Monday 31 August 2015

Anak-anak Penantang Maut


Beberapa hewan dibesarkan di lingkungan yang sangat ekstrim, bahkan mengancam nyawa. Bebek Harlequin (Histrionicus histrionicus) bersarang di dekat sungai berarus deras. Satu atau dua hari setelah menetas, anak bebek akan dibimbing induknya masuk ke sungai.
Bebek Harlequin (Sumber: Wikipedia)

Monday 17 August 2015

HR Mohamad Mangoendiprodjo

Jalan HR Mohamad Mangoendiprodjo, Sidoarjo, merupakan salah satu jalan utama yang menghubungkan Surabaya dengan Sidoarjo dan kota-kota lainnya di selatan Sidoarjo. Namun, profil tokoh yang dijadikan nama jalan ini sepertinya kurang terdengar dibandingkan dengan pemimpin perang lainnya, misalnya Mayjen Sungkono dan Jendral Urip Sumoharjo. Berikut adalah cerita singkat mengenai profil HR Mohamad Mangundiprojo (ejaan baru).
Haji Raden Mohamad Mangundiprojo lahir di Sragen, Jawa Tengah, pada 5 Januari 1905. Beliau adalah cicit Setyodiwiryo atau Kiai Ngali Muntoha, salah seorang keturunan Sultan Demak. Setyodiwiryo sendiri merupakan teman seperjuangan Pangeran Diponegoro dalam melawan penjajah Belanda.

Sunday 16 August 2015

Bertandang ke Rumah Sejarah yang Sepi

Oleh MOHAMMAD HILMI FAIQ dan ARYO WISANGGENI
Pada 70 tahun silam, 16 Agustus 1945, mobil Skoda yang ditumpangi Ahmad Subardjo Djoyoadisuryo dan Soediro melaju menuju Rengasdengklok. Keduanya mencari-cari Soekarno dan Hatta yang diculik “golongan muda”. Jejak sejarah itu kini sepi sendiri…
0521252rumahh-djiaw780x390.jpg
Rumah Djiauw Kie Siong di Rengasdengklok,Karawang, Jawa Barat (Kompas/Jonathan Adrian)

Mencari Rekaman Asli Lagu “Indonesia Raya”

Oleh IWAN SANTOSA

kartika yo.jpg

Semua orang tahu, Wage Rudolf Supratman adalah pengarang lagu “Indonesia Raya”. Namun, di mana rekaman asli lagu tersebut, hingga kini, tak banyak yang tahu. Di antara banyak referensi yang menelusuri keberadaan rekaman asli lagu kebangsaan tersebut, salah satunya cerita yang dituturkan almarhum Des Alwi tentang pengusaha rekaman, pemilik Toko Populair, Yo Kim Tjan.

Pengusaha asal Pasar Baru, Batavia, pada 1920-an itu, disebutkan oleh Des Alwi, berhasil merekam dan menggandakan “Indonesia Raya”. Kebetulan, saat ini pemilik toko yang baru (nama toko berganti jadi Populair), Ayung, dikenal juga sahabat Des Alwi.

Meski demikian, seluk-beluk perekaman, penggandaan, dan keberadaan hasil karya revolusioner lagu “Indonesia Raya” di masa itu – ketika perlawanan komunis terhadap rezim Hindia-Belanda dipatahkan pada 1926 dan kegiatan politik dikekang penguasa Eropa – tidak diketahui lebih lanjut.

Pada Oktober 2014, Kompas mengikuti wawancara dengan Kartika Yo (91), putri Yo Kim Tjan, yang menceritakan salah satu rekaman asli berupa permainan biola dan vokal WR Supratman “dipinjam” Pemerintah Republik Indonesia, tetapi tak pernah dikembalikan. Bahkan, hingga kini tak diketahui rimbanya. Sayangnya, wawancara belum lengkap, Kartika wafat tahun lalu. Namun, Kartika sempat mengatakan, rekaman asli “Indonesia Raya” ada dua jenis yang dibuat dan dsimpan keluarganya.

Untungnya, pendiri Museum Benteng Heritage, Udaya Halim, yang aktif mengumpulkan karya budaya peranakan Tionghoa untuk Indonesia sempat merekam kesaksian Kartika. Dalam rekaman, Kartika yang menderita kanker di pita suaranya – meskipun terengah-engah, tetap penuh semangat – menceritakan riwayat perekaman dan penggandaan “Indonesia Raya” di piringan hitam.

Menurut Udaya, penjelasan Kartika yang diverifikasi dengan keterangan sejarawan dari Yayasan Nabil, Didi Kwartanada, tentang pertemanan WR Supratman – seorang yang dibesarkan dalam pendidikan Indo-Eropa – dengan Yo, “Indonesia Raya” direkam dan digandakan setahun sebelum Kongres II Pemuda, 28 Oktober 1928.

“Semula WR Supratman meminta perusahaan Odeon merekam dan menggandakannya. Namun, perusahaan asal Eropa itu menolak. Lalu, dia mendatangi Tio Tek Hong, pengusaha di Pasar Baru, yang juga punya rekaman. Lagi-lagi ditolak. Akhirnya, dia minta Yo, temannya, membantu,” kata Udaya.

Rekaman dilakukan di rumah Yo di Jalan Gunung Sahari Raya Nomor 37, dibantu teknisi berkembangsaan Jerman, yang belum diketahui namanya. Saat itu, WR Supratman bekerja sebagai wartawan lepas koran Melayu-Tionghoa, Sin Po, yang banyak bersimpati pada pergerakan Indonesia. Di berkas partitur “Indonesia Raja” (ejaan lama) dari halaman Sin Po milik Udaya – pemberian dokter Djiam, sepupu mantan menteri Mari Elka Pangestu – tertulis catatan: “…volkslied Indonesia in weeblad Sin Po van Zaterdag 10 November 1928. De componist WR Soepratman was stadreporter van Sin Po…” Artinya, lagu kebangsaan Indonesia dalam terbitan mingguan Sin Po, Sabtu, 10 November 1928, oleh komponis WR Soepratman adalah wartawan liputan perkotaan di Sin Po.

Biola dan keroncong
Di rekaman video wawancara, Kartika terlihat memeluk piringan hitam bertuliskan “Indonesia Raja” yang dimainkan Populair Orchest dan di bagian atas tertulis British Made – Electric Recording. “Ada dua jenis rekaman, yakni biola dan vokal WR Supratman dan satu lagi orkes keroncong bersama sejumlah lagu lain. Setelah direkam, Yo menyelundupkan piringan master versi keroncong ke Inggris. Di sana digandakan juga rekaman “Indonesia Raya”, katanya.

Didi mengatakan, keroncong dipilih karena jenis musik itu populer dan akrab di kelas terpelajar di Hindia-Belanda sehingga dianggap mudah untuk mengenalkannya. “Supratman juga aktif di beragam orkes. Meski dibesarkan di keluarga Indo-Eropa, identitas nasionalnya kuat karena masa itu identitas Eropa juga menguat. Tentu, kelompok lain yang tak masuk strata atas (Eropa) menguat identitasnya,” ujarnya.

Akhirnya, “Indonesia Raya” pun disembunyikan jadi bagian album keroncong Orkes Populair milik Yo. Lagu-lagu di album tersebut diselipkan di antara lagu-lagu Bodoran Dosblang I-IV, Bodoran Tjipoet I-IV, Lalakon Sarkawie I-VIII. “Indonesia Raja” Serenade Popular menjadi lagu kesembilan di piringan hitam. Lagu kesepuluh diselipkan lagi sejumlah lagu, di antaranya “Regenboog Zoeklicht” dan lagu keroncong lain. “Ini harus disimpan buat Indonesia merdeka,” kata Kartika saat mengenang pesan Supratman ke ayahnya. Rekaman dapat dilakukan di Inggris. Namun, naas, rekaman disita setiba di Pelabuhan Tanjung Priok. Hanya kepingan asli yang lolos dan diamankan keluarga besar Yo. Kepingan rekaman asli biola dan vokal Supratman kemudian dioplos dengan kepingan piringan hitam kosong yang belum digunakan agar lolos dari Belanda.

Keping salinan rekaman asli juga disembunyikan Kartika saat mengungsi bersama keluarganya ketika Jepang mendarat. Mereka mengungsi ke Karawang hingga Garut. Kartika yang masih remaja kebagian tugas mengamankan rekaman “Indonesia Raya” versi biola dan vokal Supratman agar tak disita.

Di saat yang sama, tambah Didi, Jepang berusaha menyiapkan rekaman propaganda “Indonesia Raya” yang direkam di Tokyo, dan kepingan piringan hitam yang dibawa Raden Sudjono, guru bahasa Indonesia asal Puro Pakualaman, Yogyakarta, yang mengajar di Jepang. Namun, kapal angkut militer Jepang yang membawa piringan hitam “Indonesia Raya” versi orkes Jepang tenggelam di Teluk Banten saat pertempuran.

Jelang Jepang kalah, Jepang mengedarkan dan memasyarakatkan “Indonesia Raya” untuk mengambil simpati. Rekaman lagu itulah yang beberapa tahun lalu disebut Roy Suryo sebagai rekaman asli “Indonesia Raya”. Rekaman itu diedarkan di Belanda secara komersial sebagai bagian dari paket CD: “Ons Koninkrijk En De Tweede Wereldoorlog Deel 2 Nederlands-Indie In De Tweede Wereldoorblog”, produksi Nederlands Instituut voor Oorlogsdocumentatie, Wanders, Beeld en Geluid, dan Tidjsbeeld Media. Rekaman itu menampilkan bait ke-2 dan bait ke-3 “Indonesia Raya” yang bermaksa filosofis mengisi kemerdekaan dan revolusi kepribadian. Sayangnya, bait ke-2 dan bait ke-3 kurang dikenal.

“Dipinjam” negara
 Setelah merdeka, 1947, Yo berkunjung ke Belanda. Saat bersantap di Restoran Indonesia, pemilik restoran yang tahu tamunya dari Indonesia memutarkan piringan hitam. Ternyata, yang diputar adalah “Indonesia Raya” yang disita Belanda. “Di pengantar musiknya terdengar suara Yo selaku pemimpin orkes. Yo lalu menunjukkan nama di paspornya dan menebusnya 15 gulden,” ujar Udaya.

Rekaman versi keroncong itu kemudian dibawa ke Indonesia. Yo kemudian berusaha menggandakan “Indonesia Raya” karena punya copyright-nya, tetapi tak diizinkan pimpinan RRI, Maladi, yang kemudian jadi Menteri Penerangan. Pada 1957, Yo kembali berusaha menggandakan “Indonesia Raya”. Komposer Kusbini kemudian meminjam rekaman tersebut untuk kepentingan negara dengan bekal surat Maladi, yang diserahkan kepada keluarga Yo. Namun, lanjut Udaya, mengutip rekaman video kesaksian Kartika, rekaman asli tersebut tak pernah dikembalikan lagi kepada keluarga Yo. Kartika beberapa kali membawa rekaman keroncong “Indonesia Raya” saat Sumpah Pemuda digelar, tetapi tak direspons.

Kini, salah satu salinan rekaman itu dapat diselamatkan Udaya atas izin Kartika. Mudah-mudahan ada perhatian Pemerintah Indonesia atas dua versi rekaman “Indonesia Raya” yang “dipinjam” dan tak tentu rimbanya itu.



Kompas, Minggu, 16 Agustus 2015

Mereka yang Melampaui Bangsanya

Namanya Josaphat Tetuko Sri Sumantyo (45). Ia lahir di Bandung dan menjadi ahli penginderaan jarak jauh menggunakan gelombang mikro.
Namanya dipakai untuk sebuah laboratorium di Universitas Chiba, kota Chiba, Jepang, yakni Josaphat Microwave Remote Sensing Laboratory (JMRSL). Jaraknya sekitar 5.000 kilometer dari kampung halamannya.
Prestasi Josaphat bukan tentang penyematan namanya di laboratorium itu. Kemampuannya membuat JMRSL sebagai laboratorium terbesar di dunia untuk penginderaan jarak jauh berbasis gelombang mikro melejitkan namanya.
12733426_10154483046623238_6214730212220491743_n.jpg
Josaphat Tetuko Sri Sumantyo (Sumber: Facebook)
Ditemui saat sedang berada di Kalibata, Jakarta, Kamis (13/8), Josaphat menjelaskan, JMRSL mendunia karena gigih dan gencarnya penelitian dan promosi ke sejumlah negara. Produk risetnya memperbaiki produk serupa di dunia. Salah satunya, sensor pemantau muka bumi bernama Circularly Polarized-Synthetic Aperture Radar (CP-SAR).
CP-SAR bisa memetakan penurunan muka tanah. Radarnya bisa mendeteksi setiap millimeter penurunan dan mendeteksi kandungan air bawah tanah, termasuk di gurun. Dengan hasil penelitiannya itu, penduduk daerah kering di Afrika, misalnya, bisa mengetahui lokasi potensial sumber air. Paten CP-SAR baru saja diperoleh atas nama Rektor Universitas Chiba, Oktober 2014.
CP-SAR rancangan Josaphat lebih unggul pada bobot dan harga yang jauh lebih murah. “Harga satelit SAR biasa Rp 4 triliun, sedangkan satelit mikro (rancangan Josaphat juga) yang dipasangi CP-SAR sekitar Rp 150 miliar,” ujarnya.
Tidak berhenti, professor penuh dan pegawai negeri di Jepang ini sedang membuat rancangan CP-SAR untuk lembaga keantariksaan, yaitu Badan Keantariksaan Eropa (ESA), Institut Riset Keantariksaan Korea Selatan (KARI), Organisasi Keantariksaan Nasional Taiwan (NSPO), dan tentunya Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) milik kita. Paten atas hasil-hasil risetnya telah dibuat di 118 negara.
Bagi pemilik gelar sarjana dan magister bidang rekayasa komputer dan kelistrikan di Universitas Kanazawa serta doktor bidang sistem gelombang radio terapan dan radar dari Universitas Chiba ini, tidak masalah untuk berkarya di mana saja. “Saya ingin menunjukkan bahwa orang-orang Indonesia itu bisa,” katanya.
Namun, ia tak pernah melupakan tanah air yang dicintainya. Sebulan sekali, ia pulang untuk menemui keluarga di Bandung dan memperluas jejaring dengan peneliti Indonesia untuk memajukan ilmu pengetahuan. Hasil risetnya pun diarahkan untuk Indonesia. CP-SAR, misalnya, bisa membantu pencarian korban bencana alam. Bagi aparat keamanan dan pertahanan, radar tersebut mendukung mengintip ancaman karena “penglihatannya” yang begitu tajam.
82fa49005f0443c8877098040208f3e8.jpg
Pesawat nirawak JX-1 dalam uji coba penerbangan dengan membawa serta radar CP-SAR, 29 Agustus 2013, di Fujikawa Airfield, Shizuoka, Jepang. JX-1 dan CP-SAR yang dirancang untuk kegiatan penginderaan jarak jauh merupakan karya Josaphat Tetuko Sri Sumantyo, warga negara Indonesia pengelola Josaphat Microwave Remote Sensing Laboratory di Universitas Chiba, Jepang (Sumber: Kompas/Arsip JMRSL)
Untuk Indonesia
Berkiprah di luar negeri juga dilakoni Caecilia Hapsari Ceriapuri Sukowati (35). Peneliti biomedis molekuler ini bekerja di Italia pada dua instansi, yaitu Departemen Ilmu Kedokteran, Bedah, dan Kesehatan Universitas Trieste serta di Italian Liver Foundation.
Caecilia Hapsari Ceriapuri Sukowati
Ia menyelesaikan studi strata 1 di Jurusan Biologi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Institut Teknologi Bandung (ITB). Tanpa studi magister, Caecilia melanjutkan jenjang doktor di School of Molecular Biomedicine Universitas Trieste (2008-2010), dengan beasiswa Kementerian Luar Negeri Italia. Sejak saat itu, Caecilia melakukan riset di Italia. Ia fokus meneliti kanker hati. “Di dunia, kanker hati merupakan penyebab terbesar kedua kematian terkait kanker,” ujarnya saat terhubungi lewat Skype.
Meski berada di Italia, apa yang dikerjakan Caecilia ditujukan sekaligus untuk Indonesia yang dicintainya. Prevalensi kanker hati di Indonesia tinggi, terutama akibat virus hepatitis B. Ia juga menjembatani kerja sama Italia-Indonesia terkait kanker hati dan hepatitis.
Tri L Astraatmadja (Sumber: tri.astraatmadja.org)
Di Belanda, ilmuwan Indonesia memilih menjadi peneliti dasar yang masih belum diketahui manfaat praktisnya bagi masyarakat dunia, apalagi Indonesia. Tri L Astraatmadja astronom peraih gelar doktor bidang astrofisika dari Leiden Institute of Physics Universitas Leiden.
“Astronomi tidak bisa dijadikan ilmu yang bisa menyelesaikan permasalahan aktual, seperti meningkatkan nilai tambah produk ekspor atau menghapus utang negara dunia ketiga,” ucap Tri lewat Skype dari sebuah desa di Skotlandia.
Lulusan Jurusan Astronomi ITB ini menambahkan, astronomi semata didasari rasa ingin tahu yang besar. Keingintahuan itu terkait pertanyaan tentang bagaimana alam semesta terbentuk. Pertanyaan itu berhubungan dengan pertanyaan besar sepanjang sejarah, bagaimana manusia tercipta.
Ketekunan Tri mengantarnya menerima penghargaan Global Neutrino Network karena disertasinya menjadi salah satu yang terbaik. Disertasi itu berjudul Starlight between the waves: In search of TeV photon emission from Gamma-Ray Bursts with the ANTARES Neutrino Telescope.
Saat ini ia melakukan studi pascadoktoral di Max-Planck-Institut für Astronomie, Heidelberg, Jerman. Ia terlibat dalam proyek Satelit Gaia, sebuah satelit yang berusaha mendata jumlah bintang secara lebih tepat. “Perkiraan sekarang, terdapat 100 milyar-400 milyar bintang di galaksi kita,” ujar Tri.
Kontribusi anak bangsa di sejumlah negara juga nyata saat Kongres Ke-3 Diaspora Indonesia, 12-14 Agustus 2015. Dari ratusan diaspora yang hadir secara mandiri, terungkap keunggulan Indonesia yang bisa jadi sumbangan bagi kebaikan dunia.
Syamsi Ali
Syamsi Ali (47), misalnya, yang menjadi imam di Islamic Center of New York, Amerika Serikat, dan pegiat dialog antariman yang intensif sejak peristiwa 11 September 2001. Dengan semangat gotong royong yang melekat pada dirinya, Syamsi menampilkan wajah damai Islam Indonesia untuk berdialog dan bekerja sama dengan pemuka agama Kristen dan Yahudi, dan diterima serta berkelanjutan. Lebih dari 29 tahun hidup di luar negeri, pria kelahiran Bulukumba, Sulawesi Selatan, ini mendedikasikan hidupnya untuk upaya damai ini.
Dunia mengakui kontribusi nyata mereka lewat kerja-kerja penuh dedikasi yang melampaui bangsanya sendiri. (JOG/INU)
Kompas, Sabtu, 15 Agustus 2015

Monday 3 August 2015

Daan Mogot dan Peristiwa Lengkong

Selama ini sering dengar nama jalan Daan Mogot. Nama ini pasti terasa asing untuk penduduk di Jawa. Setelah ditelusuri, ternyata Daan Mogot adalah nama seorang perwira yang gugur dalam usia belia. Nama aslinya adalah Elias Daniel Mogot. Lahir di Manado, pada 28 Desember 1927 (tanggal ini berdasarkan yang tertulis di batu nisan. Referensi yang ada umumnya menyebutkan 28 Desember 1928). Daan merupakan anak kelima dari tujuh bersaudara, dari pasangan Nicolaas Mogot dan Emilia Inkiriwang. Saudara sepupu Daan Mogot antara lain Alex Kawilarang (pernah menjabat Panglima Siliwangi, Panglima Besar Permesta), dan Gordon Mogot (mantan Kapolda Sulut) (Sandy, 2014).