Sunday 24 May 2015

Pemalsuan Pangan: Sejumlah Keanehan

Oleh: ANDREAS MARYOTO
Pekan ini, berbagai media di Tanah Air memberitakan soal beras sintetis. Beras ini telah dipastikan mengandung polivinil klorida1. Meski sudah banyak penjelasan, isu beras ini tetap membawa kita pada sejumlah pertanyaan. Apa motivasi orang menjual beras ini?
Sebelum terlalu jauh, persoalan penamaan perlu diangkat lebih dulu. Penamaan beras sintetis sebenarnya tidak tepat. Pengertian beras sintetis adalah beras yang terbuat dari bahan karbohidrat nonberas. Bentuk dan rasanya mendekati beras. Apabila ada kandungan racun, beras itu lebih tepat disebut beras palsu atau di dalam dunia perberasan dikenal fake rice.
Dalam kasus beras palsu ini kita hanya mendengar kasus ini terjadi di Bekasi, Jawa Barat. Hal ini menarik apabila dikaitkan dengan informasi kemungkinan beras paslu itu diselundupkan dari Tiongkok. Beras palsu ini memang pernah muncul di negara itu2. Akan tetapi, kalau kemudian ada orang yang berpikiran menyelundupkan beras dan menjual beras itu dengan menarget pasar Bekasi ataupun pasar Pulau Jawa, dia salah sasaran. Keuntungannya sangat minim karena berhadapan langsung dengan lumbung beras.

Luar Jawa

Pedagang pasti akan memilih pasar luar Jawa seperti Kalimantan Barat, Bangka, dan Kepulauan Riau untuk menjual beras palsu ataupun beras asli yang diselundupkan apabila ingin mendapatkan keuntungan besar. Tempat-tempat itu mendapat pasokan beras, salah satunya dari Jakarta melalui Pelabuhan Sunda Kelapa. Akan tetapi, sampai kemarin, pengiriman beras ke luar Jawa melalui pelabuhan itu masih lancar. Hal ini berarti pasar luar Jawa tidak menjadi target mereka.
Apalagi bila dikaitkan dengan ongkos, biaya pengiriman ke Jawa akan lebih besar ketimbang pengiriman beras di luar Jawa. Insentifnya sangat kecil untuk mengirim beras ke Pulau Jawa. Belum lagi dengan aparat Bea dan Cukai yang ketas mengawasi keluar-masuk barang, upaya memasukkan beras palsu itu merupakan upaya yang tidak mudah.
Keanehan lainnya, apabila memang mempunyai niat bisnis (dengan cara kotor), mengapai beras ini hanya ditemukan di Bekasi? Apabila ada margin besar, pelaku akan menjual beras palsu ini di beberapa tempat sehingga keuntungan makin banyak didapat. Sejauh ini kasus ini hanya ditemukan di Bekasi.
Penyelundupan beras beberapa tahun lalu dilakukan dalam jumlah besar dari mulai 1.000 ton hingga 5.000 ton. Apakah penyelundupan beras palsu kali ini mencapai angka itu? Apabila kali ini penyelundupan dilakukan dalam jumlah kecil, diperkirakan tidak menguntungkan.
Belum lagi, dalam hitungan yang tidak rumit, apabila beras itu memiliki kandungan polivinil klorida ataupun plastik seperti yang dihebohkan beberapa kalangan, pedagang malah merugi. Ada biaya yang tidak sedikit yang harus dikeluarkan untuk membeli senyawa itu.
Karena itu kemungkinan motivasi bisnis murni di balik penjualan beras palsu itu sangatlah kecil. Sejumlah fakta di atas sudah memperlihatkan kasus beras palsu ini mempunyai sejumlah keanehan.
Banyak analisis mengenai motif orang menjual beras palsu, dari mulai persaingan bisnis, politik, hingga kemungkinan beras itu tercampur tidak sengaja atau tidak ada motivasi tertentu. Meski demikian, pemerintah harus turun tangan karena isu beras ini telah menjadi isu liar tanpa kendali. Kasus ini memperlihatkan betapa mudahnya menggoyang kebutuhan pokok. Apabila tidak ada tindakan yang berarti, isu ini bisa menjadi bulan-bulanan dan berkepanjangan hingga mencemaskan masyarakat. Apalagi bila ditemukan tindakan kriminal, pemerintah perlu menindak secara tegas para pelakunya.
Untuk itu, kita hanya menunggu pemerintah mengumumkan hasil penyelidikan kasus ini agar semua menjadi terang. Akan tetapi, harapan itu sepertinya hanya tinggal harapan, banyak kasus serupa yang akan menghilang seiring dengan waktu yang berlalu. Semuanya tetap tidak terang.
Kompas, Sabtu, 23 Mei 2015
1) Hasil laboratorium PT Sucofindo yang dirilis pada Jumat pagi, 22 Mei 2015, menyebutkan beras itu mengandung senyawa polyvinyl chloride (PVC) yang biasa terdapat di pipa, kabel, dan lantai. Selain itu, beras tersebut juga mengandung tiga senyawa lain, yakni benzyl butyl phthalate (BPP), bis 2-ethylhexyl phthalate (DEHP), dan diisononyl phthalate (DINP). Ketiga zat ini biasa dipakai sebagai pelentur pada pipa dan kabel. (Kompas, 23 Mei 2015). Tetapi Kapolri Badrodin Haiti dalam jumpa pers Selasa, 26 Mei 2015, mengumumkan bahwa pemeriksaan sampel di laboratorium forensik Polri, BPOM, Kementrian Perdagangan, dan Kementerian Pertanian menunjukkan hasil negatif mengandung unsur plastik (BBC Indonesia, 26 Mei 2015) .  
2) Pada tahun 2011, tersiar kabar mengenai beredarnya beras sintetis yang terbuat dari kentang dengan resin sintetis di wilayah Taiuyuan, Shaanxi, Tiongkok. Dalam penjelasan Badan POM mengenai beras yang diduga mengandung plastik, 29 Mei 2015, disebutkan bahwa Badan POM telah menghubungi The International Food Safety Authorities Network (INFOSAN) atau lembaga otoritas pangan di bawah WHO pada 21 Mei 2015 untuk menanyakan apakah ada kasus beras plastik yang beredar di negara lain. INFOSAN memastikan tidak ada kasus beras plastik di negara lain (Siaran Pers BPOM)

Air Mata di Tengah Mata Air

Oleh: DAHLIA IRAWATI
Di Kabupaten Pasuruan, Jawa Timur, pengambilan air tanah sudah terjadi lebih dari 30-an tahun. Tahun 1984, salah satu perusahaan pionir air minum kemasan skala internasional sudah membuka pabrik di Pandaan, Kabupaten Pasuruan, Jawa Timur. Eksplorasi air tanah itu terus terjadi hingga saat ini.
Setidaknya ada 51 perusahaan air minum dalam kemasan (AMDK) tercatat izinnya beroperasi di Kabupaten Pasuruan. Itu hanyalah perusahaan dengan izin pengambilan air tanah yang tercatat di Badan Pelayanan Perizinan dan Penanaman Modal (BP3M) Kabupaten Pasuruan. Ada juga perusahaan yang tidak memiliki izin pengambilan air tanah, tetapi tetap beroperasi. Pemerintah daerah Pasuruan mengaku tak bisa menindak para pengambil air tanah ilegal tersebut karena pelanggaran yang dilakukan mereka adalah pelanggaran undang-undang, bukan perda. Pelanggaran UU harusnya ditindak penegak hukum.
Saat ini Dinas Pengairan dan Pertambangan Kabupaten Pasuruan mencatat ada 450 sumur legal dan 350-an sumur ilegal yang rutin mengambil air tanah di wilayah itu. Sumur tersebut untu kegiatan industri atau vila. Debit air yang diambil di atas 200 meter kubik per bulan.
“Memang harus diakui ada sumur-sumur ilegal yang mengambil air di Pasuruan. Ini bisa jadi berasal dari perusahaan yang memang terang-terangan mengambil air tanpa izin. Tetapi kami di daerah tidak bisa menindaknya,” kata Murnindya Priasto, Kabid Pertambangan dan Energi Dinas Pengairan dan Pertambangan Kabupaten Pasuruan, beberapa waktu lalu.
Selama 2007-2014, ESDM Jatim sudah mengeluarkan 1104 rekomendasi teknis pengambilan air tanah di Kabupaten Pasuruan. Itu terbanyak di Jatim.
Pengambilan air tanah oleh perusahaan, menurut Murnindya, untuk bahan baku (misalnya perusahaan AMDK), bahan pendamping (misalnya perusahaan yang menggunakan air untuk pendingin mesin atau produk), serta MCK perusahaan. Untuk kebutuhan bahan baku, perusahaan bisa mengambil air hingga 80.000 meter kubik per bulan. Untuk kebutuhan pendamping, diambil 20.000 meter kubik per bulan. Untuk kebutuhan MCK pabrik, 500-600 meter kubik per bulan. Satu meter kubik setara dengan 1.000 liter air.
“Kami biasanya menerima laporan pengambilan air dari perusahaan setiap bulan. Tidak semua perusahaan bisa kami pantau. Satu perusahaan AMDK bisa memiliki 1-5 sumur sekaligus. Personel kami tidak bisa memantau seluruh aktivitas tersebut,” ujar Murnindya.
Murnindya mengaku banyak di antara perusahaan AMDK itu mengambil air di luar kuota izin mereka. “Satu pabrik misalnya sudah memiliki mesin dengan kapasitas terpasang dengan kuota air tertentu. Tiba-tiba suatu ketika, ESDM Provinsi menurunkan kuota perusahaan itu. Jelas untuk mengganti mesin dengan kuota lebih rendah akan membutuhkan investasi besar dan lama. Biasanya dalam kasus seperti ini, perusahaan memilih tetap mengambil air sesuai kapasitas awal meski kuota izinnya dikurangi,” ujarnya.
Meski begitu, Murnindya mengaku pemda tidak bisa berbuat banyak karena kewenangan mengenai air ada di pemerintah pusat. Penindakannya pun bukan dilakukan pemda karena pelanggaran atas air tanah merupakan pelanggaran UU.

Ironi

Persoalan air tanah di Kabupaten Pasuruan, menurut Gunawan Wibisono, pakar hidrologi Universitas Merdeka, Malang, tidak dikelola dengan baik. Air tanah dengan kualitas bagus dan melimpah dibiarkan terbuang percuma, diambil seenaknya tanpa diimbangi konservasi, serta tidak ada tindakan tegas atas pelanggaran.
“Di beberapa daerah di Pasuruan ditemukan air mengalir begitu saja tanpa ditangani dengan baik. Masih banyak industri mengambil air di Pasuruan tanpa mengembalikannya dalam bentuk konservasi. Banyak pelanggaran tidak ditindak. Padahal, daerah memiliki polisi lingkungan yang bisa menindak pelanggaran lingkungan, termasuk pelanggaran penggunaan air. Jika pelanggaran itu mengarah ke pidana, bisa dilaporkan ke polisi. Laporan inilah yang menjadi dasar polisi untuk bertindak,” ujar Gunawan, yang juga mengajar di Universitas Brawijaya, Malang.
Kabupaten Pasuruan merupakan wilayah dengan kekayaan utama berupa air. Hal ini terjadi karena secara geografis, Pasuruan berada di wilayah cekungan antara Gunung Arjuno di sisi barat dan Gunung Bromo di sisi timur. Kawasan cekungan ini yang membuat Pasuruan kaya akan air tanah.
Namun, kondisi kaya air itu mulai surut. Laporan Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Kabupaten Pasuruan tahun 2008 menyebutkan muka air tanah menurun 2 meter dibanding sebelumnya. Penurunan terbesar berada di Pandaan, yang merupakan sentra industri air minum.
Yang lebih ironis, sebagai kawasan melimpah air, saat ini di Kabupaten Pasuruan terdapat delapan kecamatan dengan 34 desa dan 28.603 keluarga menderita kekeringan pada 2014. Salah satu pusat kekeringan adalah di wilayah Umbulan, Kecamatan Winongan, yang nyata-nyata merupakan kawasan sumber air Umbulan, sumber air terbesar di Pasuruan.
Kompas, Sabtu, 23 Mei 2015  

Sunday 17 May 2015

Gempa Bengkayang dari Sesar Aktif

Gempa bumi berkekuatan 4,3 skala Richter mengguncang Bengkayang, Kalimantan Barat, pada Kamis (14/5) sekitar pukul 17.25 WIB. Gempa ini dibangkitkan oleh aktivitas patahan aktif dengan pergerakan kombinasi  antara sesar turun dan mendatar.
“Kalimantan memang relatif aman dari gempa sehingga banyak yang kaget. Namun, sebenarnya ada beberapa sesar di sana dan pernah juga terjadi gempa sebelumnya,” kata Daryono, Kepala Bidang Mitigasi Gempa Bumi dan Tsunami Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), di Jakarta, Sabtu (16/5).
Laporan dari Pusat Gempa Bumi Nasional BMKG menyebutkan, guncangan gempa bumi ini dapat dirasakan di Bengkayang, Singkawang, dan Paloh dalam skala intensitas II-III MMI (Modified Mercalli Internsity). Pusat gempa berada di kedalaman hiposenter 11 kilometer dan episentrumnya terletak pada koordinat 0,61 Lintang Utara dan 108,86 Bujur Timur, tepatnya di laut pada jarak 33 kilometer arah barat daya Kota Singkawang.
Meskipun magnitudo gempa relatif kecil, hanya 4,2 skala Richter, guncangan yang dirasakan cukup kuat. Hal ini, menurut Daryono, selain kedalaman hiposenter yang dangkal hanya 11 kilometer, juga disebabkan kondisi tanah di sekitar lokasi relatif lunak,didominasi endapatan material aluvium dan pasir.
“Secara morfologi, memang sebagian besar zona gempa bumi ini merupakan daerah dataran rendah di kawasan pesisir. Guncangan gempa bumi telah menimbulkan proses resonansi hingga memicu terjadinya perbesaran (amplifikasi) getaran gempa bumi,” tutur Daryono.
Daryono mengatakan, melihat anatomi gelombang gempa bumi yang tercatat, tampak bahwa gempa bumi ini merupakan gempa bumi tektonik akibat aktivitas patahan aktif. “Ini terlihat jelas dari adanya waktu kedatangan dan selisih antara gelombang S dan gelombang P yang hanya beberapa detik,” katanya.
Sementara hasil analisis mekanisme sumber gempa bumi berdasarkan perangkat lunak JisWiew menunjukkan bahwa gempa bumi ini dibangkitkan oleh aktivitas patahan aktif dengan pergerakan kombinasi antara sesar turun dan mendatar.
Mengacu pada penelitian Suntoko dan Sutopo (2013), Kalimantan Barat sebagian besar merupakan daerah yang terdiri atas kelurusan atau patahan tua. Di Singkawang dan Bengkayang, patahan yang ada sudah dikenali sebagai Formasi Sintang yang berumur oligosen (23 juta-30 juta tahun) berupa patahan mendatar sinistral, yaitu Patahan Adang.
Khusus untuk wilayah Kalimantan Barat, catatan gempanya juga sangat rendah. Berdasarkan data katalog gempa bumi BMKG di Kalimantan Barat baru tercatat tiga kali aktivitas gempa bumi signifikan, yaitu gempa bumi 23 Agustus 2011 (M=4,4), gempa bumi 24 Agustus 2011 (M=4,6), dan gempa bumi 24 Agustus 2011 (M=3,6). “Gempa Bengkayang  pada 14 Mei 2015 (M=4,2) merupakan gempa signifikan yang keempat di Kalimantan Barat,” katanya.
Kompas, Minggu, 17 Mei 2015

Pak Dul: Biarkan Saya Menambal Jalan

Oleh DODY WISNU PRIBADI dan AGNES SWETTA PANDIA
Abdul Syukur alias Pak Dul (65) yang berprofesi sebagai penarik becak bisa dikatakan memenuhi sosok yang disebut sebagai day to day hero atau pahlawan sehari-hari. Ini jenis pahlawan yang tidak menumpahkan darah, tidak menyumbang pemikiran besar atau uang banyak, tetapi telah berkorban. Warga Surabaya, Jawa Timur, ini namanya menjadi perbincangan di media sosial.
04b9979e1c9544d8b5de1d747753c383.jpg
Abdul Syukur alias Pak Dul (Kompas/Dody Wisnu Pribadi)
Seperti kebiasaan Himan Utomo (28), tenaga pemasaran produk kecantikan, rutin menjemput istrinya yang bekerja sebagai sales promotion girl (SPG) di pusat perbelanjaan ITC, Jalan Gembong, Surabaya. Menjemput istri dilakukan Himan setiap malam pada hari kerja, sekira pukul 22.00.
Hanya ketika Minggu (10/5) malam, Himan makin tertegun. Ia melihat seorang penarik becak tua untuk kesekian kalinya berhenti di tengah jalan yang sudah sepi, lalu menurunkan bongkahan jalan aspal satu becak penuh.
Penarik becak ini pun lalu memasukkan bongkahan jalan beraspal ke lubang-lubang jalan. Himan dengan rasa ingin tahunya pun bercakap dengan Pak Dul atau di kalangan penarik becak yang mangkal di depan ITC disebut Pak Wek atau Pak Tuwek, karena memang sudah renta. Pak Dul mengaku sudah menambal jalan berlubang dengan bongkahan aspal hampir 10 tahun terakhir.
Pak Dul melakukannya selalu saat tengah malam karena menunggu jalanan sepi. Penarik becak lain, Basuki (50-an), menyatakan bahwa dia orang ikhlas.
“Tidak hanya menambal jalan, Pak Dul juga akan berhenti dari becaknya kalau melihat aneka bahaya yang ditemui tidak sengaja. Misalnya, ada besi papan reklame yang tidak dipotong rapi sehingga besinya mencuat tajam. Pak Dul yang selalu membawa palu di becaknya langsung menumpulkan bagian besi yang tajam agar tidak membahayakan,” kata Basuki.
Yono, juga penarik becak, mengutarakan, Pak Dul bukan sekadar menguruk jalan berlubang dengan bongkahan aspal yang diambil dari tempat lain (dari mana ya?). Pak Dul juga menghancurkan dulu bongkahan besar menjadi kecil sebesar kerikil. Ia lalu menatanya agar aspal di bagian bawah dan batu yang licin di bagian atas. Dia melakukan seperti layaknya pegawai Dinas Pekerjaan Umum,” kisah Yono, kagum.
Pak Dul yang ditemui di rumahnya yang kecil dan sempit, 40 meter persegi, dan dihuni bersama dua anaknya di Jalan Tambak Segaran, Surabaya, melakukan kegiatannya menambal jalan tanpa pamrih apa-apa.
“Saya tidak dibayar siapa-siapa, tidak minta apa-apa. Saya cuma kasihan kalau sampai ada orang bersepeda atau pengemudi becak yang terjatuh kejeglong (roda masuk lubang jalan). Pikir saya, sebelum mencelakakan orang lebih baik saya tambal,” kata Pak Dul, yang sehari-hari jika ramai bisa dapat Rp 60.000 dari menarik becak.
Pak Dul menambal jalan tanpa pamrih. Ia juga tidak memprotes pemerintah yang seharusnya paling bertanggung jawab pada kerusakan jalan. Pak Dul hanya melakukan apa yang menurut dia dapat mencegah orang terkena celaka.
Lho, mumpung kulo sik sanggup nambal, kulo tambal (Mumpung saya masih kuat menambal, ya saya tambal),” katanya, dengan logat suroboyoan sambil beberapa kali dikerubungi cucu-cucunya.
Juragan becak
Pak Dul pernah menjadi juragan becak pada masa mudanya. Ia pernah punya 27 becak pada 1980-an. Namun ia menjalankan bisnis dengan cara yang “aneh”. Sementara juragan becak yang lain menarik setoran harian Rp 5.000, Pak Dul hanya meminta setoran harian Rp 2.500
Alasannya, kasihan kepada penarik becak yang menyewa kalau menarik becak tidak mendapat uang. Karena itu, setoran dibuat ringan. Kalau penarik becak dibebani setoran tinggi, terkadang mereka pulang tanpa membawa uang. Hal itu yang membuat Pak Dul memberlakukan setoran yang rendah meskipun ia dimusuhi sesama juragan becak karena dianggap mematikan pasaran.
Ketika itu, seorang penarik becak bernama Wagiman merasa berterima kasih. Wagiman lalu menawarkan supaya Pak Dul menikahi anaknya. Wagiman mengutarakan penawaran itu melalui pengemudi becak lain.
“Ya kalau saya dikasih istri mau. Waktu itu saya masih perjaka,” kata Pak Dul, disusul tertawa terbahak-bahak di depan anak-anaknya. Pak Dul kini sudah memiliki tujuh cucu. Ketika ditemui, anak-anaknya tengah berkumpul karena kini rumahnya semakin kerap didatangi wartawan. Setahun lalu, istrinya meninggal.
Namun, becaknya kemudian dijual satu per satu untuk biaya sekolah enam anaknya. Saat ini tinggal satu becak dan masih dipakai sehari-hari, termasuk kadang mengangkut bongkahan aspal hingga 700 kilogram.
Kerja keras tanpa pamrih menambal jalan yang dilakukan Pak Dul itulah yang kemudian menarik perhatian Himan. Tulisan dan foto Himan di media sosial Facebook Himan Utomo tentang kisah Pak Dul menambal jalan bertahun-tahun menimbulkan kehebohan. Sampai dengan Jumat (15/5), atau hanya lima hari sejak diunggah, sudah 12.000 orang yang berbagi foto dan kisah itu.
Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini pada Kamis (14/5) mengirim camat dan lurah setempat menjemput dan mengajak Pak Dul ke kediaman Wali Kota untuk berbincang-bincang.
Risma memberinya uang saku dan menawarkan pekerjaan mandor kerja di Dinas PU. Pak Dul menolak tawaran pekerjaan dan menyatakan ingin tetap menarik becak. “Bu Risma ngguyu. Wonge lak keras a, tapi apik dekne yo gelem resik-resik saluran, podo aku,” kata ayah enam anak, yang memang rajin membersihkan saluran air di lingkungannya agar tidak ada genangan pas musim hujan. Bahkan Risma, katanya, tertawa hingga menangis saat bertemu dengan Pak Dul didampingi anak sulungnya, Yuni.1
Pak Dul mengisahkan pula, saat enam anaknya ia ajak naik becak ke Pantai Kenjeran untuk berekreasi, ia bertemu dengan seorang ibu yang kebingungan menemukan jalan, lalu memaksa Pak Dul mengantar dengan becak. Bahkan di tengah tanggung jawabnya menjaga anak, Pak Dul tak bisa membiarkan orang kesulitan dan ingin menolongnya.
“Anak-anak saya tinggal di Kenjeran. Si ibu itu ternyata salah alamat, saya harus mengantar ke tempat yang lebih jauh. Saya buru-buru kembali ke pantai setelah berjam-jam, anak-anak sudah menunggu (Pak Dul memeragakan tangan mereka memeluk lutut karena kedinginan sehabis mandi di laut). Untung tidak digondol wewe… Ha-haha,” tawa Pak Dul berderai diiringi tamu-tamunya.
Semenjak posting-­an Himan di Facebook tentang kisah Pak Dul, jalan di depan ITC dan di persilangan sebidang rel dan Jalan Gembong ke arah Stasiun Semut langsung diaspal mulus, tentu oleh Dinas Pekerjaan Umum Surabaya.
Pak Dul dengan jiwa relawannya dan Hima dengan jiwa relawan media sosialnya memenuhi contoh sempurna tentang “pahlawan sehari-hari” itu.
“Apalagi cita-cita Pak Dul?” tanya Kompas. “Saya kepingin bertemu Pak Jokowi. Dia itu orang baik. Apa sampean bisa menghubungkan?” Pak Dul balik meminta dan pendengarnya lagi-lagi tertawa-tawa.
Ia juga sempat menitipkan pesan agar Risma segera menambal satu lokasi di Jalan Gembong Tebasan yang sudah lama rusak karena sangat membahayakan pengendara dan rombong (gerobak). Permintaan Pak Dul pun langsung direspons dan kini sudah mulus.
Pada Jumat lalu, Pak Dul bersama anaknya juga ke rumah Himan sekadar bertandang. “Semoga terang benderangnya lampu panggung tidak mengganggu pandangan Pak Dul di perjalanan di jalan yang lurus itu,” tulis Dianti Idris di dinding Facebook Himan Utomo.
Kompas, Minggu, 17 Mei 2015
1) Wali Kota Surabaya, Tri Rismaharini, menawarkan program bedah rumah dan pekerjaan sebagai mandor proyek perbaikan jalan di Dinas PU Kota Surabaya. "Ayah saya mengaku ikhlas dan tidak berharap imbalan apa pun, karena itu dia menolak," kata Suwarni, putri kelima Mbah Dul. (Kompas.com)

Saturday 9 May 2015

Hijrah!

Oleh M SUBHAN SD
Dalam jiwa yang gelisah, HOS Tjokroaminoto (1876-1934) selalu bertanya kepada Agus Salim (1884-1954), "Sudah sampai di mana hijrah kita?" Sepenggal pertanyaan itu sangat dominan ketika dua pendiri bangsa tersebut menyemai benih-benih kesadaran tentang arti sebuah bangsa pada awal abad ke-20. Agus Salim yang paham kegelisahan Tjokro, sembari menyitir Nabi Muhammad SAW, menjawab, "Selalu ada kesepian dan keterpencilan dalam setiap hijrah."
Hijrah adalah pesan otentik yang terekam dalam film Guru Bangsa: HOS Tjokroaminoto (2015) karya sutradara Garin Nugroho. Saya terharu menonton film itu, tiga pekan lalu, karena membayangkan betapa generasi masa lalu, seperti Tjokroaminoto, Agus Salim, Tjipto Mangoenkoesoemo, Ki Hajar Dewantara, Tirtoadisuryo, Sutomo, H Samanhudi, Ibrahim Datuk Tan Malaka, dan Soekarno, mengabdikan hidupnya untuk membangun fondasi sebuah bangsa yang didasari suatu ikatan batin, bukan saja karena ada persamaan nasib dan sejarah, melainkan juga didasari harapan dan cita-cita bersama di masa depan, seperti dirumuskan Ernest Renan (1823-1892), sejarawan dan filsuf Perancis pada 1882.
Dan, hijrah bukan melulu sebagai teks agama. Hijrah adalah terminologi sosial, budaya, juga politik. Hijrah adalah proses meninggalkan dari kegelapan (keburukan) menuju terang benderang (kebaikan), Hijrah bukan produk sejarah masa lalu semata. Hijrah adalah spirit hidup yang tak mati digerus zaman. Maka, hijrah adalah konteks kekinian yang menjadi fondasi di masa depan. Karena hijrah adalah kesadaran pikiran, akal budi, mentalitas, jiwa yang tetap hidup. Hijrah tak berhenti pada tataran ide-ide secara dialektis, tetapi juga menjadi perilaku bertindak.
Ketika berhijrah, the founding fathers mengabdi dengan tulus, tanpa motif pamrih tertentu, walau di bawah ancaman pembuangan dari lingkungannya oleh penguasa kolonial Belanda. Dalam kondisi tertekan pun, tidak ada rasa lelah apalagi gentar, asalkan pengabdian mereka menerangi bangsa terjajah ini. Mereka adalah generasi harum yang wanginya tak pernah sirna. Mereka sangat menikmati "kesepian dan keterpencilan dalam setiap hijrah".
Sayangnya, hijrah terakhir bangsa ini pada 1998 tidak mampu mewujudkan reformasi secara tuntas. Otoritarian memang ditumbangkan, tetapi kita gagal membangun demokrasi yang substantif. Demoktrasi diagungkan bukan untuk keadaban berpolitik. Demokrasi hanya dijadikan kendaraan untuk berebut kekuasaan, bukan untuk memberdayakan dan menyejahterakan rakyat. Reformasi banyak ditumpangi dan demokrasi pun ditunggangi. Maka, tak heran, yang banyak memegang dan menikmati kekuasaan pada era Reformulasi adalah bagian dari Orde Baru di masa lalu. Ternyata, kita memang tidak benar-benar berhijrah.
Dan, partai politik tidak mampu mendidik dan mencerdaskan, bahkan anggotanya sendiri. Sangat langka menemukan elite politik di parpol yang mengedepankan keadaban berpolitik. DPR, misalnya, yang selama enam bulan selalu gaduh, kini minta kembali gedung baru. Padahal, kinerjanya saja tidak becus. Tiga tahun lalu permintaan gedung baru sudah ditolak.
Mereka tak peduli ketika rakyat tengah kesulitan saat harga-harga tinggi. Jika kinerja DPR bagus, gedung baru barangkali bukan hal yang patut diributkan. Ibarat kehidupan zaman kuno di Tiongkok, seperti digambarkan Hsu (1981), rakyat cuma punya kewajiban tanpa punya hak. Kalau para penguasa ingin membangun istana yang megah atau monumen apa pun juga, tinggal memerintahkan saja, tanpa peduli pada kehendak dan nasib rakyat. Itulah gambaran era monarki.
Dan, demokrasi kita pun layu di parpol. Politisi gemar bertengkar dan adu kuat, bukan beradu siasat dan lobi. Oligarki juga tetap hidup di parpol. Banyak pemimpin parpol adalah muka-muka lama, bahkan bisa rangkap jabatan. Tak adakah kader muda yang lebih segar? Pemimpin-pemimpin parpol yang makin tua menunjukkan politik gerontokrasi yang renta. Suksesi nyaris mandeg. Memang aneh karena kultus individu yang bertentangan dengan demokrasi justru tumbuh subur di parpol.
Lalu, penegakan hukum jauh dari rasa adil. Penegak hukum banyak mengerjakan perkara hukum dengan motif tertentu. Para hakim tidak lagi pengadil yang bisa dipercaya. Padahal, para hakim dipercaya sebagai "wakil Tuhan". Rakyat menjadi ragu mencari keadilan di pengadilan karena hukum kerap berkelindan dengan politik. Jangan harap korupsi bisa diberantas jika hukum belum benar-benar adil dan kekuasaan tidak ada keadaban.
Setelah 17 tahun reformasi dan lima presiden berkuasa (BJ Habibie, Abdurrahman Wahid, Megawati Soekarnoputri, Susilo Bambang Yudhoyono, dan Joko Widodo), masalah negeri ini tetap tak jua berubah: politik gaduh, ekonomi goyah, hukum seolah-olah adil, korupsi gagal diberantas, moralitas mengkhawatirkan, bangsa tak berkarakter, dan banyak lagi. Itulah potret generasi sekarang. Anehnya, pemimpin kini merasa telah berikhtiar dan berbuat. Mereka memang bergerak, tetapi cuma berputar-putar terjebak di labirin yang di dalam mitologi Yunani merupakan tempat mengurung Minotauros, monster manusia berkepala banteng.
Saat rakyat menolak korupsi, koruptor malah mau diberi remisi. Mereka tak peduli suara rakyat yang menolak korupsi. Ketika rakyat menderita, elite tetap dengan agenda masing-masing. Isu reshuffle pun selalu bikin heboh. "Anda tidak bisa menjadi pemimpin dan meminta orang lain untuk mengikuti Anda kecuali jika Anda tahu bagaimana mengikuti (aspirasi) mereka," ujar Sam Rayburn (1882-1961), politisi Amerika Serikat.
Generasi sekarang memang jauh sekali dibandingkan dengan generasi Tjokroaminoto yang berani berhijrah seperti Nabi. Sosiolog dan pemikir besar Ibnu Khaldun (1332-1406), dalam Muqaddimah, mengingatkan bahwa kebinasaan suatu bangsa dan kehancuran kewibawaan pemerintahan (eksekutif, legislatif, dan yudikatif) karena mereka melakukan perbuatan tercela. Jadi, sekarang ini, tahun 2015, sudah sampai di mana hijrah kita? Terasa sunyi, sepi, dan terpencil...
Kompas, Sabtu, 9 Mei 2015
Gerontokrasi: pemerintah atau badan pemerintah yang dikendalikan oleh orang-orang tua

Komunikasi Dokter dan Pasien: Menuju Keberhasilan Terapi

Oleh ZUBAIRI DJOERBAN
Sebagian dokter mungkin pernah menghadapi situasi anekdotal ini: tak lama setelah pasien datang dan ditanya, "Kapan terakhir minum obat?", pasien menjawab, "Kemarin." Sepuluh menit kemudian ditanya lagi, ia akan menjawab, "Minggu lalu, Dok." Ketiga kali, pasien mulai ragu dan menjawab, "Yaah, sudah beberapa minggu lalu sebenarnya, Dok."

Penerbangan: Perkataan Iseng yang Membawa Petaka...

Oleh: M CLARA WESTI
Baru-baru ini, seorang penumpang pesawat udara secara iseng memberi tahu awak pesawat Lion Air dari Batam, Kepulauan Riau, menuju Cengkareng, Jakarta, bahwa tas yang dibawa berisi bom. Maksudnya memang bercanda. Namun, penumpang itu tidak mengerti bahwa bahan candaan itu mengandung makna lain jika diucapkan di dunia penerbangan.
Pesawat Lion Air terlambat karena ulah iseng penumpang (Buletin News)
Di dalam dunia penerbangan, keselamatan dan keamanan adalah sebuah mandatori atau keharusan yang tidak bisa ditawar. Apa pun yang dianggap bisa membahayakan keselamatan penerbangan, hal itu harus diberikan perhatian penuh. Oleh karena itu, ketika penumpang itu mengatakan dirinya membawa bom, walaupun hanya iseng, petugas penerbangan harus memeriksa secara teliti.
Semua penumpang dikeluarkan lagi dari pesawat. Semua barang yang dibawa harus diperiksa satu per satu, dan barang atau tas yang sudah masuk ke bagasi juga harus diteliti ulang. Jika barang atau tas itu sudah masuk ke bagasi pesawat, barang atau tas harus dikeluarkan dari bagasi dan dibawa ke dalam terminal untuk diperiksa ulang. Bisa dibayangkan waktu yang dihabiskan untuk memeriksa semua barang dan para penumpang itu. Sudah jelas, penerbangan akan terlambat. Dan, apabila penerbangan itu terkoneksi dengan penerbangan berikutnya di bandara lain, akan banyak penerbangan yang terlambat. Penumpang pun akan menunggu lama di bandara.
Parahnya lagi, penumpang yang mengucapkan secara iseng bahwa tasnya berisi bom tidak hanya sekali. Sudah tiga orang berturut-turut melakukan hal yang sama di tempat berbeda dan maskapai berbeda hanya dalam tempo tidak sampai satu bulan. Keisengan yang merugikan ini justru secara sengaja diulang oleh para penumpang.
Perilaku penumpang di dalam pesawat memang harus dibenahi. Informasi mengenai apa yang boleh dan apa yang tidak harus terus disosialisasikan. Contohnya, larangan menggunakan telepon genggam saat pesawat akan lepas landas atau mendarat. Walaupun sudah berulang kali disosialisasikan, baik saat akan berangkat maupun akan mendarat, tetap saja ada penumpang yang mengaktifkan telepon genggam. Kepentingannya, hanya ingin memberi tahu keluarga atau penjemput bahwa dia sudah tiba. Seolah-olah informasi itu harus disampaikan segera dan tidak bisa ditunda.
Perilaku yang merugikan adalah membuka pintu darurat secara paksa. Sebuah maskapai penerbangan akan rugi miliaran rupiah jika pintu darurat itu dibuka dengan sengaja. Pasalnya, karet yang otomatis akan keluar dari pintu pesawat itu harus diperbaiki oleh tenaga ahli dan mesin khusus dari pabrik pesawat. Itu artinya, pesawat tidak bisa digunakan selama pintu darurat itu belum diperbaiki. Pemasukan maskapai pun berkurang.
Hal yang sama terjadi pada jaket keselamatan yang ada di pesawat. Jaket itu tidak boleh diambil, digelembungkan, atau dicuri, karena jaket itu termasuk barang no go item. Artinya, jika tidak ada barang itu atau jumlahnya tidak lengkap, pesawat tidak boleh berangkat. Jaket yang sudah digelembungkan tidak bisa langsung disimpan karena ada tabung khusus yang berisi gas yang harus diisi kembali.
Perilaku lain yang dilarang adalah membuat keributan sehingga mengganggu penerbangan, seperti bertengkar dengan penumpang lain atau mengganggu awak pesawat.
Dalam dunia penerbangan internasional, perilaku seperti ini bisa membuat penumpang itu diturunkan dan dimasukkan ke dalam daftar hitam sehingga tidak boleh naik pesawat lagi. Melihat perilaku penumpang semakin memprihatinkan, sudah waktunya sosialisasi digencarkan. Hukuman diterapkan dengan tegas. Dengan demikian, penumpang mengetahu risiko dari perbuatannya.
Kompas, Sabtu, 9 Mei 2015