Monday 21 September 2015

Sejumput Pasir, Sejuta Kenangan

Suvenir biasanya disimpan sebagai pengingat kenangan. Dibandingkan dengan menyimpan produk suvenir pabrikan, ada orang-orang yang sengaja memilih sejumput pasir sebagai penyambung ikatan alamiah dengan berbagai tempat di dunia.
Oleh MAWAR KUSUMA
Rumah Martin Widjaja dan Fransisca Maria Faats di Tanah Abang, Jakarta Pusat, dihiasi beragam suvenir, mulai dari pin, kerang, hingga gading purba mamut yang dibeli secara legal. Dari pin yang tertempel menyesaki peta dunia, terlihat bahwa pasangan suami istri ini telah mencicipi penjelajahan hampir ke semua negara di dunia.
Namun, harta sesungguhnya dari perjalanan yang ditempuh puluhan tahun ketika berlibur itu justru berupa koleksi pasir. Dari awalnya sekadar sebagai pengingat tempat, pasir kini telah menjadi tujuan utama dari sebuah perjalanan. Berbekal katalog International Sand Collectors, suami istri ini sengaja mengatur agenda wisata demi berburu pasir-pasir unik.
Martin Widjaja dan Francisca Maria Faats (Kompas/Riza Fathoni)
“Tadinya kelihatan sama, tetapi begitu diperhatikan, tidak ada pasir yang sama. Itu yang kasatmata, apalagi kalau dilihat pakai mikroskop. Luar biasa dan saya kaget. Banyak pasir seperti terlihat biasa, tetapi kalau diperhatikan: suatu karya seni yang abadi,” kata Martin.
Tepat di ruang tengah yang membatasi ruang tamu dan ruang keluarga, pasir-pasir dari 1.200 lokasi di dunia itu disimpan dalam beragam botol. Dua lemari penuh berisi koleksi pasir yang sarat cerita. “Kalau olahraga pagi, biasanya sambil ngelihat pasir. Ingat di mana dapat pasirnya. Ini upaya menyenangkan diri. Suatu cara membahagiakan diri,” lanjut Martin.
Di atas meja bar, Martin dan Fransisca meletakkan beberapa botol berisi pasir-pasir yang paling Indah. Beberapa botol menampakkan pasir dengan warna merah yang tak sama. Pasir merah itu berasal dari Wilpattu National Park, Srilanka; Red Beach Pulau Komodo; hingga pasir merah dari kota tua Petra di Jordania.
Fransisca kemudian menunjukkan butiran pasir bulat cantik mirip merica dengan aneka warna merah, hijau, putih, hitam, dan kuning dari Tg Laisumbu, Pantai Maritaing, Alor, NTT. Pantai Pfiffer di California menyajikan keelokan alam dengan pasir ungu bergradasi. Bongkahan pasir dengan ukuran yang lebih besar beragam warna juga bisa dijumpai dari Pulau Maui di Hawaii. Ada pula pasir berwarna kuning yang berasal dari Pantai Swanbourne di Australia.
Pasir-pasir laut yang mengandung besi dari Pasir Grajagan di Banyuwangi dan Pantai Wera, Sumbawa, Nusa Tenggara Barat, tampil polos, tetapi sanggup menyajikan keindahan tekstur beragam dengan gradasi warna hitam yang berat. “Kalau kita mengunjungi tempat di dunia, sulit dapat cendera mata lokal. Bahkan, kalau ke Afrika, semua made in China. Enggak ada pasir yang made in China,” ujar Fransisca.
Tidak gratis
Sebagian besar dair koleksi pasir itu diperoleh dengan perjuangan yang tidak mudah. Suatu kali, Martin dan Fransisca bepergian dengan kapal pesiar dari Miami. Pasangan ini hanya boleh membawa koper kecil yang bemudian penuh dengan koleksi pasir. Begitu tiba di Bandara Miami, mereka tertahan berjam-jam di imigrasi karena koleksi pasir yang dibawa harus diperiksa.
“Ada 15 kantong plastik, dites satu per satu dikira obat. Kita lihatin saja, akhirnya lolos, dong. Enak saja, sudah mahal-mahal untuk cari pasirnya. Harus ngotot. Biasanya pasir saya masukkan ke bagasi atau kirim lewat kantor pos,” ujar Martin yang selalu membawa katalog pasir untuk bukti diri sebagai kolektor.
Beberapa sahabat keluarga ini yang berusaha membawa oleh-oleh pasir juga sempat menjumpai kendala serupa, bahkan pasir yang dikumpulkan akhirnya disita. “Di Pulau Karibia, mereka bilang, ‘Kalau seribu orang ambil satu gelas, sudah seribu gelas.’ Sayangnya mereka enggak bisa menunjukkan peraturan tertulisnya. Ada banyak pasir yang saya beli karena dilarang mengambil,” lanjut Martin.
Fransisca lantas membawa sebotol kecil pasir peridot warna hijau yang dibeli seharga 10 dollar Amerika Serikat dari Pantai Olivine di Hawaii. Pasir lainnya berbentuk unik mirip ketumbar berujung lancip dari Pantai North East Island dibeli di toko suvenir Cijin, Taiwan. Perhiasan kalung yang dipakai Fransisca juga berasal dari olahan lava gunung berapi di Islandia dan Canary Island di Spanyol.
Sadar akan keunikan dan keindahan pasirnya, beberapa obyek wisata di luar negeri memang sudah mengemas pasir menjadi suvenir cantik. Ketika mengunjungi Gunung St Helens, Amerika Serikat, mereka membeli pasir debu dari letusan gunung yang dibagi dalam kategori letusan 5 miles, 22 miles, dan 250 miles. Dari suvenir pasir itu tampak bahwa semakin jauh letusan, semakin halus pasirnya.
Selain Kepulauan Seribu yang punya aturan larangan pengambilan pasir pantai, pasir di Indonesia cenderung bebas diambil. Namun, kerusakan alam akibat pengambilan pasir cantik dari pantai untuk dijual sebagai hiasan akuarium sudah terjadi di beberapa pantai. Pasir mirip biji merica di Pantai Kuta, Lombok, misalnya, sudah habis dijual di Jakarta.
Padahal, pasir Pantai Kuta, Lombok, dengan perpaduan warna abu-abu, hijau, dan kuning itu yang pertama kali membuat Martin jatuh cinta sebelum akhirnya memutuskan menjadi kolektor pasir. Pada 1994, hamparan pasir biji merica ini dengan mudah bisa dijumpai ketika keluarga mereka berlibur. “Sekarang cari ini susah. Saya kembali ke sana mesti gali 1 meter. Yang di atas tinggal pasir biasa,” kata Martin dengan nada sedih.
(Kompas/Riza Fathoni)
Rekor dunia
Ketika ditemui di rumahnya, Martin dan Fransisca masih menunggu proses pengeringan pasir yang baru saja diambil dari Karimun Jawa. Pasir Pantai Karimun Jawa berwarna putih bersih, tapi gunung-gunungnya berwarna merah muda. Biasanya, pasir harus dicuci lalu dikeringkan selama tiga hari agar tidak amis sebelum masuk botol.
Demi pasir pula, Martin mengajak keluarganya berkendara menyusuri pantai utara Jawa selama tiga minggu. “Yang tercantik adalah pasir pink dari Pulau Komodo, mirip dengan pasir dari Bermuda. Mirip, warnanya, tetapi beda. Bermuda itu bukit-bukitnya memang merah. Kalau Pulau Komodo, pink karena bunga karang,” ujar Martin.
Untuk koleksi pasirnya yang luar biasa banyak, Martin dan Fransisca mendapat piagam penghargaan dari Museum Rekor-Dunia Indonesia (MURI) sebagai kolektor pasir terbanyak dari 1.000 lokasi di seluruh dunia pada 2011. Koleksinya terus bertambah dan diharapkan bisa mencapai lebih dari 1.864 lokasi untuk memecahkan The Guinness World Records.
Sebelumnya, suami istri ini juga tercatat di MURI sebagai kolektor tanduk kerbau terbesar dengan panjang sebelah kiri 1,4 meter dan panjang sebelah kanan 1,5 meter (2006); kunjungan gereja terbanyak 1.230 lokasi di 33 provinsi (2011); kolektor gading mamut berukir terbesar, panjang 2,7 meter dan berat 40 kilogram (2006); serta orang Indonesia yang mengunjungi Hard Rock Café terbanyak di seluruh dunia, 125 Hard Rock Café dari 158 lokasi. à kok bisa?
Selanjutnya, pasir akan tetap menjadi tujuan utama perburuan wisata mereka ke seluruh dunia. Bagi pecintanya, setiap botol pasir meluapkan kisah perjalanan dan nostalgia tentang manis dan pahitnya hidup. Kisah yang terlalu berharga jika hanya dilekatkan pada produk pabrikan.
Kompas, Minggu, 20 September 2015

No comments:

Post a Comment