Saturday 25 April 2015

Akulturasi Budaya: Inspirasi dari Desa Gudo

Oleh NAWA TUNGGAL
Desa Gudo, Kecamatan Gudo, Kabupaten Jombang, Jawa Timur, menyuguhkan akulturasi yang menarik. Di situ, ada Kelenteng Hong San Kiong yang cukup dekat dengan kaum santri. Hubungan baik yang tumbuh sejak zaman Majapahit tersebut menggambarkan masyarakat Nusantara yang cukup luwes terhadap perbedaan.
Gapura Kelenteng Hong San Kiong di Desa Gudo, Kecamatan Gudo, Kabupaten Jombang, Jawa Timur, Maret 2015. Bangunan ini menyimpan kisah akulturasi budaya Tionghoa dengan beragam penuturan sejarahnya.
Gapura Kelenteng Hong San Kiong di Desa Gudo, Kecamatan Gudo, Kabupaten Jombang, Jawa Timur, Maret 2015. Bangunan ini menyimpan kisah akulturasi budaya Tionghoa dengan beragam penuturan sejarahnya. (Kompas/Nawa Tunggal)
Gudo kini mungkin tidak lagi desa terpencil yang berjarak 13 kilometer dari kota Jombang. Tradisi peranakan Tionghoa yang berpusat di kelenteng Hong San Kiong memberikan kekayaan budaya tersediri di tengah budaya santri yang lekat di kawasan itu.
Kelenteng tersebut rutin mementaskan wayang potehi, kesenian khas Tiongkok. Toni Harsono atau Tok Hok Lay (45), Ketua Pengurus Kelenteng Hong San Kiong, mengungkapkan, sejak beberapa tahun terakhir bahkan beberapa orang memproduksi wayang tersebut.
Tradisi peranakan Tionghoa di Desa Gudo punya sejarah panjang. Menurut mantan Kepala Desa Gudo, Budiman Tjokroatmodjo (72), peranakan Tionghoa hadir di desanya sejak zaman penyerbuan pasukan Tartar pada masa awal terbentuknya Kerajaan Majapahit pada abad ke-13 Masehi. Beberapa referensi sejarah menyebutkan, pasukan Kubilai Khan dari Mongol, Tiongkok, mengirim sekitar 20.000 tentara pada tahun 1293 ke tanah Jawa, untuk menyerang Kerajaan Singasari di bawah Raja Kertanegara.
Padahal, Kertanegara waktu itu sudah ditundukkan Jayakatwang, Raja Gelang-gelang, bawahan Kerajaan Singasari. Pendiri Kerajaan Majapahit, Raden Wijaya, berhasil memanfaatkan pasukan Mongol itu untuk menundukkan Jayakatwang.
“Di antara pasukan Tartar itu ada yang menetap di Gudo. Terjadilah budaya peranakan Tionghoa di sini sampai sekarang,” kata Budiman.
Bagi kalangan ilmuwan, seperti arkeolog Hasan Djafar dari Universitas Indonesia (UI), sejauh ini belum ditemukan bukti tertulis adanya tentara Tartar dari Tiongkok yang tidak pulang ke negerinya dan beranak cucu di Gudo. Soalnya, data sejarah menyebutkan, Raden Wijaya memukul mundur pasukan Tartar sehingga akhirnya kembali ke negerinya.
Bukti sejarah tertulis awal keberadaan Kelenteng Hong San Kiong hingga sekarang juga belum ditemukan. Menurut Toni Harsono, bukti tertulis yang tertua berupa papan syair untuk sumbangan umat bagi Kelenteng Hong San Kiong pada tahun 1904. Berikutnya, pada tahun 1926 juga ditemukan catatan tertulis mengenai keuangan kelenteng. Namun, awal tradisi peranakan Tionghoa di Gudo masih saja sulit terungkap.
Jawadwipa
Dalam bukunya, Wayang Potehi Gudo (2014), pengajar Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya UI, Dwi Woro Retno Mastuti mengutip Guru Besar Universitas Beijing Liang Liji. Berdasarkan catatan Dinasti Han, pada tahun 131 Sebelum Masehi sudah terjalin hubungan antara Tiongkok dan Jawadwipa.
Pada masa kekaisaran Wang Ming atau Wang Ma di Tiongkok abad VI SM hingga abad I SM, wilayah Nusantara dikenal sebagai Huang-Tse. Saat itu terjalin perdagangan. Orang Tiongkok menjual sutra dan keramik, sementara orang Jawadwipa menawarkan rempah-rempah.
Pada abad IX Masehi, hubungan antara Tiongkok dan Nusantara kian erat, terutama dari Dinasti Tang. Pada abad IX itu pula, banyak penduduk di Guangzhou, Tiongkok, yang bermigrasi hingga Palembang demi menghindari pemberontakan pasukan Huang Chao.
Memasuki abad ke-13 Masehi, pasukan Mongol dari Dinasti Yuan membuat ekspedisi ke Kerajaan Pagan, Angkor, Campa, dan Jawa. Hingga akhirnya diketahui pada 1293, Kaisar Kubilai Khan memerintahkan Gubernur Hokkian untuk menyerang Jawa, tetapi dapat dikelabui Raden Wijaya.
Pecinan
Untuk melihat tradisi peranakan Tionghoa di Gudo sampai sekarang, Dwi Woro mengutip catatan pada masa kolonial Belanda yang menyebutkan antara lain pada tahun 1889 ada peresmian daerah “pecinan” di wilayah Mojoagung, yang mencakup wilayah Gudo sekarang. Banyak warga Tiongkok didatangkan sebagai tenaga mekanik pabrik-pabrik gula yang mulai bertebaran di Jombang.
Tata irigasi dari Sungai Brantas dengan Pintu Air Rolak 70, yang terletak tak jauh dari Kelenteng Hong San Kiong, mendukung budidaya tebu dan produksi gula. Banyak lahan yang dimanfaatkan untuk menanam tebu dan bermunculan banyak pabrik gula sebagai komoditas ekspor paling penting saat itu. Gudo akhirnya banyak dihuni peranakan Tionghoa.
Keberlangsungan tradisi peranakan Tionghoa di Gudo sampai sekarang terwakili oleh keberadaan Kelenteng Hong San Kiong. Catatan Hindia Belanda menyebutkan, pada tahun 1915 penduduk di wilayah Mojoagung (yang mencakup Gudo) mencapai 13.500 orang. Sebanyak 600 orang di antaranya adalah Tionghoa dan 120 orang Eropa. Meski zaman berubah, peranakan Tionghoa tetap hidup aman di kawasan ini.
Kelenteng Hong San Kiong, Rolak 70, dan warga di Gudo, Jombang, memberi inspirasi bahwa masyarakat yang berbeda suku, ras, budaya, dan agama bisa hidup berdampingan.

Kompas, Sabtu, 25 April 2015

Gagalnya Filsafat Pertama Pendidikan

Oleh SAIFUR ROHMAN
Seorang anggota DPR memukul anggota Dewan lain hingga babak belur, Kami (9/4/2015). Pelaku melancarkan tinju ketika bertemu korban di ruang toilet.
Akibat pukulan itu, wajah korban lebam dan kacamatanya pecah. Ditengarai pelaku merasa tersinggung karena korban dinilai tidak menghormati hak bicaranya. Ketika dikonfirmasi, Ketua DPR menyatakan bahwa peristiwa itu terjadi secara tidak sengaja.
Mulyadi, anggota DPR dari Fraksi Demokrat (atas - Tribunnews/Ferdinand Waskita), korban pemukulan Mustofa Assegaf, anggota DPR dari Fraksi PPP (bawah - Sumber: Teropong-Senayan/Syamsul Bachiar)
Kejadian lain yang juga tidak lama berselang adalah Hasrul Azwar dari Partai Persatuan Pembangunan yang memorakporandakan meja rapat dalam ruang sidang paripurna DPR, Selasa (28/10/2014). Meja dan segala barang di atasnya bergelimpangan di depan pimpinan Dewan. Pelaku merasa tidak dihargai karena pendapatnya tidak ditanggapi pimpinan sidang.
Hasrul Azwar (MetroTV News/Surya Perkasa) dan saat beraksi memorakporandakan meja rapat (Antara/Ismar Patrizki)
Peristiwa itu menunjukkan bahwa sudah pernah, sedang, dan kemungkinan serupa akan terjadi di kantor para wakil rakyat. Sebagai individu yang berada dalam institusi penting dalam pembangunan negara, apa dampaknya terhadap kebijakan? Lebih dari pelanggaran etik, apa pelanggaran terbesar mereka? Bagaimana pendidikan yang pantas bagi politikus kalap?

Keharusan vs kenyataan

Secara hakiki, politikus adalah individu yang mengemban tugas untuk mewujudkan cita-cita bersama. Sebab, politik adalah cara bagaimana membangun negara untuk mencapai cita-cita warganya. Tugas politikus bisa dilakukan ketika masyarakat telah memberikan hak-haknya agar para politikus mengatur sebaik-baiknya segala sumber daya yang dimiliki negara. Karena itu, di tangan politikuslah terdapat kekuasaan atas kekayaan bangsa yang bisa dimanfaatkan untuk aneka kepentingan.
Idealnya, perilaku politikus adalah bentuk permodelan dari praktik pendidikan  politik kepada warga bangsa. Faktanya, politikus mengidap penyakit sadisme. Implikasinya jelas, kewenangan, peraturan, hingga bentuk-bentuk penguasaan sumber daya akan jatuh pada bentuk-bentuk kekerasan fisik dan non-fisik.
Apabila kekerasan fisik sering terlihat dalam tindak tanduk para wakil rakyat dalam ruang rapat, kekerasan psikis pun dapat dibuktikan dalam komunikasi verbal yang bermaksud untuk merendahkan, mengancam, memfitnah, hingga pernyataan-pernyataan lain yang tidak relevan dengan argumentasi.

Bagian kenikmatan

Kita baru tahu dari Donatien Alphonse Francois Marquis de Sade (1740-1814) yang menunjukkan bahwa rasa sakit fisik merupakan bagian dari kenikmatan. Pelaku sadisme akan merasa senang bisa melihat kekerasan di depan matanya. Sebaliknya, korban sadisme akan merasa puas apabila telah tersakiti.
Dalam ilmu psikologi, pasangan sadisme disebut dengan sado-masokhis. Dalam bidang lain, istilah berani ambil risiko itu berbeda dengan keberanian menyakiti atau disakiti. Manajemen risiko berupaya meminimalisasi kejadian yang menyakitkan pada masa depan sebagai bagian dari strategi berbisnis agar keuntungan semakin besar. Sementara perilaku sadis berusaha memperbesar rasa sakit pihak lain.
Jika direfleksikan terhadap kejadian di Senayan, para politikus cenderung mempraktikkan sado-masokhis terhadap lingkungan sekeliling. Pelaku akan merusak, memukul, dan memorak-porandakan benda-benda di sekitarnya serta memotong pembicaraan ketika perasaannya terganggu. Perasaannya akan kembali nyaman jika sudah melihat lingkungan sekitar berantakan.

Empat pelanggaran

Karena itu, sekurang-kurangnya ada empat pelanggaran yang dilakukan para pelaku kekerasan di Senayan, Pertama, pelanggaran nilai-nilai utama bangsa, yakni toleransi dalam keberagaman. Pelaku sadisme menunjukkan sifat egois. Mereka mengutamakan kepuasan perasaannya dengan cara menghancurkan segala sesuatu di sekitarnya. Politikus perlu menjiwai bukan sekadar ideologi kebangsaan, melainkan sebuah semangat kebersamaan.
Kedua, pelanggaran norma sosial tradisi, yakni sopan santun. Jika mereka tidak memiliki adab kesopanan dalam interaksi antar-individu di lingkungan yang setara, jelas hal itu akan berdampak dalam interaksi sosial di lingkungan yang tidak setara.
Ketiga, pelanggaran kode etik para anggota Dewan. Aturan tertulis sebetulnya penegas dari semua aturan yang tidak tertulis, bahkan aturan itu ada sebelum mereka masuk ke gedung wakil rakyat. Sebagai aturan tertulis, kode etik memang menerakan  sanksi. Akan tetapi, sanksi-sanksi itu cukuplah dianggap sedikit gangguan sehingga masuk dalam wilayah "bukan masalah besar".
Keempat, ada pelanggaran serius yang tidak pernah disadari. Pelanggaran terbesar dari semua pelanggaran sebelumnya adalah hilangnya keteladanan wakil rakyat. Sebab, kepentingan politikus adalah kepentingan rakyat sehingga segenap pikiran, niat, dan tindakan mestilah bermuara pada hajat hidup orang banyak. Dalam sejarah pembangunan  kebangsaan kita, keteladanan merupakan permasalahan serius yang tidak diperhatikan.
Dalam filsafat pendidikan pertama bagi bangsa Indonesia, kita memperoleh penjelasan dari Ki Hadjar Dewantara (1889-1959) yang menerapkan keteladanan (tuladha), kesamaan tekad (karsa), dan dukungan (andayani) bagi pembangunan bangsa. Sebelum kelahiran perundang-undangan tentang pendidikan, Dewantara telah memilihkan pendidikan yang sesuai dalam sistem sosial yang berlaku sepanjang praktik kehidupan bernegara.

Gagal paham

Apa boleh buat, ternyata mereka gagal paham. Pernyataan "tidak sengaja" dari Ketua DPR pada Jumat (10/4/2015) sebagai bentuk perlindungan terhadap perilaku sadis itu justru menunjukkan jelasnya kegagalan secara umum. Sebab, istilah tidak sengaja itu sinonim dengan tidak sadar atau lupa.
Jika dicari dalam kamus, pernyataan itu sama dengan lupa diri atau dapat diganti dengan istilah lain yang lebih tepat, yakni kalap. Kasus demi kasus orang kalap yang terus terjadi menunjukkan kekurangmampuan menerapkan filsafat pertama dari praktik pendidikan politik di republik ini.
SAIFUR ROHMAN
Pengajar Program Doktor Ilmu Pendidikan di Universitas Negeri Jakarta
Kompas, Kamis, 23 April 2015

Monday 6 April 2015

Binatang Mirip "Sesuatu"

Blobfish, Psychrolutes marcidus


Naegleria 2.jpg
Naegleria fowleri, bakteri pemakan otak (National Geographic/DT John dan TB Cole)


'Ular' buta yang tergolong amfibi, Atretochoana eiselti (Sumber: Daily Mail)

Geoduck (baca: guidak), Panopea generosa (Sumber: Fisheries and Oceans Canada)

Gaebul (개불), Urechis unicinctus

Chaetopterus pugaporcinus, disebut juga Cacing Pantat Babi atau Pantat Terbang (Sumber: ScienceBlogs)

Serangga batang, Phobaeticus chani (Sumber: National Geographic)

Tetracis cachaxiata (Sumber: Bug Guide)
(How can I contact Mr Larry Clarfeld of NBNC?)

Ulat kupu-kupu Euthelia aconthea (Sumber: Wohin Auswandern)

Tropidoderus childrenii (Sumber: David Midgley)

Microcentrum rhombifolium (Sumber: Wikipedia)

Phyllium bioculatum (Sumber: Wikipedia)

Aegimia elongata (Sumber: STRI)

spider.jpg
Laba-laba Poltys sp. Dari Yunnan. (Sumber: Kuntner M, Gregoric M, Cheng RC, Li D (2016) Leaf masquerade in an orb web spider. J. Arachnol. 44: 397-400

Naga Laut Berdaun, Phycodurus eques (Sumber: Wikipedia)

Mantis Daun Mati, Deroplatys desiccata (Sumber: Wikipedia)

Kupu-kupu Daun Mati, Kallima inachus (Sumber: Wikipedia)

Ngengat Daun Mati, Achemon sphinx (Sumber: MSUE)

Ceratobatrachus guentheri (Sumber: National Geographic)

Bufo typhonius (Sumber: New York Daily News)

Tokek Ekor Daun, Uroplatus phantasticus (Sumber: Daily Mail)

Ikan Daun Amazon, Monocirrhus polyacanthus (Sumber: Wikipedia)

Ngengat Phalara bucephala (Sumber: 35Photo)

Kepiting Strawberry, Neoliomera pubescens (Sumber: Treehugger)

Cacing Pohon Natal, Spirobranchus giganteus (Sumber: Wikipedia)


Kuda Laut Pigmi, Hippocampus bargibanti



Kuda Laut Pigmi, Hippocampus denise (Sumber: Wikipedia)


Ikan Batu Karang, Synanceia verrucosa (Sumber: Australian Museum)

Sebangsa kepiting, Aulacolambrus hoplonotus (Sumber: guamreeflife.com)



Ikan Buaya, Cymbacephalus beauforti (Sumber: The Telegraph)



Ikan Katak, Antennarius sp (kiri) dan Antennarius striatus(kanan) (Sumber: Wikipedia)
Selain dari wujudnya yang dapat menyamarkan dengan bebatuan atau karang, ikan katak (frogfish) juga memiliki umpan yang menyerupai artropoda atau cacing untuk menarik mangsanya.

Beberapa spesies gurita, seperti Octopus vulgaris(atas) dan Octopus cyanea (bawah), dapat meniru warna, tekstur, dan bentuk untuk menyembunyikan dirinya.


sargassum.jpg

Ikan Sargassum (Histrio histrio)

Beberapa serangga memiliki bentuk menyerupai semut, di antaranya laba-laba Myrmarachne plataleoides dan jangkrik Macroxiphus sp (Sumber: Wikipedia)

Lalat Eristalis flavipes (atas) meniru rupa bumblebee (bawah) (Sumber: Bug Guide; The Guardian)

Beberapa spesies lalat memiliki bentuk menyerupai lebah, contohnya Sericomyia chrysotoxoides (Credit to Denis Doucet - Bug Guide)

Beberapa serangga memiliki bentuk seperti tawon, di antaranya lalat Physocephala rufipes (Sumber: Wikipedia) dan ngengat Pennisetia marginata (Credit to Tom Murray - Bug Guide)

Kupu Limenitis archippus yang tidak beracun meniru bentuk Kupu-kupu Raja (Danaus plexippus) yang beracun (Sumber: Wikipedia)

Scarlet Kingsnake, Lampropeltis elapsoides, yang tidak beracun menggunakan warna yang mirip dengan ular koral, Micrurus fulvius. Keduanya memiliki habitat yang sama, di tenggara Amerika Serikat. Pemangsa umumnya menghindari pola warna ini untuk menghindari ular koral. (Sumber: Live Science)

Ulat ngengat Hemeroplanes triptolemus (Sumber: Daily Mail)

Kelinci laut Jorunna parva (Credit to: Saan Rina)
Artikel terkait: Lee JJ (23 Juli 2015) Meet the Adorable "Sea Bunny" Taking Over the Internet. National Geographic. Diakses: 27 Juli 2015

Gambar paling atas adalah kotoran burung, sedangkan gambar di bawahnya adalah contoh serangga yang memiliki bentuk seperti itu, berturut-turut laba-laba Celaenia excavata, larva kumbang Octotoma scabripennis, ulat ngengat Eudryas unio, ulat kupu-kupu Papilio lowi, ngengat dewasa Tarache aprica dan katak Theloderma asperum (Sumber: DP Review; Le Monde et Nous; Brisbane Insects and Spiders - credit to Mr Peter Chew; WAZA)

Riwayat revisi
Revisi 10 Apr 2015: Penambahan Christmas Tree Worms dan Tetracis cachexiata
Revisi 11 Apr 2015: Penambahan Leafy Seadragon dan Rear-spined Elbow Crab
Revisi 13 Apr 2015: Penambahan Amazon Leaffish
Revisi 25 Apr 2015: Penambahan Penis-fish (Urechis unicinctus)
Revisi 27 Juli 2015: Penambahan See Bunny (Jorunna parva)
Revisi 22 Feb 2016: Penambahan Sargassum Fish (Histrio histrio)
Revisi 17 Nov 2016: Penambahan laba-laba Poltys sp.