Sunday 20 July 2014

Dunia Belajar dari Kegagalan Traktat Versailles

Oleh SIMON SARAGIH
Perang Dunia I mengubah perekonomian dunia begitu dahsyat walau dengan jalan yang sempat memilukan nurani kemanusiaan.
Pemicu perang adalah kematian Franz Ferdinand, calon pemimpin Kekaisaran Austria-Hongaria, di Sarajevo, Serbia. Kematian Ferdinand membuat Austria-Hongaria, yang dulu menguasai banyak negara, menyerang Serbia.
Kekaisaran Rusia tak bisa menerima serangan itu karena ingin melindungi etnis Slavia. Ini menyeret negara-negara di bawah Austria-Hongaria dan musuhnya dalam perang global.
Jerman yang menjadi sekutu Kekaisaran Austria-Hongaria menjadi andalan karena kekuatan terbesar saat itu. Perang Dunia I pun menyeret masuk Amerika Serikat (AS).
PD I berakhir pada 1918 dengan kekalahan Jerman dan disegel lewat perjanjian damai bernama Traktat Versailles. Traktat itu dibahas dan diteken di Versailles, Perancis, oleh Presiden AS Woodrow Wilson, Perdana Menteri (PM) Inggris David Lloyd George, dan PM Perancis Georges Clemenceau pada 1919.
Jerman tak hadir karena tidak diundang, tetapi terpaksa meneken, seperti dituturkan HW Brands, sejarawan Universitas Texas, AS, di situ kanal televisi The History Channel.
Traktat Versailles kemudian melahirkan malapetaka lanjutan. “Faktanya, Traktat Versailles amalah memicu benih Perang Dunia II,” kata Robert J Dalessandro, Direktur US Army Center of Military History. Hal serupa dikatakan sejarawan militer David Silbey.
Apa pasal? Di Traktat Versailles ada 14 poin yang ditekankan Presiden Wilson. Poin ke-9 meminta Jerman membayar ganti rugi ke negara yang rusak karena diserang. Semua pihak menerima saja poin-poin itu, termasuk pelucutan wilayah di bawah kekuasaan Kekaisaran Austria-Hongaria.
George Clemenceau, Woodrow Wilson, dan David Lloyd George pada hari penandatanganan Traktat Versailles
Peringatan Keynes
Namun, dalam salah satu sesi pembahasan Traktat Versailles pada 1919, PM Inggris membawa ekonom muda yang sangat brilian, John Maynard Keynes, dari Universitas Cambridge. Dia adalah ekonom yang wajib diketahui setiap orang yang belajar ekonomi.
Lewat PM Inggris, Keynes mengingatkan Sekutu bahwa traktat itu akan menghancurkan perekonomian Eropa meski perang telah usai.
Keynes mengusulkan rencana agar Sekutu lebih dulu memberi Jerman bantuan pembangunan kembali ekonomi, bukan meminta negara itu membayar biaya rehabilitas perang. Ini agar ekonomi Jerman bangkit dan setelah itu baru diminta membayar denda.
PM Llyoid George setuju dengan usulan Keynes, tetapi Presiden Wilson menolaknya. PM Perancis memengaruhi Presiden Wilson untuk balas dendam kepada Jerman.
Kepada seorang teman, Keynes menulis surat dan menuduh Presiden Wilson sebagai “pemeras terbesar di dunia”. Presiden Wilson punya argumentasi bahwa Kongres AS pasti tak setuju dengan usulan Keynes.
Politik adalah politik, tetapi ekonomi adalah ekonomi. Keynes mengatakan, jika Eropa ingin dibangun kembali, Traktat Versailles harus diubah. Karena usulannya gagal, Keynes menyatakan mundur dari jajaran staf pemerintahan Inggris pada 1919.
John Maynard Keynes
Berdampak buruk
Sekutu tetap melanjutkan sanksi. Bahkan, kawasan pertambangan Ruhr di Jerman diinvasi Perancis dan Belgia karena Jerman tidak mampu bayar denda. Jerman pun ibarat sudah tak mampu lagi membeli sepotong roti akibat ekonomi yang semakin kacau.
Pada akhirnya, perekonomian Inggris terkena dampak buruk. Demikian pula AS. Muncullah Malaise atau depresi terbesar sepanjang masa pada 1929.
Di Jerman, derita rakyat secara ekonomi memunculkan perlawanan terhadap para politisinya yang dinilai telah menggadaikan Jerman lewat Traktat Versailles. Benih nasionalisme ekstrem pun muncul.
Partai Nazi kemudian mencuat dan pamor Adolf Hitler melejit. Meski sempat diredam, rakyat menaruh simpati besar kepada partai itu. Inilah bibit PD II saat Jerman lewat Nazi memobilisasi massa demi perang.
Kekhawatiran Keynes pun menjadi kenyataan. Dalam pandangan Keynes, dunia kala itu sudah saling terkait secara ekonomi. Itu sebabnya kehancuran ekonomi Jerman akan memukul balik ekonomi seluruh dunia.
Jauh sebelum Malaise dan jauh sebelum meletusnya PD II, Keynes menuliskan dampak buruk Traktat Versailles lewat buku berjudul The Economic Consequences of the Peace yang diterbitkan Desember 1919.
Mengubah strategi
Keynes melihat dendam politik tak berkorelasi positif dengan niat pembangunan kembali Jerman.
Keynes wafat pada 1946. Akan tetapi, teorinya soal pembangunan kembali ekonomi seusai perang akhirnya diterapkan. Seusai PD II, AS dan Sekutu mengubah taktik dan strategi pembangunan ekonomi pasca perang.
Lewat Mashall Plan, AS mengubah arah dan membantu reparasi ekonomi Jerman dan sejumlah negara Eropa lewat bantuan dana pembangunan ekonomi. Marshall Plan mengambil nama Menlu AS saat itu, George Marshall.
Presiden AS Harry Truman mengubah pendekatan yang dilakukan Wilson seusai PD I. Hasilnya adalah booming perekonomian dunia yang melejitkan perekonomian AS, Jerman, Jepang, dan seantero Eropa. Ini juga efektif meredam ekspansi komunisme Uni Soviet.
Dunia belajar dari cara Keynes memandang pola pembangunan kembali ekonomi, yakni bangun dulu perekonomian sehingga semua orang puas, bahagia, dan punya uang untuk membayar utang. Pengaruh tulisan Keynes lewat bukunya itu turut menguatkan opini publik AS soal perubahan strategi rehabilitasi Eropa.
Keynes juga termasuk otak pendirian lembaga dunia Dana Moneter Internasional (IMF) dan Bank Dunia. Intinya, kolaborasi akbar dunia diperlukan dalam pembangunan di segala bidang untuk membangkitkan ekonomi dunia dari kehancuran.
Keynes juga menorehkan keyakinan kuat bagi para perencana pembangunan ekonomi bahwa pemerintah harus tampil sebagai penyelamat ekonomi.  Perang pemerintah itu dilengkapi dengan liberalisasi perdagangan dan meninggalkan mazhab merkantilisme saat negera-negara hanya ingin mengekspor, tetapi menekan impor. Keynes menginginkan kolaborasi dagang di antara negara-negara dengan mengandalkan daya saing dan inovasi.
Warisan pemikiran Keynes ini dipakai di banyak negara dan stimulus dana pemerintah adalah salah satu cara paling efektif membangkitkan perekonomian yang rusak, seperti ditulis Keynes di buku The General Theory of Employment, Interest and Money. Ide seperti ini belum terbayangkan banyak teknokrat saat itu.
Ini adalah juga teori pembangunan ekonomi yang diterapkan di Indonesia pada awal Orde Baru. Indonesia diberikan bantuan dana dan investasi asal AS, Eropa, dan Jepang. Sejak itu ekonomi RI pun melejit terus hingga sekarang.
Terbukti bahwa sebuah negara bisa berkembang dari ketiadaan uang, yakni dengan utang yang dijamin pembayarannya oleh pemerintah.
Hugh Rockoff, ekonom AS dari The National Bureau of Economic Research (NBER), di situs NBER mengatakan, PD I mengubah cara pandang tentang peran pemerintah dalam pembangunan ekonomi.
Uni Soviet mendaulat postulas Keynes ini sebagai penguat dasar pemikiran ekonomi ideologis komunis bahwa pemerintah benar-benar harus tampil sebagai penggerak ekonomi. Bedanya, Keynes tak menginginkan pemandulan peran swasta seperti yang dilakukan komunis.
Dunia telah belajar dari kegagalan Traktat Versailles.
Kompas, Minggu, 20 Juli 2014

Cerita dari "Sono": Lincoln dan Stanton

Oleh TRIAS KUNCAHYONO
Seorang kawan pernah bercerita tentang permusuhan serta persahabatan antara Abraham Lincoln (1809-1865), presiden ke-16 AS (Maret 1861-April 1865), dan Edwin McMasters Stanton (1814-1869), seorang pengacara sekaligus politisi. Lincoln, di mata Stanton, tidak ada yang baik.
Ketika Lincoln menjadi kandidat presiden AS pada 1860, Stanton sangat gencar mengkritiknya. Kritiknya begitu tajam, bahkan cenderung kelewat batas. Segala pendapat, wawasan, sikap, tindak tanduk, bahkan penampilan fisik Lincoln, tak luput dari serangan dan kritik Stanton. Orang-orang pintar menyebutnya sebagai destructive campaign, kampanye yang menghancurkan dengan segala cara.
Dari sisi wajah, Lincoln bisa dikatakan tidak tampan. Wajahnya tirus dengan tulang pipi menonjol, hidung begitu mancung dan besar, serta telinga besar. Semua itu menjadi bahan ledekan Stanton. Namun, ternyata orang yang tak tampan itu tercatat sebagai presiden besar dan hebat dalam sejarah AS. Lincoln-lah yang membuat rumusan bahwa demokrasi itu adalah pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat.
Stanton tidak menduga bahwa orang yang di matanya tidak bermutu itu ternyata begitu hebat. Ketika pada 1860 Staton diangkat menjadi jaksa agung oleh Presiden James Buchanan dari Demokrat (sebenarnya saat itu Buchanan adalah presiden bebek-pincang atau lame duck karena presiden baru sudah terpilih, yakni Lincoln, dan hanya menunggu pelantikannya), ketidaksukaannya terhadap Lincoln menjadi-jadi.
Setelah Lincoln dilantik sebagai presiden, dalam suratnya kepada Buchanan, pada 1861, Stanton menulis, “Kesintingan pemerintah ini memuncak dalam malapetaka dan kemalangan serta aib nasional tak dapat ditebus kembali… sebagai hasil dari pemerintahan Lincoln dalam lima bulan ini.”
Meski demikian, Lincoln tak lama kemudian mengangkat Stanton sebagai penasihat hukum dan kemudian menjadi Menteri Pertahanan pada saat yang sangat penting. Sebab, saat itu, AS dilanda perang saudara. Meski sudah masuk menjadi anggota kabinet, Stanton tetap mengkritik Lincoln.
Suatu hari, Stanton mengatakan kepada seorang anggota Kongres bahwa Lincoln itu “benar-benar bodoh”. Ketika anggota Kongres itu bercerita kepada Lincoln, Lincoln bertanya, “Apa benar Stanton mengatakan saya bodoh?” Jawab anggota Kongres itu, “Ya, Bapak Presiden, bahkan dia tidak hanya sekali mengatakan hal itu.” Dengan enteng Lincoln mengatakan, “Kalau Stanton mengatakan saya benar-benar bodoh, memang demikianlah adanya, karena ia hampir selalu benar, dan biasanya ia mengatakan apa yang ada dalam hatinya.”
Meski dibilang sangat bodoh, Lincoln tetap bisa bekerja baik dengan Stanton yang memang dikenal sebagai pekerja keras. Bahkan, setelah kematian Lincoln karena dibunuh, Stanton menjadi orang paling berkuasa di AS karena kehebatannya. Padahal, dia bukanlah seorang presiden.
Lincoln telah mengubah musuh menjadi sahabat karibnya dan pekerja yang hebat. Padahal, sebelumnya, orang-orang di sekitar Lincoln – yang biasanya omongannya sangat beracun – mengatakan,  Stanton bisa menusuk dari belakang. Namun, Lincoln mengatakan, demi kepentingan negara, Stanton-lah orang yang paling dipercaya dan tepat bekerja dengannya.
Kompas, Minggu, 20 Juli 2014

Titian Dua Peradaban: RM Panji Sosrokartono

Oleh MARIA HARTININGSIH dan AHMAD ARIF
Huruf “alif” terpampang di atas bagian kepala nisan Raden Mas Panji Sosrokartono (1877-1952) di Pasarean Sedo Mukti di Desa Kaliputu, Kecamatan Kota, Kudus, Jawa Tengah. Siang dibalut senyap yang nyenyat.
“Tidak ada pejabat dan politisi datang ke sini,” ujar Sunarto (53), juru kunci ke-10, yang menjaga kompleks pemakaman keluarga itu sejak Januari 1991. “Mungkin gentar membaca ajaran Eyang Sosro,” ujarnya.
Salah satu ajaran penting tersebut adalah Catur Murti atau empat dalam satu, yaitu menyatunya pikiran, perasaan, perkataan, dan perbuatan; untuk dijalani. “Sekarang kan sudah tidak keruan,” kata Sunarto.
Selanjutnya, rajah “alif”, aksara pertama huruf Arab, melambangkan semua yang serba lurus dalam laku hidup. “Sekarang ‘bengkong’-nya banyak,” katanya.
Yang ia maksud “bengkong”, dalam falsafah Jawa dikenal sebagai jalan gelap, mo-limo, madat, madon, minum, main, maling. Semua terkait syahwat manusia.
Maling, berarti mencuri hak orang lain, termasuk korupsi dan manipulasi dalam segala bentuknya. Main, berjudi dalam arti luas, yang taruhannya bisa terkait hajat hidup orang banyak. Minum, menenggak yang memabukkan. Madon, mengejar pemuasan nafsu birahi. Madat, mengisap segala yang membuat ketagihan, termasuk narkoba. Kelimanya saling kait, menghancurkan manusia, dan lambat laut, suatu bangsa.
Tokoh pergerakan
RMP Sosrokartono adalah kakak kandung RA Kartini. Lahir di Mayong, Jepara, 10 April 1877, menurut berbagai sumber, sejak kecil ia sudah terlihat istimewa: cerdas dan bisa membaca masa depan. Ia adalah mahasiswa Indonesia pertama di Belanda, tahun 1898, sebelum datangnya generasi Moh Hatta.
Dari sana ia mengirim buku dan membakar semangat Kartini mewujudkan cita-cita emansipasi. Hubungan keduanya amat dekat. Konon, kematian Kartini sempat membuatnya terguncang.
Sosrokartono lulus summa cumlaude dari Jurusan Bahasa dan Susastra Timur di Leiden. Lelaku tampan yang tidak menikah itu dikenal sebagai Pangeran dari Jawa.
Ia seorang poliglot. Banyak sumber menyebutkan, ia menguasai 26 bahasa asing dengan baik. Namanya tercantum sebagai pendiri Indische Vereeniging di Belanda, 1908, organisasi kaum intelektual Indonesia di Belanda – menjadi Indonesische Vereeniging tahun 1922 dan Perhimpunan Indonesia, 1925 – yang menyoal kemerdekaan Indonesia.
Dama Memoir (1982), Moh Hatta mengaku Sosrokartono sebagai genius. Ia mengisahkan kecerdasan dan keberanian Sosrokartono di hadapan kaum etis Belanda (Mr Abendanon, Van Deventer, dan lain-lain) dalam suatu perjamuan dan menolak tawaran merampungkan disertasi doktoralnya yang diganjal Snouck Hugronye.
Gagal meraih doctor tak menghentikan langkahnya. Dengan kemahirannya berbahasa asing, Sosrokartono menjadi wartawan Indonesia pertama di kancah internasional. Selama 29 tahun di Eropa, ia pernah menjadi wartawan beberapa surat kabar dan majalah, sebelum menjadi perwakilan The New York Herald di Wina.
Ia terlibat dalam upaya menghentikan Perang Dunia I, sebagai penerjemah tunggal perundingan rahasia pihak yang bertikai, di satu gerbong kereta api di hutan Compiègne, Perancis. Beritanya lolos di The New York Time Herald. Penulisnya berkode tiga bintang, konon kode samaran Kartono.
0833269kartonoo780x390.jpg
Ki Sunarto di makam RMP Sosrokartono di Pasarean Sedo Mukti, Desa Kaliputu, Kecamatan Kota, Kabupaten Kudus, Jawa Tengah, pada Kamis (3/7/2014) siang. (Kompas/P Raditya Mahendra Yasa)
Spiritualisme Timur
Setelah Perang Dunia I usai, Kartono sempat menjadi kepala penerjemah di Liga Bangsa-Bangsa di Geneva, cikal bakal PBB. Tahun 1919, ia juga diangkat menjadi Atase Kebudayaan di Kedutaan Besar Perancis di Belanda. Kemampuannya ditengarai seorang ahli kejiwaan dan hipnosis setelah menyembuhkan anak usia 12 tahun hanya dengan menempelkan  tangan di dahi anak itu. Padahal, dokter sudah menyerah.
Sosrokartono lalu meninggalkan Geneva menuju Paris untuk belajar psikometri dan teknik psikiatri, tetapi jurusan itu ternyata hanya untuk lulusan sekolah kedokteran. Ia kecewa dan kembali ke Tanah Air tahun 1926, sempat bergerak di bidang pendidikan, lalu menetap di Bandung, mendirikan perpustakaan Dar-oes-Salam. Di situlah Soekarno sering datang untuk berdiskusi. Ia seperti guru spiritual bagi Soekarno.
Selama itu, ia banyak tirakat. Kemampuannya makin terasah dan kemudian dikenal sebagai penyembuh. Banyak julukannya, di antaranya “dokter cai” karena media penyembuhannya hanya air dan secarik kertas dengan rajah “alif”.
Endangarie Soedarmodjo (60), warga Bandung, masih ingat, waktu kecil, kalau badannya panas, oleh ibunya ia diberi minum air putih yang sudah dicelup kertas putih segi empat bertuliskan huruf “alif”, berwarna merah.
“Biasanya tak lama kemudian saya sudah baik,” kenang Endang. “Ibu menyebut orang yang memberi kertas itu Kakak Alif,” ujar Endang.
Budayawan Radhar Panca Dahana mengatakan, sosok jenial itu ingin menyatukan dua kekuatan peradaban: mistisisme Jawa dan peradaban intelektual Eropa.
“Dua profesornya dari Eropa menjumpai dia sedang menggosok keris dan batu cincin di dapur di satu rumah di Bandung,” ujar Radhar dalam wawancara beberapa waktu lalu.
Dikenal sebagai ahli tasawuf, Sosrokartono perlahan menarik diri dari keramaian. Itu pula yang membuat nama besarnya di Barat dilupakan di Tanah Air.
Ajaran-ajarannya, bahkan nama samarannya, mencerminkan kebersahajaan hidup, di antaranya sugih tanpa banda, ngelmu tanpa aji, ngluruk tanpa bala, menang tanpa ngasorake, terukir di sisi kanan batu nisan. Ia menjalani laku hidup seperti itu: kaya tanpa harta, berilmu tanpa senjata dan aji-aji, ke mana pun sendiri, menang tanpa merendahkan.
“Salah satu nama samaran Eyang adalah Jaka Pring,” lanjut Sunarto. Dalam bahasa Jawa Krama Inggil, pring atau bamboo adalah deling, singkatan kendel (berani) dan eling (sadar). Ilmunya, kantong bolong, artinya tidak menimbun harta.
Menurut Sunarto, kalau para pemimpin ikut ilmu laku Eyang Sosro, berilmu kantong bologn, kendel, dan eling, Indonesia pasti loh jinawi, tidak ada korupsi, tentrem, jenjem
Kompas, Sabtu, 19 Juli 2014

Perjanjian Sykes-Picot: Genesis Tragedi Timur Tengah

Oleh TRIAS KUNCAHYONO
Siapa yang harus bertanggung jawab atas terjadi konflik Palestina dan Israel, serta berbagai macam konflik lainnya, termasuk konflik etnis, di Timur Tengah? Jawabannya: Inggris dan Perancis!
Zaman ketika Perang Dunia I berkobar, Perancis dan Inggris merupakan dua kekuatan besar dunia yang memiliki ambisi besar. Inggris, yang sudah menguasai Terusan Suez, berharap dapat menggunakan terusan itu untuk menggerakkan armadanya ke timur.
Apalagi, pada tahun 1911, tulis John B Judis dalam Genesis, perusahaan minyak Inggris menemukan minyak di Persia. Sejak itu muncul spekulasi, ada minyak di Mesopotamia. Itu sebabnya, Inggris berusaha mencari jalan untuk membawa minyak dari timur ke barat, lewat Palestina.
Sementara itu, lawan utamanya, Jerman, mulai membangun jaringan rel kereta api yang akan menghubungkan Berlin dengan Baghdad dan kota-kota pelabuhan di Teluk Persia.
Pada saat yang hampir bersamaan, hubungan bisnis Perancis dengan kota-kota pelabuhan di Laut Tengah – Beirut, Sidon, dan Tirus – telah tumbuh dan berkembang. Karena itu, perlu sebuah kebijakan untuk mengamankan bisnisnya itu.
Perjanjian Sykes-Picot
Kondisi lapangan seperti itulah yang mendorong Perancis dan Inggris, setelah pecah PD I, merancang sebuah langkah untuk mengamankan kepentingan mereka. Hal itulah yang telah mendorong kedua negara mengadakan pembicaraan rahasia dan akhirnya melahirkan sebuah perjanjian di antara mereka yang disetujui oleh Rusia. Perjanjian yang kemudian disebut Perjanjian Sykes-Picot itu ditandatangani pada 16 Mei 1916. Disebut Sykes-Picot karena ditandatangani oleh Mark Sykes dari Inggris dan George Picot dari Perancis.
Mark Sykes dan George Picot
Kesepakatan itu diambil setelah Perancis dan Inggris melihat Kekhalifahan Utsmaniyah (Ottoman) yang berpusat di Turki mulai goyah. Dalam PD I, Ottoman bergabung dengan Jerman. Ketika itu, Kekhalifahan Utsmaniyah dipimpin Sultan Mehmed V (berkuasa tahun 1908-1918), dan nantinya digantikan oleh Sultan Mehmed VI (1918-1922).
Perjanjian Sykes-Picot, pada garis besarnya, berisi pembagian wilayah Kekhalifahan Utsmaniyah yang tengah memasuki rembang petang. Berdasarkan perjanjian itu, Perancis menguasai Suriah, Lebanon, dan Cilicia. Sementara Inggris mendapatkan wilayah yang sekarang bernama Jordania, sebagian Irak (termasuk Baghdad), serta Pelabuhan Haifa dan Acre.
sykes-picot.gif
Pembagian wilayah berdasarkan Perjanjian Sykes-Picot (www.dw.com)
Sebagian besar Palestina dikontrol bersama oleh kekuatan Sekutu. Lembah Jordan ada di bawah pengaruh Inggris. Jerusalem di bawah administrasi internasional. Rusia mendapatkan sebagian Turki, termasuk Istanbul dan Selat Bosporus.
Ada, paling tidak, tiga kepentingan strategis dari perjanjian ini. Pertama, pembagian Timur Tengah mengabadikan konsep tradisional sistem perimbangan kekuasaan Eropa. Karena, Inggris dan Perancis tetap khawatir munculnya kekuatan lain yang akan menggerogoti wilayah mereka, dan mereka melihat Jerman berpotensi untuk itu.
Kedua, pembentukan negara Arab merupakan balasan atas revolusi Arab melawan Turki. Ketiga, dengan menguasai wilayah antara Terusan Suez dan Teluk Persia, Inggris mengamankan jalur laut ke India.
Isi Perjanjian Sykes-Picot sebenarnya bertentangan dengan perjanjian yang ditandatangani Inggris dengan penguasa Mekkah. Perjanjian ini disebut McMahon-Hussein 1915. Perjanjian ini merupakan hasil korespondensi antara komisioner tinggi Inggris di Mesir, Sir Henry McMahon, dan Sharif Hussein bin Ali di Mekkah.
Menurut perjanjian itu, Inggris berjanji setelah PD I selesai akan menyerahkan wilayah yang sebelumnya dikuasai Utsmaniyah, kepada orang-orang Arab yang tinggal di wilayah itu. Inggris mendukung kemerdekaan negara-negara Arab di wilayah, termasuk di Semenanjung Arab (kecuali Aden), dan seluruh Irak, Palestina, Transjordan, dan Suriah hingga Turki di bagian utara serta Persia bagian timur. Hussein juga akan meminta Inggris mendukung restorasi kekhalifahan.
Namun, Inggris dan Perancis ketika menandatangani Perjanjian Sykes-Picot, sepertinya menutup mata terhadap Perjanjian McMahon-Hussein. Persoalannya menjadi lebih rumit lagi setelah Inggris mendukung bahkan menjadi sponsor utama lahirnya Deklarasi Balfour (1917), yang isinya mendukung orang-orang Yahudi untuk mendapatkan “national home” di Palestina. Tentu saja isi Deklarasi Balfour itu bertentangan dengan Perjanjian McMahon-Hussein.
Hussein, paling tidak, mengartikan bahwa berdasarkan Perjanjian McMahon-Hussein, Palestina akan diberikan kepada orang-orang Palestina setelah perang usai. Namun, dengan munculnya Deklarasi Balfour, ceritanya menjadi lain.
Krisis Timur Tengah
Inilah perjanjian yang menggambarkan arogansi kekuasaan besar pada masa itu. Kekuatan Eropa mencampuri Timur Tengah dan, yang lebih penting lagi, mengabaikan garis-garis tradisional yang memisahkan agama dan etnik di kawasan itu.
Perjanjian Sykes-Picot disusun dan ditandatangani tanpa pernah dikonsultasikan atau sekurang-kurangnya dibicarakan dengan para pemimpin politik atau pemuka suku penduduk di Timur Tengah pada masa itu. Sykes dan Picot dengan pensil di tangan menarik garis di atas peta Timur Tengah dan membagi-bagi wilayah tersebut tanpa banyak pertimbangan.
Akibat dari perjanjian yang saling bertentangan itu – McMahon-Hussein, Sykes-Picot, dan Deklarasi Balfour – dirasakan dunia Arab hingga saat ini, termasuk konflik etnis yang pecah di Suriah, juga di Irak dan Lebanon. Memang, Inggris telah mendudukkan dua putra dari sekutu Arab-nya untuk menjadi penguasa di Jordania dan Irak.
Namun, mereka, termasuk wilayah yang dikuasai Perancis – Suriah dan Lebanon – tak memperoleh kemerdekaan penuh sampai setelah Perang Dunia II berakhir.
Yang merasa sangat dikhianati Inggris adalah Palestina. Alasannya, Inggris tak memenuhi janjinya untuk menyerahkan wilayah Palestina kepada mereka. Yang terjadi justru sebaliknya, memberikan jalan kepada orang-orang Yahudi untuk mendirikan negara Israel di Tanah Palestina.
Padahal, dalam Perjanjian Sykes-Picot, Jerusalem secara jelas disebutkan ada di bawah “administrasi internasional” dan akan diserahkan kepada Palestina. Namun, ini tak pernah direalisasikan oleh Inggris.
Pembagian garis batas wilayah yang dicoretkan Inggris dan Perancis telah menimbulkan konflik berkepanjangan melintasi tidak hanya dekade, tetapi juga bahkan abad. Masalah di Palestina terus berkepanjangan hingga kini.
Sementara itu, kini muncul struktur politik baru di beberapa negara Timur Tengah berdasarkan garis etnik atau sektarian, seperti yang terjadi di Suriah dan Irak.
Irak, setelah Saddam Hussein timbang, seperti terpecah menjadi tiga wilayah besar berdasarkan garis sektarian: Syiah di selatan hingga sebagian tengah, Sunni sebagian tengah, dan Kurdi di wilayah utara.
Suriah, demikian pula, tercabik-cabik perang saudara berbau sectarian. Lebanon tak terkecuali meski sedikit banyak bisa mengendalikan.
Perkembangan terakhir di Irak utara mempertegas hal itu, yakni dengan muncul kelompok yang menamakan dirinya Negara Islam Irak Suriah (NIIS). Keputusan NIIS hari Minggu, 29 Juni 2014, yang memproklamasikan kekhalifahan baru di sebagian wilayah Irak dan Suriah, telah memunculkan persoalan baru serta membahayakan bagi Suriah dan Irak.
Hari itu, Abu Bakr al-Baghdadi memproklamasikan dirinya sebagai Khalifah Ibrahim yang wilayah kekuasaannya membentang dari Allepo (Suriah) hingga Provinsi Diyala (Irak). Diyala adalah provinsi di sebelah timur laut Baghdad dan dekat dengan perbatasan Iran.
Aleppo, sebuah kota di Suriah bagian barat laut, merupakan kota terbesar kedua di Suriah. Pada zaman Kekhalifahan Utsmaniyah yang berpusat di Turki, Allepo merupakah kota terbesar ketiga setelah Konstantinopel (Istanbul) dan Kairo.
Dengan munculnya “kekhalifahan” baru ini, garis-garis batas yang pernah diputuskan secara rahasia dan sepihak oleh Inggris dan Perancis (baru terungkap ke media setelah pecah Revolusi Bolshevik di Rusia tahun 1917) seolah hilang.
Garis-garis perbatasan itu dihapus oleh NIIS. Namun, pertanyaannya, apakah Suriah dan Irak akan menerima? Lahirnya NIIS nyata-nyata mengurangi wilayah mereka.
Konflik baru tidak akan terhindarkan. Tidak mustahil ini akan memberi inspirasi kepada suki Kurdi untuk merdeka.
Inilah semua hasil campur tangan negara-negara Barat pada masa lalu, yang sebenarnya berlanjut selama Perang Dingin dan sekarang ini.
Kompas, Minggu, 13 Juli 2014

Gaza

Oleh TRIAS KUNCAHYONO
Gaza adalah tragedi. Tragedi kemanusiaan. Dari hari ke hari, dari waktu ke waktu, cerita tentang Gaza (Jalur Gaza) adalah cerita tentang penderitaan,tentang kesengsaraan penduduk wilayah itu. Inilah wilayah yang sering disebut sebagai “penjara terbesar dan terpanjang di dunia”.
1611206Serangan-udara-Israel-di-Jalur-Gaza780x390.jpg
(AFP/Hazem Bader)
Begitulah sesungguhnya kenyataan dari sebuah wilayah yang disebut Jalur Gaza, yang berluas 365 kilometer persegi: panjang 40 kilometer, lebar 13 kilometer (terlebar), dan 5 kilometer (tersempit). Sejak tahun 1967, setelah berakhirnya perang, Israel menguasai wilayah darat, laut, dan udara Jalur Gaza.
Bagian barat Jalur Gaza berbatasan dengan Laut Tengah yang dikuasai Israel. Sebelah utara dan timur berbatasan dengan Israel, dan sebelah selatan berbatasan dengan Mesir. Jalur Gaza bagaikan sepotong “sandwich”. Wilayah ini dikelilingi tembok atau pagar pembatas, pos-pos pemeriksaan yang dibangun Israel, dan zona penyangga yang dimaksudkan untuk mencegah orang-orang Palestina, terutama yang oleh Israek dikategorikan sebagai para pengebom bunuh diri, masuk ke wilayah Israel.
Sangat wajarlah kalau suasana “claustrophobia”, rasa takut akan ruangan yang sempit dan tertutup, selalu membayangi penduduk Jalur Gaza. Penduduk Gaza berjumlah sekitar 1,6 juta orang pada waktu itu. Baru pada tahun 2005, Israel mengendurkan pengurungannya dan menarik pasukan penduduk serta warganya dari wilayah pemukiman di Jalur Gaza.
Akan tetapi, pengenduran pengurungan itu tidak berlangsung lama. Setelah Hamas memenangi pemilu parlemen, Januari 2006 (merebut 76 dari 132 kursi di parlemen), Israel memblokade lagi Jalur Gaza. Blokade ini menghancurkan perekonomian Gaza, membatasi gerak penduduknya, dan berdampak negatif terhadap kemampuan rakyat biasa untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari karena mereka terbatas gerak dan aksesnya.
Blokade itu berlangsung selama lima tahun. Akibatnya sangat nyata: 34 persen angkatan kerja Gaza yang separuhnya anak-anak muda, menganggur. Karena hampir 30 persen bisnis di Gaza tutup dan 15 persen lainnya terpaksa merumahkan 80 persen tenaga kerjanya. Kebutuhan air, listrik, dan bahan bakar sangat bergantung pada pasokan dari Israel.
Di tengah blokade itu, pecahnya Perang Gaza, 27 Desember 2008-18 Januari 2009. Perang ini makin meluluhlantakkan Gaza: 4.000 rumah hancur, 50.800 orang mengungsi, 1.417 orang tewas, 5.303 orang terluka, dan 120 orang tertangkap. Banyak fasilitas umum dan infrastruktur hancur, termasuk gedung-gedung sekolah dan rumah sakit.
Ketika pecah perang, 52 persen dari 1,6 juta penduduknya adalah anak-anak di bawah usia 18 tahun. Mereka inilah yang hidup di bawah kungkungan, tekanan, kekhawatiran, dan yang hidupnya selalu terancam, selalu dalam kecemasan. Kini, mereka sudah berusia 20 tahunan. Mereka ini pula yang akan menjadi pemimpin Gaza pada masa depan.
Kondisi tempat mereka lahir, tumbuh, dan berkembang akan sangat memengaruhi sikap mereka. Bagaimana mereka melihat dan mengartikan perdamaian. Ini penting sebab perdamaian lewat perang tidak akan mampu membangun perdamaian sejati. Sebab, perdamaian adalah persoalan dasar manusia, terlebih untuk menanggapi tendensi dasar kekerasan yang tidak jarang tumbuh kuat dalam naluri manusia: homo homini lupus….
Sulit membayangkan akan menjadi seperti apa Gaza dan manusia-manusia Gaza pada masa depan jika Israel tetap mengumbar tabiat angkara murkanya seperti sekarang ini.
Kompas, Minggu, 13 Juli 2014