Sunday 22 February 2015

“Indonesia Raya” di Pentas Wayang Potehi

Tiga sosok wayang potehi itu mengerek bendera Merah Putih. Seiring dengan itu, mengalunlah lagu kebangsaan “Indonesia Raya” dari seluruh penonton. Itulah pembuka pentas Wayang Potehi Gagrak Baru di Gedung Cak Durasim, Surabaya, Jawa Timur, Jumat (20/2).
Pengibaran bendera Merah Putih sebelum pementasan Wayang Potehi Gagrak Baru yang mengangkat cerita Angkara Siluman Ketabang di Gedung Cak Durasim,  Taman Budaya Jawa Timur, Surabaya, Jumat (20/2).
Pengibaran bendera Merah Putih sebelum pementasan Wayang Potehi Gagrak Baru yang mengangkat cerita Angkara Siluman Ketabang di Gedung Cak Durasim, Taman Budaya Jawa Timur, Surabaya, Jumat (20/2). (Kompas/Bahana Patria Gupta)
Wayang potehi menjadi medium pergaulan antarwarga dengan berbagai latar belakang. Potehi merekatkan elemen-elemen budaya, membentuk sosok barunya di negeri yang dihuni rakyat beragam etnis.
Wayang Potehi Gagrak Baru atau gaya baru dengan sutradara Hirman Kuardhani atau Dhani mengangkat cerita Angkara Siluman Kelabang. Pentas itu dibawakan oleh Komunitas Senjoyo Budhoyo dengan dukungan dari Yensen Project. Potehi diiringi gamelan Jawa dan instrumen musik Tiongkok. Lagu-lagu pengiring pertunjukan kebanyakan merupakan tembang Jawa, misalnya “Walang Kekek” dan “Jangkring Genggong” yang dipopulerkan oleh penyanyi Waldjinah.
Disebut Gagrak Baru karena ada elemen pertunjukan yang berbeda dengan wayang potehi yang ada sebelumnya. “Dalam pertunjukan ini saya coba mengakulturasikan wayang potehi dengan budaya Jawa,” kata Dhani.
Selain menjadi media pembelajaran tentang keberagaman budaya Indonesia, wayang potehi tersebut juga berupaya mencari bentuk baru dari wayang potehi agar bisa menjadi seni pertunjukan yang bisa diterima masyarakat luas, khususnya generasi muda.
Wayang potehi merupakan pentas teater boneka asal Tiongkok yang dulu dimainkan oleh orang-orang Tionghoa di Jawa. Wayang berwujud boneka tangan. Dalang menggerakkan karakter wayang dengan memasukkan jari-jari tangan ke dalam boneka. Pertunjukan biasanya mengambil cerita rakyat atau legenda yang berasal dari Tiongkok dengan iringan alat musik dari Tiongkok, seperti erhu, simbal, dan tambur.
Sebagian besar pendukung pentas tersebut, termasuk Dhani, bukan keturunan Tionghoa. “Kebanyakan yang terlibat dalam pentas ini adalah mahasiswa atau lulusan ISI (Institut Seni Indonesia) Yogyakarta,” kata Dhani yang mengajar di Jurusan Teater ISI Yogyakarta.
Sejak lama, tutur Dhani, wayang potehi sudah mengandung unsur-unsur akulturasi budaya Jawa dan Tionghoa. Hal itu, antara lain, ditandai dengan munculnya parikan atau peribahasa Jawa dalam sejumlah pentas wayang potehi. Beberapa sehu atau dalang wayang potehi, termasuk almarhum Thio Tiong Gie, kadang juga menyanyikan lagu-lagu Jawa yang diterjemahkan ke bahasa Hokkian saat pentas.
Menyadari adanya bibit-bibit akulturasi tersebut, Dhani lalu mengembangkan ide untuk mempertegas pembauran budaya Jawa dalam wayang potehi. Selain menyisipkan kultur Jawa dalam pentas Angkara Siluman Kelabang, Dhani juga menggunakan tiga dalang agar jumlah wayang yang ditampilkan dalam satu adegan bisa lebih banyak. Para dalang dalam pentas tersebut juga hanya bertugas menjalankan wayang, sementara suara para tokoh diisi orang lain.
Potehi Indonesia
Jauh sebelum wayang potehi Gagrak Baru muncul, warga di Gudo, Jombang, Jawa Timur, telah akrab dengan kesenian wayang potehi. Kita tengok Kelenteng Hong San Kiong di Gudo, Jombang. Jumat malam, halaman depan kelenteng memerah oleh cahaya lampion dan tiang-tiang kelenteng. Gerbangnya yang tidak berpintu membuat siapa saja bebas keluar-masuk.
Warga Kecamatan Gudo, Jombang, Jawa Timur, yang tumbuh dan besar dalam kebudayaan santri, menjadi dalang, cantrik dalang, dan perajin wayang potehi di Kelenteng Hong San Kiong. Wayang potehi tidak hanya menjadi pertunjukan, tetapi juga tempat hidup dan  ruang persapaan jemaat kelenteng dan warga sekitar.
Warga Kecamatan Gudo, Jombang, Jawa Timur, yang tumbuh dan besar dalam kebudayaan santri, menjadi dalang, cantrik dalang, dan perajin wayang potehi di Kelenteng Hong San Kiong. Wayang potehi tidak hanya menjadi pertunjukan, tetapi juga tempat hidup dan ruang persapaan jemaat kelenteng dan warga sekitar. (Kompas/Aryo Wisanggeni Genthong)
Di belakang bangunan utama, sebuah bangunan tak berdinding menjadi pusat keramaian malam itu. Orang-orang bersenda gurau, bertukar cakapan, menggarap puluhan karakter wayang potehi yang masih setengah jadi.
“Setiap malam, ya, begini. Kami, warga Gudo yang bukan jemaat kelenteng, berkumpul sambil menggarap wayang-wayang potehi ini,” kata Widodo Santoso (43), dalang potehi yang tengah menggosok halus kepala wayang potehi berbahan kayu.
Sebuah meja sepanjang 5 meteran yang dikepung para perajin penuh denga kepala-kepala karakter wayang potehi berbahan kayu, aneka cat, kertas ampelas, dan camilan. Di sana, Agustinus Leo (25), seorang ji jiu alias cantrik dalang wayang potehi, asal Semarang, sibuk mengecat kepala tokoh wayang potehi dengan cat merah dan putih.
Di Kelenteng Hong San Kiong, wayang potehi memang tak sekadar menjadi pertunjukan. Di sana, sejak 14 tahun silam, wayang potehi menjadi pengikat para jemaat kelenteng dengan para  warga Gudo yang tumbuh dalam budaya santri. Wayang potehi menjadi ruang persapaan yang cair dan menyatukan.
“Bagaimana tidak membaur, semua perajin wayang potehi ini Muslim, setiap malam menggarap wayang di kelenteng. Semua orang, entah warga atau jemaat, keluar-masuk kelenteng dengan bebas. Kalau Ramadhan tiba, kami malah biasa bersantap sahur bersama di kelenteng,” ujar Widodo.
Toni Harsoni (45) ada di balik segala urusan wayang potehi di Kelenteng Hong San Kiong itu. Ia cucu Tok Su Kwie, dalang potehi kelenteng itu, dan anak Tok Hong Kie yang juga dalang potehi Kelenteng Hong San Kiong.
“Mendiang ayah saya guru dalang wayang potehi, tetapi menolak mengajari saya. Kata ayah saya, ‘Jadi dalang itu seperti wayang. Kalau pentas, gagah gemerlapan. Begitu selesai pentas, masuk kotak dan ditaruh begitu saja. Namun, saya mencintai potehi, mencoba melestarikan potehi dengan membuat sebanyak mungkin wayang potehi, saya pinjamkan ke mana-mana, gratis,” kata Toni.
Hasrat itulah asal-usul “pabrik” wayang potehi di Kelenteng Hong San Kiong yang nyaris tanpa henti memproduksi wayang potehi sejak 2001. Para penggarapnya adalah warga sekitar kelenteng dibantu para dalang dan cantrik dalang seperti Widodo dan Leo.
Namun, cerita membuminya Kelenteng Hong San Kiong di kalangan para santri di Gudo, Jombang, punya sejarah lebih panjang lagi. “Tidak ada yang tahu kapan kelenteng ini didirikan. Catatan rapat tertua di kelenteng ini bertahun 1926, menyebutkan rapat-rapat pengurus kelentang yang melibatkan warga dan pemerintah setempat,” kata Toni.
“Di masa represi Orde Baru – ketika perayaan tahun baru penanggalan Imlek, barongsai, dan wayang potehi dilarang penguasa – Kelenteng Hong San Kiong selalu bisa merayakan Imlek dan menggelar pertunjukan wayang potehi. Semua karena kelenteng kami bukan cuma dimiliki jemaat, melainkan juga warga Gudo,” kata Toni.
Sejak 2001, Toni mengenalkan istilah wayang potehi Indonesia yang dipentaskan terlepas dari segala bentuk ritual Khonghucu. Wayang potehi Kelenteng Hong San Kiong pun berkeliling ke mana-mana, termasuk Pondok Pesantren Tebu Ireng pada 2013 dan 2014. Kelenteng Hong San Kiong juga menjadi tuan rumah perayaan hari lahir KH Abdurrahman Wahid yang dihadiri Shinta Nuriyah Wahid dan KL Salahuddin Wahid.
Pada Desember 2014, mereka membuat festival 1.000 rebana bersama para santri di Gudo di depan kelenteng. Sekolah pertama yang mengundang pentas wayang potehi justru Lembaga Pendidikan Islam Al Iman. Kaum santri banyak yang menjadi dalang di kelenteng.
“Kami hadir dalam keseharian kehidupan kaum santri dan mereka pun hadir dalam keseharian hidup Kelenteng Hong San Kiong,” kata Toni.
Potehi hadir di rumah besar budaya negeri bernama Indonesia. (BAH/HRS/ROW)
Selintas sejarah
Pada masa Orde Baru, semua jenis seni Tiongkok sulit tampil di depan publik. Pada 6 Desember 1967, pejabat Presiden RI Soeharto menetapkan Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 14 Tahun 1967 tentang Agama, Kepercayaan, dan Adat Istiadat Cina. Agama, kepercayaan, dan adat-istiadat warga keturunan Tionghoa dilarang tampil di depan umum.
Gwon Se (24), mahasiswa asal Korea Selatan, bersama  dua mahasiswi Program Studi Sastra Jawa pada Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia,  Rahma Setyawati (20) dan Meilia Afkarina (20), menjadi dalang wayang potehi dengan lakon Gwon Se (24), mahasiswa asal Korea Selatan, bersama dua mahasiswi Program Studi Sastra Jawa pada Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, Rahma Setyawati (20) dan Meilia Afkarina (20), menjadi dalang wayang potehi dengan lakon "Sie Jin Kwie Lahir" di pinggir Danau Kenanga di area Perpustakaan Pusat Universitas Indonesia pada Hari Kesaktian Pancasila, Kamis (1/10/2015). (Kompas/Nawa Tunggal)
Wayang potehi pun seperti masuk kotak karena hanya dimainkan di kalangan terbatas. Padahal, sebenarnya seni ini adalah hasil akulturasi dalam Tionghoa peranakan di Jawa.
Seni ini berasal dari Tiongkok bagian selatan. Dalam lafal Hokkian, kata “potehi” hasil gabungan dari “poo” (kain), “tay” (kantong), dan “hie” (boneka). Pentasnya berupa boneka yang dimainkan dengan tangan yang ditutupi kantong.
Pada mulanya, wayang ini dimainkan lima narapidana mati pada masa Dinasti Tang (618-907 Masehi). Mereka memainkan potehi untuk mengisi waktu dengan diiringi musik dari alat makan dan masak. Anehnya, seni ini menarik raja sehingga kelima narapidana itu dibebaskan.
Kesenian itu lantas berkembang hingga masuk Jawa sejak abad ke-17. Dwi Woro, dalam bukunya Wayang Potehi Gudo (2014), menyebutkan, potehi merupakan bentuk mini Opera Peking dengan ciri yang sama pada tata rias wajahnya. Wayang ini mirip wayang golek di Nusantara. Di Jawa, Potehi berkembang sebagai bagian dari ritual di klenteng untuk ibadah.
Keadaan baru berubah pada tahun 2000 saat Presiden KH Abdurrahman Wahid atau Gus Dur mencabut Inpres No 14/1967. Kegiatan keagamaan, kepercayaan, dan adat istiadat warga keturunan Tionghoa tidak memerlukan izin khusus seperti waktu sebelumnya.
Kompas, Minggu, 22 Februari 2015
Dengan tambahan:

Tunggal N. Kesenian Marjinal: Wayang Potehi dan Pancasila. Kompas, Sabtu, 3 Oktober 2015

Cermin Bening Singkawang

Oleh MOHAMMAD HILMI FAIQ
Etnis Tionghoa di Singkawang, Kalimantan Barat, menjadi bagian dari keluarga besar Nusantara. Kedekatan piring, kelenturan dalam menerima nilai-nilai baru, dan kawin-mawin antaretnis menempatkan Tionghoa sebagai saudara etnis Dayak dan Melayu, dua etnis yang hidup di Kalimantan.
Sejumlah persiapan  dilakukan petugas di Wihara Tri Dharma Bumi Raya, Kota Singkawang, Kalimantan Barat, menyambut perayaan Imlek 2015.
Sejumlah persiapan dilakukan petugas di Wihara Tri Dharma Bumi Raya, Kota Singkawang, Kalimantan Barat, menyambut perayaan Imlek 2015. (Kompas/Emanuel Edi Saputra)
Setelah dua hari dilanda hujan lebat, siang itu Kota Singkawang cerah. Bong Miong Min (34) bermain bersama anak-anaknya, yakni Aliung (11), Ciliung (10), dan A Kim (8). Istrinya, Sabina (32), tengah menyuapi anak bungsu mereka, Sansan (3), di dapur.
Bong adalah keturunan Tionghoa yang dibesarkan Tomik, seorang pemain tatung beretnis Dayak. Bong kini mendalami tatung, sejenis debus, yang merupakan hasil akulturasi budaya Dayak dan Tionghoa. Dalam prosesinya, tatung mirip dengan kamang tariu milik etnis Dayak. ”Saya belajar dari orangtua angkat saya,” kata Bong.
Ia menikahi Sabina, gadis berdarah Dayak kelahiran Kabupaten Landak, Kalimantan Barat. Keduanya dikaruniai empat anak yang beberapa di antaranya selalu ikut dalam penampilan tatung. Hari-hari ini, mereka mempersiapkan diri untuk tampil dalam perayaan Imlek dan Cap Go Meh.
Kota Singkawang yang berpenduduk 194.902 jiwa ini berada sekitar 145 kilometer dari Kota Pontianak, Kalimantan Barat. Banyak warga Singkawang berdarah campuran. Meski secara fisik dan kultur mereka dibesarkan dalam lingkungan Tionghoa, mereka campuran antara Tionghoa dan Dayak atau Tionghoa dan Melayu. ”Nenek buyut saya orang Dayak dan kakek saya Tionghoa, tetapi keluarga kami tak bisa berbahasa Dayak karena besar di lingkungan Tionghoa,” kata Bong Su Khiong (35), warga.
Pertalian darah
Jejak pernikahan antaretnis di Singkawang telah terjadi sejak awal kedatangan etnis Tionghoa. Pada awal abad ke-18, Sultan Sambas Umar Akkamaddin mendatangkan puluhan warga Tionghoa untuk melihat potensi tambang emas di daerah Duri dan Montrado. Sebagaimana dijelaskan Any Rahmayani dalam buku Permukiman Tionghoa di Singkawang (2014), etnis Tionghoa berbondong-bondong datang sebagai pekerja tambang emas.
Nenek moyang etnis Tionghoa di Singkawang diduga berasal dari Kia Ying (pedalaman Guangdong), Tingzhou, dan Loeng Yen. Hal ini dilihat dari bahasa yang mereka gunakan, yakni bahasa Hakka atau Khek (Rahmayani, 2014). Ini yang mendasari etnis Tionghoa di Singkawang disebut China Khek.
Di Tiongkok terdapat larangan bagi perempuan untuk bepergian jauh, apalagi menjadi imigran. Akhirnya banyak pria imigran Tionghoa menikah dengan gadis Dayak. Belakangan, ada juga yang menikah dengan gadis Melayu atau sebaliknya. Namun, warga Tionghoa lebih dekat dengan Dayak, baik karena irisan agama maupun kuliner. ”Kami sama-sama makan babi. Kalau orang Melayu, kan, dilarang,” kata Sabina.
Walaupun ada batasan yang tegas karena perbedaan agama, sekat itu luntur dalam relasi sosial. Mereka tak mempersoalkan, bahkan kerap lupa bahwa rekan atau tetangganya berbeda etnis. Seperti terlihat di Pasar Beringin atau Turi yang diramaikan oleh pedagang Tionghoa, Melayu, dan Dayak. Begitu pula di sekolah-sekolah, para siswa dari berbagai etnis menyatu.
Di SMK Pertiwi, misalnya, mayoritas siswanya beretnis Tionghoa, tetapi mayoritas gurunya beretnis Melayu. Di luar kelas, mereka biasa bercanda atau berbincang dalam bahasa Indonesia. Siang itu, kami menyaksikan Asmayanti, yang beretnis Melayu, mengajar 40 siswa Tionghoa. Dia sesekali melontarkan guyonan-guyonan dan tampak akrab.
466eb7ff087c45aea20af31751319083.jpg
Proses belajar- mengajar di Sekolah Menengah Kejuruan Pratiwi di Kota Singkawang, Kalimantan Barat. (Kompas/Lucky Pransiska)
Nama antaretnis
Mereka lebur dalam konsep ”kita” sehingga tidak ada liyan atau the others dalam jalinan sosial itu. Pemilik warung padang, Posin (46), menceritakan, dia berdarah murni Melayu. Kakeknya adalah seorang tabib yang berkawan baik dengan seorang Tionghoa. Mereka kerap jalan-jalan bersama. Saat sahabatnya sakit, kakek Posin mengobatinya. ”Kakek saya terkesan dengan kebaikan orang Tionghoa itu sehingga memberi nama saya Posin. Posin itu nama sahabat kakek saya, he-he-he,” ujarnya.
Ini juga terjadi pada Thomas Sungkar (33), Direktur Operasional Radio Mustika FM Singkawang. Dia berdarah Tionghoa. Ketika lahir, ayahnya, yang tidak dapat berbahasa Indonesia, kesulitan memberinya nama. Dia lantas mendatangi Kepala Kampung Turi, Dusun Durian, Kecamatan Sambas, Kabupaten Sambas. Kepala kampung lalu memberinya nama Thomas Sungkar.
3b8fc509f7614cbe80370e2037d6c5c3.jpg
Remaja putri di Kota Singkawang, Kalimantan Barat, mementaskan tarian Tionghoa berjudul Hetang Yue Seu pada acara pembukaan ruang serbaguna sekolah bahasa Mandarin. (Kompas/Lucky Pransiska)
Di kalangan anak muda terkenal produk budaya tari tiga etnis. Tari ini biasa dimainkan oleh muda-mudi Tionghoa, Dayak, dan Melayu. ”Gerakan dan kostumnya menyimbolkan persatuan antaretnis,” kata Yoris (26), pekerja seni yang aktif di sanggar tari.
Tampaknya akulturasi tari itu babak lanjutan dari akulturasi fase awal sebagaimana yang dijelaskan oleh Mely G Tan dalam Golongan Etnis Tionghoa di Indonesia (1979). Dia menjelaskan, irama hidup etnis Tionghoa di Kalimantan Barat, termasuk Singkawang, sangat Indonesia. Bahkan, mereka mengganti alat-alat pertanian dari yang semula sangat Hakka (daerah asal mereka) menjadi sangat Indonesia, seperti tongkat penggali Dayak dan pisau penunai Melayu.
Etnis Tionghoa di sana sepenuh hati mengakui Indonesia sebagai Tanah Air. Nama Kota Singkawang diambil dari bahasa Khek, San Kew Jong, yang berarti kota di kaki gunung dekat muara dan laut. Etnis Tionghoa merasa memiliki Tanah Air ini sehingga di masa pra-kemerdekaan mereka turut berjuang. Beberapa di antara mereka menjadi pahlawan dan namanya terukir sebagai nama jalan di Singkawang.
”Kami ini di sana (Tiongkok) sudah tidak tahu asal-usul kami. Karena lahir dan besar di sini. Kami ini Indonesia,” kata Lie Li Fat (69), salah satu tetua etnis Tionghoa Singkawang.
Keterbukaan dan kelenturan etnis Tionghoa menyerap nilai-nilai lokal membuat mereka diterima sebagai saudara sendiri. Ini yang kemudian menjadi pilar penting dalam menjaga keutuhan sosial.
Tatkala suhu politik memanas diikuti dengan mencuatnya sentimen etnis, seperti menjelang pilkada, Singkawang selalu aman. Tak pernah ada konflik terbuka.
Bong Su Kiong merasakan setiap menjelang pemilihan kepala daerah ada kecenderungan warga Singkawang memilih calon berdasarkan etnisnya. Ini kemudian memunculkan gesekan-gesekan kecil. ”Wajar ada provokasi-provokasi. Namun, sebagian besar warga lebih melihat kemampuan calon, bukan etnisnya,” kata pria yang aktif di beberapa lembaga sosial ini.
Ibarat karet, kelenturan dan kohesi antaretnis di Singkawang begitu kuat. Singkawang adalah cermin bening persaudaraan.

Kompas, Minggu, 22 Februari 2015

Saturday 14 February 2015

Apa Guna Umbai Cacing (Apendiks)

Umbai cacing atau apendiks seringkali disalahartikan sebagai usus buntu. Keduanya jelas berbeda. Memang lokasi umbai cacing menempel di usus buntu, tetapi saat operasi usus buntu sebenarnya yang dibuang adalah umbai cacing.
Kok dibuang? Memangnya tidak ada gunanya? Selama ini memang diduga seperti itu, useless, dan cuma bikin penyakit. Tetapi dari segi imunologi ternyata appendix vermiformis ini merupakan rumah hunian yang aman buat bakteri yang penting untuk kesehatan pencernaan. Jadi, selama terjadi serangan penyakit seperti disentri amuba yang bisa menyebabkan kematian massal bakteri baik, apendiks ini merupakan bunker yang aman bagi mereka yang selamat dari pembantaian. Selanjutnya, bakteri ini bisa berkembang biak dan mengembalikan kondisi perut yang berantakan pasca perang mikroba.
Pemotongan atau apendisektomi ini memang sepertinya sudah menjadi prosedur tetap ditempuh sejak pertama kali dilaporkan McBurney pada 1889. Sudah jadi pendapat umum sejak abad 19 itu bahwa tanpa pembedahan penyakit akan semakin parah, bahkan jadi kebocoran yang malah bikin bahaya lebih lanjut.
Namun, apakah setiap kali organ ini sakit, yang sering disebut dengan istilah medis apendisitis, harus selalu dibuang? Ternyata tidak. Antibiotik disebutkan efektif dan aman sebagai langkah awal pengobatan pasien penderita apendisitis akut tanpa komplikasi.
Pustaka
Koerth-Baker M (30 Juli 2009) Vestigial Organs Not So Useless After All, Study Find. National Geographic: http://news.nationalgeographic.com/news/2009/07/09030-spleen-vestigial-organs.html
Varadhan KK, Neal KR, Lobo DN (2012) Safety and efficacy of antibiotics compared with appendicectomy for treatment of uncomplicated acute appendicitis: meta-analysis of randomised controlled trials. BMJ 344:e2156 doi: 10.1136/bmj.e2156

Invictus


Out of the night that covers me,
Black as the pit from pole to pole,
I thank whatever gods may be
For my unconquerable soul.

In the fell clutch of circumstance
I have not winced nor cried aloud.
Under the bludgeonings of chance
My head is bloody, but unbowed.

Beyond this place of wrath and tears
Looms but the Horror of the shade,
And yet the menace of the years
Finds and shall find me unafraid.

It matters not how strait the gate,
How charged with punishments the scroll,
I am the master of my fate,
I am the captain of my soul.

William Ernest Henley (1849-1903)

Kediri, Negeri Seribu Cagar Budaya

Oleh: RUNIK SRI ASTUTI dan DEFRI WERDIONO
Yudi (72), penjaga situs Semen di Kecamatan Pagu, Kabupaten Kediri, Jawa Timur, membersihkan debu yang menempel di arca Garuda Wisnu Kencana, Rabu (11/2). Situs pemandian raja dari Kerajaan Kediri yang ditemukan tahun 1999 itu menjadi salah satu tujuan wisata minat khusus. (Kompas/Runik Dwi Astuti)
Dio (10), pelajar kelas IV sebuah sekolah dasar; terpaku memandang arca Garuda Wisnu Kencana di tebing sungai di tengah hamparan tanaman cabai dan tebu di Desa Semen, Kecamatan Pagu, Kabupaten Kediri, Jawa Timur, Rabu (11/2). Kepalanya menggeleng dan mulutnya menggumam.
Sesaat kemudian dia berlari menghampiri bundanya yang berdiri hanya sepelemparan batu dari arca. “ Bunda, itu benda apa namanya dan kenapa ada di tempat seperti ini,” ujar Dio polos.
Dwi Wahyuni (34), bunda Dio, mengatakan, batu berpahat menyerupai bentuk manusia itu disebut arca. Benda itu merupakan bukti otentik peradaban masa lalu, tepatnya di era kerajaaan. Dan karena arca ini ditemukan petani di tepi sungai, benda itu kemudian diletakkan tak jauh dari lokasi penemuan.
Selain arca Garuda Wisnu Kencana, di tempat yang kini dikenal sebagai situs Semen itu ditemukan benda purbakala lain, seperti lingga yoni dan dua patung jwaladara, yakni tempat air mancur pada pemandian raja. Selain itu, ditemukan saluran air dan gapura serta puluhan fragmen benda cagar budaya yang berasal dari Kerajaan Kediri (1045-1222 Masehi).
Kerajaan Kediri
Februari tahun lalu, Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) Jatim di Trowulan, Mojokerto, melakukan ekskavasi awal struktur bangunan batu bata. Struktur bangunan ini diduga kuat merupakan peninggalan Kerajaan Kediri. Analisis itu diperkuat keberadaan arca Garuda Wisnu Kencana dan jwaladara karena kerajaan yang pusat pemerintahannya ada di Dhaha ini merupakan pemuja Wisnu.
Situs Semen, yang berlokasi 1,5 kilometer dari petilasan Prabu Jayabaya, raja Kediri yang termasyhur dengan ramalan Jangka Jayabaya, itu memiliki luas sekitar 6 hektar. Lokasi masih berupa area persawahan yang di dalamnya bertebaran batu bata kuno yang diletakkan begitu saja. Batu bata ini akan terungkap jelas jika petani baru saja selesai membajak sawah. Tahun 1970-an dan 1980-an, batu bata kuno ini banyak berpindah tempat karena warga menggunakannya untuk menguruk pekarangan.
Akhir November-awal Desember lalu, BPCB melakukan ekskavasi situs berupa bangunan altar di Tunglur, Desa Sumberjo, Kecamatan Badas. Meski belum bisa dipastikan asal dinastinya, situs berwujud altar batu itu diperkirakan dibangun pada masa Kerajaan Kediri.
Di luar situs Tunglur dan Semen, ada arca Totok Kerot yang berada di Desa Sumberejo, Kecamatan Ngasem, tidak jauh dari monument Simpang Lima Gumul, ikon Kediri masa kini. Arca setinggi 3 meter itu,menurut arkeolog, merupakan sosok Dwarapala, yakni arca penjaga pintu gerbang kerajaan Dahanapura (1222 M).
Selain itu, Kediri memiliki Candi Surowono di Kecamatan Pare, Candi Tegowangi di Plemahan yang dibangun pada masa Majapahit, situs Prambata di Pagu, dan situs Sukorejo atau lebih dikenal masyarakat sebagai legenda makam Calon Arang.
Sejarawan menyebut wilayah Kediri di Jawa Timur menjadi saksi tiga zaman, yakni masa kejayaan Kerajaan Kediri, Singasari, dan Majapahit. Tidak mengherankan jika kabupaten yang dibelah Sungai Brantas dan berada di lereng sisi timur (seharusnya: barat) Gunung Kelud itu memiliki ribuan benda cagar budaya yang tersebar hampir di seluruh wilayah.
Arkeolog dari BPCB Trowulan, Nugroho Lukito, mengatakan, Kediri memang kaya akan situs masa lalu. Tetapi semua belum terungkap. “Kalau semua terungkap, pasti sangat banyak. Situs terbanyak berasal dari masa Kediri dan Majapahit. Sebagian kecil di sisi selatan Kelud yang mungkin berasal dari Singasari,” ucapnya.
Bergeser ke timur di lereng Kelud, situs-situs masa lalu juga tersebar di sejumlah lokasi. Arca berukuran kecil ataupun bejana atau bak batu (media petirtaan) bisa ditemukan di pekarangan warga ataupun perkebunan.
Di area PT Perkebunan Nusantara XII Rangkahpawon, Kecamatan Plosoklaten, terdapat setidaknya dua bak petirtaan, salah satunya berhuruf Jawa kwadrat yang diperkirakan dari zaman Kediri. Ada juga arca Siwa yang diperkirakan berasal dari zaman Singasari.
Beberapa waktu lalu, arkeolog dari Universitas Negeri Malang, Ismail Lutfi, menyebut wilayah Kelud memiliki banyak bangunan suci. Bangunan itu didirikan lintas masa, yakni Singasari, Kediri, dan Majapahit. Kelud dianggap jadi salah satu gunung suci di Jawa. Nugroho Lukito juga menyebut orang dulu percaya di Kelud bersemayam dewa gunung, Sang Acalapati.
Kumpulkan arca
Tidak jauh dari lereng Kelud, di sisi utara, pemerintah Desa Brumbung, Kecamatan Kepung, dalam beberapa tahun terakhir membuat kebijakan mengumpulkan arca dan benda masa lalu yang ditemukan warga. Benda-benda itu dikumpulkan di sebuah bangunan kecil di sisi kanan pendapa balai desa.
Di tempat ini terdapat, antara lain, 2 prasasti bertuliskan huruf Jawa kuno, yakni Brumbung I peninggalan Kediri dan Brumbung II peninggalan Majapahit; arca dwarapala; dan petirtaan. Dahulu benda temuan masyarakat dijual penemunya, tetapi saat ini benda itu dikumpulkan ke balai desa.
Kepala Bidang Sejarah, Nilai Tradisi, Museum, dan Purbakala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Kediri  Eko Budi Santoso menyebut, terdapat 182 benda cagar budaya yang bergerak ataupun tidak bergerak di wilayahnya yang sudah teregister. BCB bergerak contohnya arca, sedangkan yang tidak bergerak adalah situs.
Namun, benda cagar budaya yang belum teregister jauh lebih banyak dan umumnya berada di dalam bumi Kediri. Contohnya, bata merah kuno, fragmen arca dan fragmen benda lain seperti tempayan.
Demi keamanan dan pelestarian, BCB kerap ditimbun kembali setelah diekskavasi untuk penelitian.
Keberadaan BCB yang jumlahnya ribuan ini menarik minat masyarakat tidak hanya dari Kediri, tetapi juga daerah lain seperti Blitas, Nganjuk, bahkan Surabaya, hingga Solo dan Yogyakarta. Mereka datang ke Kediri dengan beragam tujuan, mulai dari melihat langsung benda peninggalan leluhur hingga melakukan sesuatu yang khusus seperti ritual.
“Kedatangan para tamu inilah yang mendasari Pemkab Kediri mengembangkan situs-situs yang ditemukan itu menjadi wisata minat khusus. Meskipun pengunjungnya belum sebanyak obyek wisata alam Gunung Kelud, setiap tahun jumlahnya cenderung naik,” ujar Eko.
Di kawasan wisata Candi Surowono, misalnya, jumlah pengunjung selama 2014 mencapai 48.913 orang, sedangkan di Candi Tegowangi sebanyak 23.501 orang. Jumlah kunjungan tersebut didasarkan pada pencatatan buku tamu karena sebagian obyek wisata minat khusus ini umumnya tidak beretribusi.

Kompas, Sabtu, 14 Februari 2015

Sunday 8 February 2015

Rekomendasi Waktu Tidur Terbaru

National Sleep Foundation (NSF) merilis pedoman waktu tidur terbaru, yang dipublikasikan dalam jurnal Sleep Health di awal Februari 2015. Secara garis besar kebutuhan tidur yang direkomendasikan tersebut untuk menghindari masalah kesehatan, kinerja, dan keamanan adalah sebagai berikut:

  • Newborn (0-3 bulan): rentang tidur dipersempit menjadi 14-17 jam per harinya, sebelumnya 12-18 jam
  • Infants (4-11 bulan): rentang tidur diperlebar menjadi 12-15 jam, sebelumnya 14-15 jam
  • Toddlers (1-2 tahun): rentang tidur diperlebar menjadi 11-14 jam, sebelumnya 12-14 jam
  • Pra-sekolah (3-5 tahun): rentang tidur diperlebar menjadi 10-13 jam, sebelumnya 11-13 jam
  • Anak usia sekolah (6-13): rentang tidur diperlebar menjadi 9-11 jam, sebelumnya 10-11 jam
  • Remaja (14-17): rentang tidur diperlebar menjadi 8-10 jam, sebelumnya 8,5-9,5 jam
  • Dewasa muda (18-25): rentang tidur 7-9 jam (kategori usia baru)
  • Dewasa (26-64): rentang tidur tidak berubah, tetap 7-9 jam
  • Dewasa tua (65+): rentang tidur 7-8 jam (kategori usia baru)
Panel menegaskan bawa beberapa individu dapat tidur lebih lama atau lebih pendek dari yang direkomendasikan, tanpa mengalami masalah atau efek buruk.
Beberapa orang dapat mengalami durasi waktu di luar rentang tersebut akibat keharusan dalam mengurangi tidur, seperti pekerjaan yang harus dilakukan pada malam hari, atau adanya masalah kesehatan serius yang menuntut untuk lebih banyak istirahat. Namun perlu diperhatikan, bahwa kurangnya waktu tidur dalam jangka yang lama dapat berpengaruh pada kesehatan fisik dan jiwa orang tersebut.
Pustaka
Dugaan A (2 Februari 2015) Expert Panel Recommends New Sleep Time. National Sleep Foundation: http://sleepfoundation.org/media-center/press-release/expert-panel-recommends-new-sleep-times Diakses: 9 Februari 2015
Hirshkowitz M, et al, National Sleep Foundation’s sleep time duration recommendations: methodology and results summary, Sleep Health (2015), http://dx.doi.org/10.1016/j.sleh.2014.12.010

Masih Banyak Polisi yang Menumbuhkan Harapan

Sesaat sebelum menetapkan Komisaris Jenderal Budi Gunawan sebagai tersangka, pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi mengumpulkan para penyidiknya. Melihat besarnya kasus yang harus ditangani, KPK membentuk tiga satuan tugas untuk mengusut kasus dugaan korupsi dengan tersangka calon Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia ini.
Pimpinan KPK sengaja mengumpulkan para penyidiknya yang tergabung dalam tiga satuan tugas ini secara khusus karena sebagian di antara mereka yang kebagian tugas adalah penyidik Polri yang sedang ditugaskan di KPK.
Ada tiga kategori penyidik di KPK sekarang ini. Pertama, penyidik Polri yang ditugaskan di KPK dengan masa tugas tertentu. Kedua, para penyidik yang dulunya polisi yang ditugaskan di KPK lalu memilih mundur dari polisi dan menjadi pegawai tetap di KPK. Ketiga, penyidik yang direkrut langsung oleh KPK dari berbagai latar belakang, seperti jaksa ataupun professional, dengan bekal pendidikan ilmu hukum, akuntansi, dan forensik.
Kepada penyidik kategori pertama, pimpinan KPK memberikan keleluasaan untuk tidak ikut mengusut kasus dugaan korupsi Budi Gunawan. Pertimbangannya, status mereka tetap sebagai anggota Polri meskipun tengah ditugaskan di KPK. Jika nama mereka masuk sebagai satuan tugas kasus ini, nama-nama mereka tentu akan diketahui dengan mudah.
Pimpinan KPK tau mau para penyidik dari Polri ini berpotensi menghadapi masalah, karena ikut masuk dalam satuan tugas kasus dugaan korupsi dengan tersangka Budi Gunawan. Wakil Ketua KPK Bambang Widjojanto mengungkapkan, penyidik-penyidik yang masih berstatus sebagai anggota Polri tersebut diberikan kebebasan untuk tidak ikut menjadi anggota satuan tugas.
“Kami paham dengan kemungkinan-kemungkinan yang bisa terjadi jika mereka menjadi penyidik di satuan tugas kasus ini. Kami serahkan pilihan sepenuhkan kepada mereka. Bagi kami tak masalah jika kemudian mereka mengundurkan diri setelah ditunjuk sebagai penyidik di satuan tugas kasus ini. Kami sepenuhnya memahami situasinya,” ujar Bambang.
Tetap antusias
Namun, rupanya, yang terjadi sungguh di luar dugaan. Para penyidik yang masih berstatus sebagai anggota Polri ini tetap memilih menjadi anggota satuan tugas kasus dugaan korupsi Budi Gunawan meskipun mereka tahu risiko di kemudian hari bisa jadi tak mudah, termasuk menghadapi ancaman kriminalisasi. Terlebih rekam jejak mereka sebagai anggota Polri tetap tersimpan baik di institusi asal.
Beberapa di antara mereka masih berpangkat perwira menengah. Ada yang berpangkat ajun komisaris polisi. Ada juga yang berpangkat komisaris polisi. Mereka tersebar di tiga satuan tugas kasus ini.
Para polisi ini menerima penugasan dengan ikhlas dan ikut ke dalam satuan tugas kasus dugaan korupsi Budi Gunawan ini. Tak ada sedikit pun keraguan. Kemampuan mereka sebagai penyidik mereka curahkan betul untuk mengusut kasus dugaan korupsi yang dilakukan petingginya di kepolisian itu.
Kepada Kompas, salah satu penyidik KPK menuturkan, mereka dengan legawa menerima tugasnya sebagai penyidik di KPK, yang antara lain harus mengusut kasus dugaan korupsi penegak hukum. Penyidik ini menyadari betul bahwa ancaman selalu ada, mulai dari diskriminalisasi hingga ditarik keluar dari KPK.
Dalam hal ini, penyidik berstatus anggota Polri bisa sewaktu-waktu ditarik kembali ke Polri. “Mau bagaimana lagi, memang tugas di KPK salah satunya, ya, terhadap subyek hukum penegak hukum. Kalau mau aman memang tak usah menangani, tetapi, kan , malah jadi enggak bertugas,” ujar penyidik KPK ini.
Keberanian pada penyidik yang berstatus sebagai anggota Polri untuk ikut terlibat mengusut kasus dugaan korupsi Budi Gunawan ini tentu memunculkan asa. Publik mungkin tak pernah tahu apa motivasi dari keberanian mereka yang tak memedulikan risiko dari pekerjaan yang mereka lakukan.
Akan tetapi, satu yang pasti, rakyat masih percaya, banyak polisi yang tetap menumbuhkan harapan bahwa suatu saat nanti merekalah yang menjadi “sapu bersih” menyapu koruptor di negeri ini (Khaerudin)
Kompas, Minggu, 8 Februari 2015

Monday 2 February 2015

Karakteristik Stabilitas Vitamin dan Interaksinya dalam Produk Kombinasi

Produk vitamin, baik dalam bentuk tunggal maupun kombinasi, sangat mudah ditemui di pasaran dalam berbagai bentuk. Dengan sifat, stabilitas, dan kelarutan yang beragam, sediaan vitamin memberikan kesulitan dan tantangan dalam proses formulasi dan produksinya.