beberapa penulis dengan editor Haris Jauhari disebutkan, gedung bioskop Metropole ini berkapasitas 1.446 penonton. Hingga tahun 1954, ciri khas bioskop ketika itu memang memiliki tempat duduk yang banyak, hingga melebihi untuk seribu penonton.
Menurut catatan buku tersebut, ketika itu dari segi ukurannya, kemegahan Metropole menandingi bioskop kelas satu lainnya, yaitu Bioskop Menteng, yang kini sudah tidak ada lagi, di kawasan Menteng, Jakarta. Selain itu, Metropole juga menyaingi kemegahan Bioskop Broadway di Surabaya.
menteng.jpg
Bioskop Menteng pada tahun 1984 (Foto: Nanang Baso/Tempo)
Peresmian Metropole, yang dibangun selama tiga tahun, ketika itu dihadiri istri Wakil Presiden Rahmi Hatta, Sultan Hamengku Buwono IX, dan H Agus Salim.
Sepanjang tahun 1966, film-film Jepang sempat pula merajai bioskop-bioskop di Indonesia, termasuk Megaria/Metropole. Peta politik ketika itu bagaimanapun terefleksi pada bioskop. Bersama beberapa bioskop lain, pada 13 April 1966 misalnya, Megaria memutar film Seishun Zankoku Monogatari. Pada bulan berikutnya diputar film Zatoichi Kesho Tabi. Setiap sebelum pertunjukan digelar pertunjukan musik untuk menghibur penonton. Tema kepahlawanan dan sikap ksatria kental terasa dari jenis film-film Jepang yang diputar pada saat itu.
Pada akhir tahun 1980-an bioskop Metropole akhirnya dikelola jaringan 21 Cineplex. Pada tahun 2007 sempat beredar kabar bahwa Gedung Metropole, yang tergolong Cagar Budaya Kelas A, akan dijual melalui situs jual beli properti (“Heboh Rencana Jual Beli Gedung Bioskop Megaria”, Kompas, 15 Maret 2007). Namun, rencana itu batal. Jaringan 21 Cineplex memperpanjang sewa dan memugar interior dalam dan menamainya menjadi Metropole XXI.
Kini, renovasi masih berlanjut. Status cagar budaya mengamanatkan bagian luar gedung harus tetap dipertahankan bentuk aslinya. Sebagian interior gedung pun sudah terlihat lebih cantik. Di bagian atas juga telah berdiri restoran Roemah Kuliner bergaya art deco yang menyajikan masakan Indonesia.
Kompas, Minggu, 22 November 2015

Thursday 19 November 2015

Profesor dan Absurditas

Oleh ACEP IWAN SAIDI
Profesor sedang dicecar. Surplus jumlah, defisit kualitas. Terlalu banyak profesor prosedural-absurd. Dengan begitu, apakah mereka harus digugat. Nanti dulu. Mari bikin kasusnya lebih gamblang. Biar awam paham. Agar ihwal ilmu pengetahuan tidak melulu milik "para penghuni langit".
Profesor lomba
Begini. Saya punya teman dosen, doktor. Tisna Sanjaya namanya. Selain dosen, Tisna adalah seniman kontemporer kenamaan. Namanya tidak hanya dikenal di Asia, tetapi juga di dunia. Karya-karyanya telah dipamerkan di sejumlah negara di dunia. Di kampusnya, tentu saja, semua ilmunya ia ajarkan kepada mahasiswa. Tisna bahkan pernah tercatat sebagai dosen teladan.
Satu poin lagi, Tisna sempat beberapa tahun menjadi pembawa acara kebudayaan bertajuk "Si Kabayan Nyintreuk" di sebuah televisi swasta lokal di Jawa Barat. Acara ini eksplisit menunjukkan "pengabdian" Tisna kepada masyarakat. Melalui acara ini, Tisna terus-menerus mengkritik (nyintreuk) sekaligus memberi masukan kepada pemerintah, khususnya soal kebudayaan dan lingkungan hidup.
Pertanyaannya, akankah Tisna menjadi profesor? Jawabannya nyaris bisa dipastikan: tidak! Soalnya, sekeren apa pun karya Tisna, setulus apa pun mengamalkan ilmunya, dan seberwibawa apa pun di dunia, seluruh prestasinya itu tidak tercatat pada daftar kriteria untuk menjadi profesor. Seorang akademisi hanya dicatat kognisinya. Itu pun harus dituangkan dalam rangkaian kalimat yang disebut karya ilmiah, yang formalistik dan administratif pula. Karya seni tidak diakui sebagai buah riset. Puih!
Padahal, karya seni yang bagus hanya diniscayakan oleh riset seumur hidup senimannya: riset yang dalam perspektif hermeneutika disebut sebagai aprosiasi,appropriation of meaning (Ricoeur, 1981). Riset seni adalah internalisasi secara terus-menerus realitas ke dalam diri. Pada titik ini, seniman adalah juga ilmuwan (tanpa tanda kutip).
Namun, kini profesor bukanlah sebentuk penghargaan yang diberikan presiden terhadap seorang hamba ilmu pengetahuan yang telah memiliki kualitas mumpuni di bidangnya sedemikian, melainkan penghargaan yang dilombakan. Untuk itu, sejumlah syarat dan prosedur administratif-formal diberlakukan. Barangsiapa memenuhinya, ia akan menjadi Sang Guru Besar. Maka, lahir darinya profesor prosedur. Tidak pernah ada institusi atau sekadar tim ad hoc yang bertugas untuk "meriset" pelamar, kecuali hanya memeriksa syarat-syarat yang diajukan si pelamar tersebut.
Parahnya pula, syarat yang dilombakan bersifat pukul rata. Artinya, siapa pun dari ranah keilmuan apa pun syaratnya sama, laik iklan sebuah merek minuman. Sebut saja bahwa semua pelamar harus meriset dan memublikasikannya di jurnal internasional terindeks scopus. Risetnya harus empirik pula. Bagi pelamar dari ranah ilmu-ilmu eksak, syarat ini mungkin cetek saja. Namun, lain soal bagi mereka yang dari ranah filsafat, seni, ilmu-ilmu kemanusiaan, dan ranah disiplin lain yang risetnya cenderung teoretik. Pun demikian bagi dosen praktikum seni semacam Tisna.
Oleh sebab itu, jumlah profesor di ranah seni bisa dihitung dengan jari. Di Fakultas Seni Rupa dan Desain ITB, misalnya, bertahun lamanya hanya ada seorang guru besar. Lihatlah pula di Institut Kesenian Jakarta, di beberapa Institut Seni Indonesia, dan sekolah tinggi seni lain di Indonesia, berapa jumlah profesornya? Di ranah ini, mungkin juga di ranah filsafat dan ilmu-ilmu kemanusiaan, profesor adalah manusia langka. Maka, dapat dipastikan bahwa surplus profesor prosedural tidak termasuk guru besar bidang kesenian di dalamnya.
Ironi linearitas
Kembali ke soal persyaratan. Tentang jurnal internasional terindeks scopus, bagi akademisi dari ranah seni, budaya, dan ilmu-ilmu kemanusiaan lagi-lagi ini problematik. Bayangkanlah seorang dosen pengajar seni tradisional atau bahasa daerah. Mereka meriset budaya dan bahasanya sendiri, sementara yang mengevaluasi dan melegitimasinya adalah ilmuwan dari bangsa lain yang entah bagaimana hubungannya dengan objek yang dibahas penulis bersangkutan.
"Itu pelecehan!" kata Prof Yusuf Affendi, Ketua Program Magister Desain Trisakti. Benar. Itu melecehkan diri sendiri. Akan tetapi, demikianlah mental inferior bangsa terjajah, tak ada kepercayaan kepada diri sendiri. Maka, scopus pun menjadi bagian dari iman, layaknya FIFA dalam sepak bola.
Satu contoh lagi persyaratan, yakni ihwal linearitas keilmuan dari S-1 sampai S-3. Barangkali bagi ilmuwan di ranah eksakta, linearitas sedemikian bisa menjadi alur pendalaman, menukik mengelaborasi spesialisasi. Namun, nanti dulu untuk ranah kebudayaan. Sudah dalam beberapa dasawarsa terakhir ini spesialisasi dan disiplin dipermasalahkan, bahkan diruntuhkan.
Kebudayaan saling berelasi sekaligus saling bertegangan satu sama lain, memunculkan kompleksitas sekaligus keberagaman, pertentangan sekaligus dinamika, dan seterusnya. Kebudayaan adalah keseharian itu sendiri (Hall, 1996). Oleh karenanya, disiplin yang kaku baku tidak memadai untuk mewadahi dan mengkajinya. Ketegangan teori pun terjadi (Kellner, 1995). Dari situ lahirlah kemudian apa yang disebut perspektif interdisiplin. Banyak pihak telah mengetahui dan membincangkan ini. Di kampus-kampus, "barang" ini sudah jadi makanan sehari-hari. Satu-satunya institusi yang tak mengetahui dan memahami hal ini tampaknya hanya pemerintah. Absurd!
Wajar saja jika kemudian profesor yang diproduksi pemerintah juga banyak yang absurd. Sekali lagi, mereka bukan profesor yang dilahirkan dari dialektika ilmu pengetahuan, melainkan diciptakan oleh sistem yang juga absurd. Jadi, banyaknya jumlah profesor yangjomplang dengan jumlah karyanya bukan karena syarat jadi profesor itu mudah (Terry Mart, Kompas, 11/11), melainkan kacau.
Sistem yang kacau sedemikian tidak melahirkan persyaratan yang mudah atau susah, tetapi memudahkan dan menyusahkan. Bagi mereka yang suka mengikuti lomba dan canggih bermain proyek, sistem yang kacau menjadi sangat memudahkan. Sebaliknya, bagi akademisi yang serius dan ikhlas mendalami serta mengembangkan ilmunya, sistem demikian bisa sangat menyusahkan. Dan, menyusahkan jauh lebih susah dari kategori susah itu sendiri sebab ia bisa jadi tidak nalar, bisa jadi hanya dibuat-buat.
Bertolak dari situasi demikian, jelas yang harus digugat adalah pemerintah, bukan profesor yang diciptakannya. Meskipun absurd, para profesor itu tidak bersalah. Mereka hanya pemenang lomba. Mereka sudah memenuhi semua syarat, meneliti untuk menjadi profesor. Lagi pula, jika yang digugat profesor absurd itu, ketimbang berkreasi mereka justru malah akan mati. Apabila ukuran gugatan itu adalah kesadaran dan tanggung jawab akademik, segera harus pula diingat bahwa, sebelum menjadi profesor, mereka adalah doktor. Jadi, profesor absurd dapat dipastikan kelanjutan dari doktor bodong pula.
Lantas, dari mana datangnya doktor absurd? Mudah dijelaskan. Dan, untuk sekadar disingkat: betapa banyak perguruan tinggi yang mengukur kualitasnya dengan seberapa jumlah doktor yang mereka miliki, bukan dengan seberapa banyak dosen yang memiliki dedikasi dan integritas akademik. Absurd!
ACEP IWAN SAIDI
Dosen Desain dan Kebudayaan, Sekolah Pascasarjana ITB


Kompas, Selasa, 17 November 2015

Profesor Untuk Apa?

Oleh HENDRA GUNAWAN
Pada akhir tahun 2012, saya menghadiri sebuah konferensi yang diselenggarakan oleh Calcutta Mathematical Society (CMS), di sebuah gedung sederhana tempat CMS berkantor. Ada yang berkesan tentang gedung CMS tersebut. Di ruang utamanya, terpampang sejumlah foto para ilmuwan, tidak hanya matematikawan tetapi juga fisikawan dan ilmuwan terkemuka dalam bidang lainnya.
Kebanyakan di antara ilmuwan yang fotonya dipasang bahkan bukan ilmuwan asal India, tetapi ilmuwan mancanegara -- sebutlah misalnya Isaac Newton, Joseph Fourier, dan Albert Einstein. Pesan yang ingin mereka sampaikan dengan memajang foto para ilmuwan ini sangat jelas: para ilmuwan tersebut merupakan benchmark (acuan) bagi mereka dalam berkarya.
Pemandangan serupa pernah saya jumpai di sebuah perguruan tinggi di Ho Chi Minh City, Vietnam, yaitu terpampangnya foto tokoh kelas dunia yang telah berkontribusi pada pengembangan ilmu pengetahuan dan peradaban.
Namun, bila kita berkunjung ke lembaga keilmuan atau perguruan tinggi di Indonesia, dan mengamati apa yang dipajang di ruang pertemuan utamanya, maka besar kemungkinan kita akan menemukan foto para mantan pejabat di lembaga tersebut, entah itu Direktur atau Rektor. Demikian juga di ruang rapat Fakultas di perguruan tinggi Indonesia, foto-foto para mantan Dekan lah yang biasanya terpampang. Pesan yang secara tidak langsung disampaikan adalah: bila ingin menjadi seseorang di lembaga keilmuan atau perguruan tinggi di Indonesia, jadilah pejabat (struktural).
Perihal profesor
Jadi, sesungguhnya tidak mengherankan ketika Agus Suwignyo menulis di Kompas (06/11/15) tentang keasyikan profesor dan dosen secara umum dengan tugas-tugas administratifnya. Bahkan, Agus Suwignyo melanjutkan, cukup banyak profesor berusaha memperoleh posisi struktural baru setelah menyelesaikan masa tugas suatu jabatan struktural, bukannya kembali ke laboratorium melaksanakan tugasnya memimpin pengembangan ilmu pengetahuan.
Terlepas dari jumlahnya yang sedikit, kinerja para profesor kita dalam pengembangan ilmu pengetahuan memang menyedihkan, sebagaimana disoroti pula oleh Terry Mart (Kompas, 11/11/15). Terry Mart mengusulkan dua solusi untuk mengatasi masalah ini. Solusi pertama adalah memisahkan jabatan profesor dari sistem kepangkatan dan remunerasi pegawai. Solusi kedua adalah dengan merealisasikan jabatan "profesor paripurna" yang sudah diperkenalkan dalam UU No. 14/2005 tentang Guru dan Dosen. Persisnya, pada Pasal 49 ayat (3) dalam UU tersebut, dinyatakan bahwa "Profesor yang memiliki karya ilmiah atau karya monumental lainnya yang sangat istimewa dalam bidangnya dan mendapat pengakuan internasional dapat diangkat menjadi profesor paripurna."
Berbicara tentang profesor, kita tentu tidak bisa lepas dari alasan dan tujuan pengangkatan seorang profesor di perguruan tinggi. Entah sejak kapan persisnya, alasan pengangkatan profesor telah mengalahkan tujuannya. Seorang dosen yang telah mengumpulkan kum 850 atau lebih, dengan proporsi tertentu dalam kegiatan pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat serta kegiatan lainnya, secara administratif memang dapat diusulkan untuk menjabat sebagai profesor.
Langkah yang kemudian dilakukan oleh pihak perguruan tinggi adalah menelaah usulan tersebut, secara administratif pula. Pembahasan tentang apa yang telah dilakukan oleh sang calon profesor dalam bidang keilmuannya biasanya dikaitkan dengan pemenuhan persyaratan yang ditetapkan oleh Kemristekdikti, misalnya apakah yang bersangkutan telah pernah membimbing doktor dan mempunyai karya ilmiah yang dipublikasikan di jurnal internasional. Penelaahan berkas usulan profesor dilakukan oleh banyak pihak, mulai dari tingkat Fakultas hingga ke Kementerian, tetapi hasilnya tetap dipertanyakan.
Saya pernah terlibat sebagai penelaah berkas usulan profesor di Direkorat Jenderal Pendidikan Tinggi (Ditjen Dikti) ketika itu (sebelum penggabungan Kemristek dan Ditjen Dikti), dan sejauh yang saya amati, tidak pernah ada penjelasan dari pihak perguruan tinggi mengapa atau untuk apa mereka mengusulkan calon profesor tersebut, selain bahwa sang calon telah memenuhi semua persyaratan yang ditentukan (oleh Ditjen Dikti). Bahkan, sebagai penelaah, saya tidak mempunyai gambaran berapa banyak profesor yang telah dimiliki di perguruan tinggi tersebut, dan apa rencana besar yang dimiliki oleh pihak perguruan tinggi terkait dengan calon profesor yang diusulkannya. Sayangnya, pihak Ditjen Dikti memang tidak menuntut hal tersebut dari pihak perguruan tinggi.
Padahal, bila kita tengok kembali apa yang telah digagas oleh para Pendiri Bangsa (antara lain Prof. Mr. Dr. Soepomo dan Prof. Mr. Soenaria Kalapaking) dengan perguruan tinggi kita, maka kita akan menyadari bahwa peran profesor atau guru besar amat sangat penting dalam melaksanakan misi perguruan tinggi. Kalapaking menyatakan bahwa "baik buruknya mutu universitas terutama bergantung pada pemilihan orang-orang yang dijadikan guru besar".
Misi perguruan tinggi
Saya membayangkan, setiap perguruan tinggi di Indonesia mempunyai visi dan misi yang jelas dan tajam, yang tidak hanya tertulis di atas kertas tetapi benar-benar ingin diwujudkan. Pengangkatan profesor, dalam hal ini, merupakan bagian dari strategi perguruan tinggi tersebut guna mewujudkan visi dan melaksanakan misinya.
Seseorang yang telah mengumpulkan kum 850 memang secara administratif dapat mengajukan diri untuk diusulkan menjadi profesor, namun bila pihak perguruan tinggi tidak melihat relevansinya dengan pencapaian visinya, maka usulan tersebut tidak harus serta-merta diproses.
Sebaliknya, bila pihak perguruan tinggi menilai bahwa untuk mencapai visi atau melaksanakan misinya mereka harus mengangkat seorang profesor, maka --- sebagaimana lazim terjadi di luar negeri -- pihak perguruan tinggi akan mengumumkan 'lowongan' profesor tersebut, bahkan bila perlu secara terbuka, agar diperoleh seorang profesor terbaik dalam bidang yang ingin dikembangkan di perguruan tinggi tersebut.
Persoalan seputar jabatan profesor di Indonesia memang pelik, tetapi kita tidak boleh lupa dengan alasan dan tujuan perguruan tinggi didirikan. Tampaknya, selama ini, kita luput tentang hal itu. Alhasil, muncullah berbagai persoalan, termasuk sedikitnya profesor dan, lebih parah daripada itu, rendahnya mutu para profesor yang ada.
Jadi, bila Terry Mart mengusulkan direalisasikannya jabatan profesor paripurna, jangan-jangan tidak banyak profesor yang memiliki karya monumental yang sangat istimewa, kecuali bila kita menafsirkannya lain (dan kita memang ahli dalam bermain dengan kata-kata). Namun, bila memang ada para profesor yang mempunyai karya istimewa, saya lebih berharap pihak perguruan tinggi memajang foto mereka di ruangan penting di kampusnya, untuk memberi pesan kepada para dosen muda dan mahasiswa: "bila anda ingin menjadi seseorang, lahirkanlah karya yang istimewa."
HENDRA GUNAWAN
Guru Besar FMIPA ITB
Kompas, Sabtu, 13 November 2015

Menggugat Kinerja Profesor

Oleh TERRY MART
Jumlah profesor di negara kita terlalu sedikit. Itu pun sebagian dinilai kurang berkualitas dan tidak produktif. Hal ini terkuak dalam Seminar Nasional Keprofesoran yang digelar Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, di Jakarta, Kamis (29/10), dan diberitakan Kompas (30/10).
Tak ada yang perlu dibantah. Tiga masalah di atas memang merupakan kenyataan yang terjadi di Indonesia. Namun, masalah sebenarnya adalah masalah kedua dan ketiga.
Masalah pertama—minimnya jumlah profesor—dapat dengan mudah diatasi melalui, misalnya, instruksi presiden yang meminta agar diangkat lagi sejumlah profesor sehingga rasio antara jumlah program studi dan jumlah profesor menjadi lebih tinggi. Caranya? Tentu dengan menurunkan persyaratan menjadi profesor. Namun, apakah cara ini akan menyelesaikan ketiga masalah? Apakah syarat profesor di republik ini sangat sulit sehingga jumlahnya menjadi minim? Masalah ini telah diulas oleh Agus Suwignyo (Kompas, 06/11/2015) yang memperlihatkan bahwa rasio profesor terhadap jumlah dosen di negara majupun tidak tinggi.
Beratkah syarat jadi profesor
Jika dibandingkan dengan negara maju, seperti Jepang, Jerman, dan Amerika, secara umum syarat menjadi profesor di Indonesia terlalu mudah. Jangankan dengan Singapura, dibandingkan dengan Malaysia saja syarat profesor kita masih terlalu lunak.
Dalam acara diskusi tentang penulisan makalah ilmiah beberapa waktu lalu, saya berkesempatan bertemu dan sedikit berbincang dengan seorang profesor dari Universiti Kebangsaan Malaysia (UKM). Fakultas tempat saya bekerja memiliki sejarah panjang dengan UKM karena dahulu beberapa profesor senior mereka pernah kuliah di sini. Namun, dalam beberapa dekade terakhir ini, situasi sudah terbalik: cukup banyak anggota staf kami yang memperoleh doktor di UKM. Selama ini, kami memang mengklaim bahwa kami sepadan dengan UKM meski jelas jauh di bawah Universiti Malaya (UM). Tampaknya, klaim ini harus segera dikoreksi jika melihat kondisi sekarang.
Saya sempat menanyakan apa syarat jadi profesor di UKM. Jawabannya tentu saja mengagetkan. Selepas profesor madya (mungkin sebanding dengan lektor kepala di tempat kita), untuk menuju profesor penuh, minimal harus memiliki 20 makalah ilmiah yang ditulis di jurnal internasional berfaktor dampak (ISI impact factor). Masih ada embel-embel lain, yaitu minimal dalam 10 makalah ilmiah sang calon profesor harus sebagai corresponding author dan sang calon harus memiliki indeks-h minimal 12. Belakangan, nilai ini dikoreksi menjadi sekitar 7 karena kolega mereka dari ilmu sosial sulit mendapatkan indeks-h 12 tersebut. Masih ada tambahan lain, seperti harus memperoleh dana hibah dengan jumlah minimal tertentu, serta untuk bidang yang relevan harus ada bukti kerja sama dengan industri.
Lebih memberatkan lagi adalah kenyataan bahwa jumlah profesor di satu universitas ditentukan ketersediaan dana universitas tersebut. Jadi, jika ada lebih dari satu calon yang memenuhi kriteria minimal di atas, sementara universitas hanya memiliki dana untuk satu profesor, salah satu yang terbaik akan ditunjuk untuk mengemban jabatan profesor tersebut.
Bandingkan dengan syarat profesor di Indonesia, yaitu minimal 850 kum yang notabene dapat dikumpulkan dari mengajar teratur dan rajin mengunjungi konferensi di dalam negeri. Sementara syarat tambahannya adalah satu makalah di jurnal ilmiah internasional bereputasi yang didefinisikan sebagai memiliki faktor dampak. Syarat yang jauh lebih lunak dibandingkan dengan Malaysia ini saja sudah menuai banyak protes. Di lain pihak, meski aturan yang dibuat Ditjen Pendidikan Tinggi (Dikti) ini merupakan syarat minimal dari pemerintah untuk universitas dari Sabang hingga Merauke, menambah satu lagi makalah di jurnal internasional sebagai syarat profesor di universitas nomor satu di negeri ini dianggap sudah zalim!
Jika situasi seperti ini terus dibiarkan, kapan universitas-universitas kita dapat setara dengan universitas negeri jiran? Mungkin 100 tahun lagi atau tidak akan pernah terjadi sama sekali. Masalah utama di balik minimnya jumlah profesor adalah rendahnya mutu riset yang dilakukan. Masalah ini sudah berkali-kali saya lontarkan di harian ini (Kompas 13/8/2014, 30/8/2013, dan 29/10/2012). Akibat rendahnya mutu riset, hasil riset tidak dapat dipublikasi di jurnal internasional yang merupakan jurnal baku (standar) di komunitas ilmiah bersangkutan, tidak mudah untuk dipatenkan, dan akhirnya tidak laku dijual ke masyarakat pengguna. Sangat logis jika para dosen kita tidak banyak yang berkiprah di komunitas ilmiah internasional masing-masing.
Banyak hal yang mengakibatkan rendahnya mutu riset. Yang sering disalahkan adalah kurangnya dana serta fasilitas riset meski yang paling patut dicurigai adalah rendahnya ambisi untuk melakukan riset karena riset hanya dipakai untuk naik pangkat! Namun, ada satu hal yang masih luput dari perhatian, yaitu dalam hal riset kita sudah mengasingkan diri dari kancah internasional dengan mendefinisikan sendiri apa itu riset serta bagaimana menilai kinerja periset serta produk riset.
Akibatnya, kita jarang melihat apa yang dikerjakan oleh kolega kita di Malaysia, apalagi di negara maju, seperti Amerika, Jepang, dan Jerman. Ribut-ribut tentang faktor dampak (impact factor) jurnal, indeks-h, serta peringkat universitas merupakan bentuk kekagetan kita setelah sekian lama terasing dari dunia ilmiah internasional. Ternyata kriteria baku yang dipakai universitas riset kelas dunia sudah jauh dari kriteria yang kita definisikan sendiri.
Ada hal yang pantas dicatat dari tulisan Agus Suwignyo (Kompas, 06/11). Jika setiap profesor melakukan penelitian mandiri dan membimbing minimal dua mahasiswa pascasarjana, jumlah publikasi internasional Indonesia sudah lebih dari cukup untuk kebutuhan saat ini. Sayangnya, hal ini tidak terjadi. Di republik ini, profesor yang aktif meneliti sekalipun mayoritas mengandalkan mahasiswanya untuk mendapatkan data primer. Ironisnya, ini pun terjadi pada calon profesor!
Solusi masalah
Paling sedikit ada dua solusi yang dapat kita gunakan untuk keluar dari masalah ini. Pertama, kita harus memisahkan "jabatan" profesor dari sistem kepangkatan dan penggajian pegawai negeri. Jabatan profesor dibuat seperti jabatan direktur yang memimpin sebuah kelompok penelitian dalam satu bidang ilmu, mengajar program pascasarjana di bidang tersebut, dan menghasilkan produk riset sesuai kriteria baku universitas riset kelas dunia.
Dengan demikian, profesor tak bisa lagi "mengamen" ke mana-mana mencari tambahan penghasilan atau menjabat posisi struktural lain. Jika harus menjabat posisi lain, jabatan profesornya harus ditinggalkan dan diganti orang lain yang juga kompeten dalam bidang tersebut. Tentu saja solusi pertama ini mengharuskan kita membongkar sistem pendidikan tinggi serta sistem riset nasional yang berakar pada UU Nomor 12 Tahun 2012 serta UU No 18/2002. Namun, dengan digabungkannya Kementerian Ristek dan Ditjen Dikti dalam satu kementerian baru, membongkar serta merajut kembali kedua UU tersebut memang sudah seharusnya diagendakan saat ini.
Solusi kedua adalah dengan memanfaatkan definisi "profesor paripurna" yang sudah ada dalam UU No 14/2005 tentang Guru dan Dosen (Kompas, 30/8/2013). Karena perguruan tinggi berhak menetapkan profesor paripurna, solusi kedua ini dapat mencontoh persyaratan profesor di UKM, dengan catatan bahwa jabatan profesor penuh (full professor) adalah profesor paripurna. Untuk mendukung proses ini, pemerintah tinggal memberikan block grant tambahan kepada perguruan tinggi yang dianggap strategis untuk jadi universitas riset guna ditagih hasilnya beberapa tahun kemudian.
TERRY MART
Fisikawan UI dan Anggota AIPI


Kompas, Rabu, 11 November 2015